Selasa, 10 Maret 2009

TANGIS KEMISKINAN

Oleh : Ruslan H. Husen

Aku adalah seorang yang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri, yang entah apakah ini adalah takdirku atau malah ini adalah kebodohanku untuk mencari ilmu di bangku perguruan tinggi. Aku pun tidak tahu kenapa aku lantas memilih salah satu jurusan dalam perguruan tinggi, mungkin ini lahir dari kebetulan saja, sebab jurusan studiku sekarang sebenarnya hanya pilihan yang kesikian ketika di lakukan testing masuk keperguruan tinggi yang lalu.

Kehidupanku dengan kebanyakan mahasiswa atau pelajar yang lainnya tidak jauh berbeda, kadang berfikir paragmatis dan kadang juga berfikir idealis. Berfikir idealis ketika bersama dengan teman-teman yang boleh di katakan cukup idealis dan memiliki konsep gerakan dan perubahan. Yah, lagi-lagi faktor lingkungan mejadi penentu sikap berfikirku disini. Termasuk tempat tinggalku, yang boleh di kata tidak bersama dengan orang tua kandungku, dan harus tinggal bersama seorang teman yang berasal dari perguruan tiggi yang sama juga tapi beda jurusan.

Temanku itu kusebut saja namanya Mas Irfan, dan inilah yang ingin ku ceritakan. Dia adalah seorang teman yang cukup baik, pengertian dan sederhana, yang demikian baik dan pengertiannya dia rela bangun pagi-pagi untuk memasak makanan untuk sarapan pagi kami, bahkan dia rela mengalah jika saya sedang berbeda pendapat kepadanya. Itu adalah diantara sekian kenangan yang masih teringat dalam imajinasiku ketika bersama Mas Irfan dulu.

Tapi ada salah satu kenangan yang paling berkesan di antara kenangan itu bersama Mas Irfan. Ketika itu dia baru saja mendapatkan iuran bulanan dari kampung, maksudnya kiriman dari orang tuanya yang biasanya rutin perbulannya. Sebagian dari uang tersebut telah kami bayarkan untuk uang kos perbulannya, yang sebagiannya berniat untuk digunakan biaya hidup selama kurang lebih sebulan kedepannya, namun uang tersebutlah yang kini lagi di cari dengan susah payah oleh Mas Irfan.

“Lisma, kamu lihat tidak dompetku ?”. Tanya Mas Irfan padaku.
“Ah…. tidak lihat tuh !, tadi kamu simpan dimana ?”. Sanggahku.

Mas Irfan mengingat, ketika pulang dari kampus tadi rasanya ada yang jatuh dari tubuhnya, tapi tidak dihiraukannya karena pikirnya hanya ranting kayu kecil yang jatuh di tempat parkir motornya. Bayangan tentang dompetnya yang berisi jatah sebulan kedepannya, selalu ia harapkan untuk menemukannya. Belum lagi ketika ia mengetahui bahwa di dalam dompet tersebut terdapat STNK motornya, SIM C dan kartu mahasiswa dan perpustakaan. Mas Irfan hanya mampu berharap dan berhayal akan mukzijat muncul di hadapannya agar dompetnya tersebut dapat ia temukan, juga dengan harapan lain, dompetnya tersebut hanya tercecer di atas lemari atau di dalam kamar kosnya. Yang jelas dapat ia temukan nanti.

Sungguh ingin rasanya ia meraung dan berteriak untuk melepaskan beban kehilangan yang ada pada dirinya. Serasa ada yang hilang dari dalam tubuhnya yang ingin ditumpahkan dengan cara menangis. Tapi apa boleh buat barang yang ia cari juga tidak kunjung ketemu, dan ini menambah ke khawatir dirinya akan nasibnya untuk hidup sebulan kedepan. Belum lagi perutnya kini terasa lapar dan meminta untuk diisi, tapi sekali lagi dompet yang ia cari tidak kunjung ketemu juga.

“Loh ko nangis!, memangnya belum ketemu dompetnya?”. Tanya ku pada Mas Irfan.
“Ia nih, disitu uang hidupku selama sebulan, malah sekarang aku belun makan, aku lapar sekali nih, dari tadi siang belum makan juga”. Keluh Mas Irfan.
“Sebentar yah, aku cari makan dulu. Tapi jangan lupa kamu harus tetap cari dompetnya”. Lalu aku pergi keluar kos dan menuju kesebuah rumah makan.
Sebentar saja aku dirumah makan, karena kebetulan lagi tidak ada antrian dalam membeli nasi bungkus. Kemudian kami makan bersama-sama dengan lahapnya, kebetulan dari tadi pagi juga aku tidak makan. Apalagi yang disantap sekarang ini nasi bungkus dengan lauk ikan bandeng bakar.

Ketakutan, tekanan yang terjadi pada diri seseorang kadang membuat orang menangis dan stress, sehingga tidak akan mengingat lagi tentang dirinya yang sebenarnya, yang ada adalah menyerahkan segala upaya dan tenaganya hanya untuk melawan dan menyelamatkan dirinya dari ancaman dan ketakutan tersebut. Salah satu yang menjadi ketakutan manusia masa kini adalah kemiskinan. Dari keberadaan materi menjadi tidak punya materi. Orang yang tadinya memiliki materi untuk bertahan hidup, ketika harus kehilangan materi tersebut, maka yang terjadi adalah ketidak-siapan menghadapi perubahan yang demikian cepatnya.

Kemisikinan adalah penyakit sosial. Orang yang setiap harinya dapat makan dan kenyang dengan tepat waktu sungguh sangat bahagia. Tapi orang-orang yang lemah dan terpinggirkan, yang masih harus mencari dengan susah payah untuk bisa makan dalam sehari, sehingga jika usahanya gagal atau tidak ada keberuntungan maka otomatis ia tidak bisa makan dalam hari tersebut. Dengan kemiskinan pula mendorong seseorang untuk berbuat hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma, hingga mengganggu ketentraman masyarakat.

Pemandangan seperti ini bukan hal aneh lagi dalam negara ini, yang sebenarnya memiliki kekayaan yang melimpah ruah ini. Orang-orang yang lemah dan terpinggirkan dapat setiap saat kita temukan di emperan pertokoan, di perempatan lampu merah, di tempat pembuangan sampah dan di bawah kolong jembatan yang kesemuanya itu mereka harus bekerja keras untuk bisa makan, dan rasa lapar setiap harinya itu adalah pakaian keabadiannya. Sungguh sangat di sayangkan mengapa mereka itu bernasib demikian yang sekali lagi mereka semua berada di negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah.

Lihatlah pula para elit politik yang melakukan perampokan uang rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Yang sebenarnya dana tersebut sudah pasti di peruntukkan demi kesejahteraan rakyat dan pembangunan fasilitas umum. Tapi sungguh tidak berprikemanusiaan para perampok-perampok uang rakyat itu malah demikian bangga dalam melakukan pengulangan perbuatan yang sama, sehingga keterpurukan ekonomi negara ini tidak bisa dilepaskan dari perbuatan mereka itu.

Termasuk juga kebijakan pemerintah yang imbasnya turut menambah panjang penderitaan orang lemah dan terpinggirkan itu, misalnya pencabutan subsidi BBM pada bulan oktober 2005. Ini adalah kisah yang terus saja terjadi dari sekian figur pemimpin yang naik memimpin negara ini, yang nota-benenya turut memperparah kondisi masyarakat umum termasuk orang lemah dan terpinggirkan tadi. Kenaikan BBM sekitar 50-80 % dari harga semula, menurut Yusuf Kalla (Wakil Presiden RI) sebenarnya di alokasikan untuk subsidi pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur, sebenarnya adalah bentuk pembodohan yang nyata kepada masyarakat.

Permasalahan bangsa kita bukanlah subsidi yang salah arah tetapi struktur penguasaan produksi yang tidak merata di mana ada sekitar 60% penduduk negeri ini hidup di bawah garis hidup kemiskinan dan masuk dalam golongan kaum lemah dan terpinggarkan. Pencabutan subsidi BBM dilakukan sebagai langkah awal untuk melakukan liberalisasi perekonomian terutama dalam eksplorasi dan distribusi BBM kepada masyarakat dalam negeri, buktinya pemerintah sudah melakukan perpanjangan kontrak dengan pihak Exxon Mobil dalam mengelolaan Blok Cepu yang memiliki milyaran barrel cadangan minyak sebelum masa kontraknya habis pada tahun 2010.

Selain itu, kenaikan harga BBM di dalam negeri akan mengakibatkan naiknya laju inflasi (sekitar 3 %) yang akan menurunkan pendapatan riil masyarakat. Para petani akan semakin menderita karena nilai tukar hasil pertanian yang semakin rendah, para nelayan akan semakin menderita karena tidak bisa membeli BBM, Buruh akan semakin sengsara karena upah minimum tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup minimum yang meningkat pula. Artinya, rencana pemerintah menaikan BBM adalah wujud intervensi demi kepentingan kekuatan-kekuatan neo-liberal dan kapitalisme beserta komprador-kompradornya serta makin menegaskan bahwa pemerintahan SBY-MJK tidak pernah peduli dengan desah derita rakyatnya.

Dalam Deru Angin Malam Tinombala.
Awal Oktober 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar