Selasa, 10 Maret 2009

Meminta Keadilan


Oleh : Ruslan H. Husen

Bagi Dino terlibat secara langsung untuk mengurus kasus hukum, dan berinteraksi secara langsung dengan para Polisi adalah hal yang baru dalam hidupnya. Kenapa tidak, Dino boleh di kata “masih biru” dan terlalu dini mendampingi salah satu pihak dalam kasus hukum di kantor Polisi. Lihatlah saja umurnya, baru sekitar 20 tahun. Walaupun memang Dino memperoleh kepercayaan dari pihak keluarga korban untuk mendampingi di kantor Polisi. Keluarga korban adalah keluarga Dino juga, yang sangat buta dengan persoalan kantor-mengantor. Kenyataan ini di anggap sebagai pengalaman yang sangat berharga, yang menyebabkan Dino memiliki persepsi dan pengetahuan tersendiri tentang dunia institusi hukum. Dunia yang sesunguhnya jauh dari realitas yang di harapkan.

“Siapa yang namanya Aris, tolong segera kemari”. Pinta petugas Polisi, yang melakukan pemeriksaan untuk membuat Berita Acara Pemriksaan (BAP), kepada salah seorang saksi yang datang bersama Dino ke kantor Polisi itu.

Dengan sedikit gugup, Aris menjawab, “Saya Pak yang namanya Aris”.
“Oya, segera kemari”. Pinta petugas Polisi itu.
Petugas itu menjelaskan tentang tujuan pemanggilan ini, dan menjelaskan beberapa bagian yang berhubungan dengan pemeriksaan saksi ini. Para saksi sebelumnya, telah mendapatkan surat pemanggilan saksi dari pihak ke Polisi-an, yang telah diterima tiga hari sebelumnya.

Bagi Aris masuk kantor adalah hal yang sangat baru baginya, apalagi masuk ke kantor Polisi untuk memberikan kesaksian. Olehnya itu, ketegangan dan kecemasan dalam dirinya selalu menghantuinya. Jadi secara psikologi Aris sebenarnya tidak siap menghadapi dan terlibat dalam hal ini. Namun karena tuntutan keluarga dan kewajiban sebagai warga negara memberikan kesaksian atas suatu kasus, mereka akhirnya bersedia menghadapinya dengan tetap rasa cemas menguasai dirinya.

Saksi yang di panggil dalam kasus ini adalah, Aris dan seorang teman dekatnya yang bernama Laha. Bagi Laha demikian pula, sangat baru untuk terlibat dalam kasus seperti ini, walaupun umurnya memang lebih tua dari Aris. Tetapi berhadapan dengan Polisi adalah hal yang menegangkan juga.

* * * * * *
Di suatu desa tepatnya di lapangan umum di desa itu, yang pada setiap sore hari sangat ramai di kunjungi oleh anak muda dan pada umunya melakukan aktifitas berolah-raga, mulai dari sepak bola, bulu tangkis, bola volli dan sepak takraw. Pengunung kegiatan ini bukan hanya dari desa itu, tetapi juga dari desa-desa tetangga. Berolah-raga telah menjadi kebiasaan yang di terima oleh komponen lapisan masyarakat desa. Di samping kegiatan olehraga itu, juga ada kegiatan produktif masyarakat berpusat di lapangan ini, yakni jualan minuman dingin dan makanan ringan.
Interaksi antar setiap komponen masyarakat, di satu sisi sering menimbulkan dampak negatif, yakni perkelahian. Itulah dunia yang di satu sisi perkembangannya menimbulkan keuntungan, namun di sisi lain mengancam nilai-nilai yang berkembang. Manusia selalu di tuntut agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, mampu menjadi medium guna mengarahkan peradaban ke arah yang lebih memanusiakan, mampu menyelesaikan dan menghadapi setiap persoalan secara arif dan bijaksana, agar tidak ada benturan kepentingan dan ada yang dirugikan.

Sore itu, di lapangan desa seperti biasanya kegiatan olah-raga sudah mulai berlangsung dari tadi. Nampak beberapa kelompok orang dengan asyiknya menyaksiakan kegiatan itu. Seolah larut dalam ke asyikan permainan yang sedang berlangsung. Namun, salah seorang dari golongan kelompok itu, dengan begitu gelisahnya, berjalan kesana-kemari, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak kunjung jua dari tadi. Menunggu sesuatu yang begitu di nanti tapi menegangkan. Baju kaos kuning yang dikenakannya sudah mulai basah oleh keringatnya. Sesekali juga ia mengusap keringat yang ada di wajahnya menggunakan tangan dan baju.

Matahari sudah mulai terbenam di ufuk timur, cahayanya sudah tidak terang lagi tertutup oleh gunung dan pepohonan. Salah satu kegiatan di lapangan itu, yaitu pertandingan sepakbola sudah selesai. Pemainnya ada yang langsung pulang dan ada pula yang menyempatkan diri mengobrol dengan kenalannya, serta yang lainnya beristirahat dengan sesama pemain.

Dari pinggir jalan raya, samping warung makan terjadi keributan, yang membuat gaduh suasana. Sebagian orang-orang berlari mendekatinya, berusaha memastikan tentang apa yang sedang terjadi. Ternyata, seorang anak muda pemaian sepak bola tadi, di hadang oleh lelaki berbaju kaos kuning, sehingga terjadi perkelahian sengit dengan sebelumnya terjadi adu mulut dan maki-memaki.

Perkelahian itu begitu cepat terjadi, hingga ketika laki-laki berbaju kaos kuning mengeluarkan parang kecil (badik) dari pinggangnya lalu menghujamkannya ke dada kiri lawannya, semua orang begitu tidak menyangka, akan demikian jadinya. Ya..., demikianlah perkelahian itu telah memakan korban, jasad yang utuh kini robek tertusuk, darah telah keluar dan mengalir membasahi bumi, tetesannya membuat ngeri yang melihatnya.

Orang-orang pun semakin ramai ingin menyaksikan lebih dekat lagi adegan nyata itu. Sebagian diantaranya ingin berperan sebagai pembela dan sebagian lagi sebagai wasit dan melerai. Suasana begitu tegang, apalagi ketika salah seorang laki-laki mengenakan baju putih kaos guna mengejar pelaku. Kejar-kejaran begitu seru, yang ada rasa kemarahan dalam diri. Orang-orang begitu panik dan takut tentang kecelakaan itu. Kejelakaan yang jangan sampai menimpa dirinya atau keluarganya.

******
“Demikianlah Pak, setelah korban di tikam dan roboh ke tanah, saya juga kemudian di kejar oleh Odi”. Kata Aris.
“Tahu kenapa Odi mengejarmu?. Atau memang kamu juga bermusuhan dengan Odi”. Tanya Polisi pembuat BAP.
“Karena Odi , mengetahui kalau saya berteman akrab dengan korban”. Jawab Aris menjawab pertanyaan Polisi, tentang yang di alaminya dilapangan desa sore itu. Aris menjelaskan dengan begitu semangat, menjawab dengan jelas setiap pertanyaan yang diajukan. Kejadiaan itu masih begitu nyata dalam ingatan Aris, kejadian yang sungguh tidak di sangka-sangka, kejadiaan yang telah mencoreng hubungan baik antar sesama masyarakat desa.

“Apalagi yang kamu ketahui selain itu”. Tanya Polisi kembali.
Aris berfikir sejenak dan menjawab, “Maksudnya Pak”.
“Selain kamu di kejar oleh Odi, bagaimana keadaan Odi dan apa yang kemudian yang ia lakuakan”.
“Karena saya sudah lari, jadi tidak tahu lagi tentang kejadian di pinggir jalan itu. Saya juga tidak tahu apa lagi yang di lakukan oleh Odi”.
Setelah Aris di periksa guna pembuatan BAP, Laha juga kemudian di periksa guna memberikan kesaksiannya. Kesaksian Laha, tidak jauh berbeda dengan kesaksian Aris. Sebab memang Laha, juga adalah salah satu korban yang di kejar oleh Odi, setelah mengejar Aris. Laha juga mengatakan bahwa “Setelah saya di kejar, orang-orang kemudian menangkap Odi dan berhasil menguasainya”.

*****
Berita Acara Pemeriksaan perkara, telah selesai diketik oleh Polisi itu. Keterangan saksi di rasa cukup dan memenuhi syarat untuk di teruskan ke Kejaksaan guna menuntut tersangka. Namun, Dino merasa tidak puas dengan pengenaan pasal dalam kasus itu. Polisi memakai Pasal 351 KUHP dengan mengkategorikan perbutan sebagai penganiayaan ringan dengan mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Menurut Dino, dasar tuntutan dalam kasus ini yang tepat adalah pasal penganiayaan berencana, bukan penganiayaan ringan. Indikasi penganiayaan berencana di lihat dari aspek keadaan tersangka yang tidak terlibat dalam pertandingan atau kegiatan yang lain, tetapi sedang menunggu selesainya permainan, melakukan penghadangan di tengah jalan ketika korban akan pulang, adanya alat yaitu pisau yang disiapkan untuk melukai korban serta adanya rasa dendam atas persolan yang lain yang telah terjadi sebelumnya.

Persoalan sebelumnya itu, adalah persoalan perkelahian juga, namun telah di selesaikan secara ke keluargaan yang melibatkan pejabat desa dan tokoh masyarakat setempat. Persoalan itu telah dianggap selesai, dengan kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melakukan perdamaian.

Alasan Dino, bahwa kasus ini masuk dalam penganiayaan berencana yang di atur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Sebab syarat materil dan syarat obyektif dari pasal itu telah terpenuhi, yang mana pengenaan pasal dari suatu tindakan atau peristiwa hukum harus memenuhi unsur-unsur pasal itu secara keseluruhan. Syarat materilnya ada korban dan pelaku, korban mengalami luka-luka yang disebabkan oleh perbuatan korban.

Sementara syarat formil, perbutan dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perencanaan atas korban. Perencanaan yang memudahkan terjadinya peristiwa hukum itu.
“Iya memang betul, tapi untuk sementara kita gunakan pasal 351 KUHP ini dulu, dan pasal ini sifatnya tidak mutlak, karena nanti di kejaksaan dapat dirubah kembali. Jadi kejaksaan dapat mengenakan pasal lain yang di rasa tepat atas alur kejadian dan kesaksian yang di jelaskan dalam BAP ini”. Penjelasan Polisi pembutan BAP atas diskusi dengan Dino.

Memang Dino adalah salah seorang mahasiswa fakultas hukum di kota, ia pun berani berdiskusi dengan petugas Polisi itu, karena sebelumnya telah mendapatkan pengetahuan di kampusnya.

“Tapi, setidaknya pihak kepolisian profesional dalam hal pembuatan BAP ini, menerapkan pasal yang memang dianggap paling cocok, kalau Pasal 351 KUHP dianggap tidak cocok lagi maka harus di ganti dengan pasal 353 KUHP”. Kata Doni tegas menghadapi penjelasan Polisi itu.
“Kamu ini sembarangan bicara, kami ini sudah bertahun-tahun tangani kasus semacam ini dan yang tepat itu ialah pasal 351 KUHP. Sementara kamu baru kuliah sedikit di kampus sudah berani bicara macam-macam”. Polisi itu agak marah atas penjelasan Dino.

Dino sebenarnya ingin berdebat panjang dengan Polisi itu, berdebat guna mengatakan yang dianggapnya paling benar. Sebab baginya personil Polisi tidaklah profesional secara keseluruhan, apalagi di desa-desa seperti ini. Polisi tidak realistis menerima kebenaran yang berasal dari luar dirinya. Belum lagi sikap tidak percaya kepada pelaksana tugas-tugas kepolisian yang personilnya masih sering melakukan pelanggaran-pelanggaran. Tapi akhirnya, Dino harus menerima kenyataan itu, karena tidak adanya sumber daya untuk melakukan perlawanan terhadap realitas itu.

Pelanggaran itu telah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh semua orang namun sengaja ditutup-tutupi. Di dalamnya memang menjanjikan limpahan materi, bagi pelaksana tugas namun di sisi lain mengorbankan orang lain dan melakukan pembodohan secara nyata. Lihat saja bagaimana institusi ini melakukan pemerasan terhadap orang yang buta akan hukum. Meminta pungutan-pungutan yang di ada-adakan, misalnya meminta uang ratusan ribu rupiah hanya alasan membeli kertas dan tinta.

Pelaksanaan pelanggaran itu tidak hanya terjadi di tubuh institusi Polisi tetapi juga di kejaksaan sampai pengadilan negeri dan mahkamah agung. Mafia peradilan merupakan istilah untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan manusia-manusia rakus itu, yang telah menjual hukum dengan setumpuk uang. Prosesi penuntutan dalam pengadilan hanya merupakan sandiwara yang telah di ketahui hasil putusannya. Prosesi persidangan semacam ini hanya ingin mengelabui dan menipu masyarakat.

Persoalan-persoalan ini telah menggejala dan hampir di anggap biasa oleh masyarakat, bahwa kalau ada uang semuanya bisa diatur, sehingga muncul plesetan KUHP disebut Kasih Uang Habis Perkara. Materi telah menjadi raja, penguasa atas segala masalah, dengannya masalah bisa diselesaikan.

Bagi mereka pencari keadilan yang merindukan keadilan di temukan di pengadilan dan institusi resmi pemerintah, akan sangat pilu dan menangis menyaksikan konspirasi para pelaksana amanah publik itu. Mereka sebelumnya mengharapkan memperoleh keadilan di persidangan formal pemerintah, namun di sana yang di dapatkan malah ketidak-adilan, pemerasan dan sandiwara bohong. Keadilan tidak bisa di dapatkan di proses pengadilan.
Revolusi institusi pengadilan memang harus di upayakan. Dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur independensi pelaksana kekuasaan kehakiman. Indepensi yang di maksud adalah bisa berbuat sesuai dengan rasa keadilan yang menghindari sikap mengorbankan kepentingan orang lain atas kepentingan seorang atau kelompok. Undang-undang itu harus menutup kemungkinan dari orang yang ingin menyalahgunakan dan menafsirkan sesuai dengan kepentingannya.

Kemampuan menghasil putusan yang adil harus lahir dari pribadi-pribadi yang rela berkorban dengan siap menerima segala tantangan dan godaan. Pribadi-pribadi itu adalah hasil kesadaran secara menyeluruh yang mengenal diri dan alam sekitarnya, yang mampu keluar dari hegemoni paham positivisme hukum. Paham positivisme adalah kemampuan untuk menemukan hukum di luar undang-undang tertulis, yang di dalamnya tidak mengatur kasus tertentu.

Kesiapan masyarakat secara umum untuk menerima berlakunya peraturan perundang-undangan adalah sangat di butuhkan. Kesiapan itu akan menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai norma yang di taati guna menjamin ketertiban dan keamanan di masyarakat.

Selain itu peran sarana dan prasarana hukum adalah sangat menentukan guna menemukan dan menunjang keadilan. Peran sarana dan prasarana, diharapkan bisa menemukan rasa keadilan dan memudahkan kerja-kerja institusi hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar