Oleh : Ruslan H. Husen
Dengan raut wajah santai, seakan tidak ada salah sedikit-pun, sang Hakim Ketua itu keluar dari ruang persidangan setelah memerintahkan petugas kejaksaan dan kepolisian yang berada diruang itu untuk mengembalikan si tersangka ke ruang tahanan yang selanjutnya akan dirawat di rumah sakit jiwa.
Dengan rasa tidak puas sang wanita bercadar itu hanya bisa menangis sambil berteriak, “aku tidak gila, aku tidak gila, aku sadar, dialah yang gila, dia-lah yang telah menghamiliku dan anak ini adalah anaknya juga”. Sambil terus menagis, dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Wanita bercadar tersebut di dakwah melakukan pencurian sejumlah uang dari seorang cina peranakan Indonesia. Yang mana sang korban tidak terima dengan perbuatan tersangka dan melapor kepada Polisi setempat hingga berlanjut ke ruang sidang ini.
******
“Aku adalah orang yang selalu memperhatikanmu, merasa tenang jika melihatmu. Mengingatmu dimana pun aku berada dan apapun yang aku kerjakan, aku mencintaimu sayang”. Demikian isi tulisan sms yang ada pada Hp Gita.
Dengan perasan tidak karuan dan tak tentu ditambah dengan perasaan suka cita berbunga-bunga, Gita kemudian membalas sms itu, “Ah masa? Apa kamu tidak bercanda?, mana ada sih, orang yang mau sama aku ini” demikian tulisnya.
Ketika perasaan cinta bersemi dalam hati, maka waktu, bumi, pohon, air-pun tersenyum mendendangkan cita-cita abadi yang indah dan manis. Keinginan dan perasaan terbelenggu dalam hayalan imajinasi yang bahagia, menuntut pemenuhan hasrat untuk menjadi kenyataan. Perasaan cinta, telah menuntut untuk bertemu dan bercengkrama dalam lautan asmara yang ditaburi dengan bunga-bunga. Segala upaya terus dilakukan guna pemenuhan kebahagiaan itu. Debar, rindu dan kasmaran selalu hadir menyertai keindahan pecinta. Maka ketika cinta berpadu, tidak ada kesusahan yang menjadi masalah besar, semua dihadapi dengan tabah walaupun harus berhadapan dengan resiko yang tinggi. Tapi apabila ada unsur penghalang cinta, maka pengaduan dilakukan dengan menangis, mengharapkan mukjizat agar penghalang cinta dapat sirna dan pergi jauh.
Tapi, bagaimana jadinya jika perasaan cinta hanya merupakan lipstik untuk menutupi maksud dan isi sebenarnya. Hanya untuk memenuhi kepuasan materil sesaat. Mengaku sebagai pecinta yang setia tetapi hanya mengharapkan pemberian dan pengorbanan dari obyek cinta dan bukannya memberi dan memperbaiki kualitas obyek cinta. Melakukan kebohongan dan tipu daya demi menghisap madu yang ada, kalau perlu sampai habis, dan setelah tidak ada lagi madu lalu ditinggalkannya untuk kemudian mencari lagi madu-madu yang lain dengan rasa tidak bersalah sedikitpun.
Dengan mesranya tangan Gita dipegang oleh tangan Jono, di elus-elus dan dikecup dengan mesra. Mata saling berpandangan, menggambarkan sejuta makna dan hasrat untuk disalurkan, menggambarkan suasana hati.
“Aku mencintaimu sayang, aku sayang kamu”. Rayu Jono dengan mesranya.
Tidak ada lagi pikiran untuk menyelesaikan tugas mata kuliah yang harus dikumpul besok, tidak ada lagi teringat jam berapa sekarang. Selanjutnya, yang terdengar hanya suara nafas dan desahan serta denyut jantung yang berdetak kencang. Denting jam dinding yang digantung di atas pintu kamar Jono tidak lagi terdengar, gambar foto berkaca mata Jono waktu di pantai sudah tak memiliki warna lagi, dua gelas teh manis yang ada di meja sudah tidak memiliki rasa lagi demikian pula dengan kegiatan lalu lalang kendaraan di jalan raya sudah tidak dihiraukan lagi. Waktupun malu melihat dan bergulir menyaksikan perbuatan anak manusia ini, begitupula dengan ruang seakan meronta untuk tidak menjadi saksi perbuatan bejat ini. Tapi apa boleh buat, nafsu setan telah menjadi raja diktator, yang mengharuskan pengikutnya untuk selalu tunduk dan patuh pada perintahnya yang bukan hanya sekali tetapi berulang-ulang kali.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Demikian kata orang tua, yang telah terbukti dari hubungan bejat Gita dan Jono. Dari seringnya berhubungan, kini telah menghasilkan sesuatu yang tidak diinginkan. Segala upaya terus dilakukan yang entah sudah berapa ratus kata-kata bohong yang diucapkan Gita untuk menutupi perbuatannya. Mulanya tidak apa-apa dan bisa diterima serta dimengerti. Tapi apa mata bisa ditipu, perasaan bisa ditolerir dengan melihat perubahan yang ada pada perut Gita, yang dari hari kehari semakin membesar. Tentu tidak, sekali lagi tidak, ini pasti ada apa-apanya. Bolehlah engkau berbohong dengan segala metode dan teori yang macam-macam. Tapi mata ini, perasaan ini, telah mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa Gita telah hamil diluar nikah. Jadi segala kata-katamu untuk izin kerja tugas kelompok dimalam hari, antar tugas kerumah dosen dan sejuta alasan lainnya, kini telah di ketahui engkau membohongiku, kepercayaan yang aku berikan telah engkau sia-siakan. Ditambah lagi hantu anggapan dari mayarakat tentu akan terpinggirkan dan menjadi aib yang hina sehina-hinanya.
“Pergi kau dari rumah ini, pergi saja kau kepada laki-laki yang telah menghamilimu, aku kini tidak sudi lagi menganggap kau sebagai anakmu”. Demikian ekspresi marah ayah Gita, melihat kejadian yang sungguh memalukannya.
Akhirnya Gita kini keluar rumah dengan beberapa lembar pakaian, dengan langkah sempoyongan tidak tahu mau kemana arah yang dituju. Orang tuanya kini mengusirnya, masyarakat telah menganggapnya sebagai pembawa sial dan aib yang hina, sementara sang kekasih yang telah menghamilinya tidak mau bertanggung jawab dengan lari atau bersembunyi entah kemana. Kini aku benar-benar menyesal, tapi sesal kini sudah tidak ada artinya lagi. Yang ku pikirkan kini hanya kemana aku harus pergi dan bagaimana aku harus hidup.
Ingin rasanya mengakhiri hidup ini dengan maut, tapi bayi yang ada diperut berteriak jangan bunuh aku, biarkan aku lahir dulu menyaksikan kehidupan dunia, aku tidak salah dalam hal ini, mengapa aku juga jadi korban. Aku juga memiliki hak hidup dari Tuhanku.
Masyarakat kini tidak menerima kehadiranku lagi, aku menjadi wanita hina. Mereka menganggap aku sebagai sampah yang harus dibuang. Oh. Kejamnya dunia ini. Terpaksa aku harus mengubur identitas yang sebenarnya dengan bersembunyi dibalik cadar ini. Kelihatannya aku menjadi wanita alim yang taat, tetapi itu tidaklah benar demikian. Ini aku gunakan hanya untuk bisa bergaul dan hidup kembali dimasyarakat secara normal. Agar aku kelihatan seperti manusia baik-baik,
Malam semakin larut, kendaran dijalan raya sudah sepi, udara malam mulai dingin dan menusuk tulang. Yang menjadi istana hanya lorong-lorong emper pertokoan, yang juga menjadi saksi penderitaan ini. Profesi sebagai pemulung, sebagai pengemis sudah tidak asing lagi, untuk dapat menjemput kehadiran sang bayi. Susah setiap saat profesi ini telah akrab, karena hanya inilah jalan untuk dapat bertahan hidup. Muncul juga harapan kiranya ada seorang yang mau menolongnya, tapi ini di kota, kehidupan sungguh kejam membuat orang mengurus diri mereka sendiri.
Akhirnya setelah kehadiran sang bayi di dunia ini telah tiba, peralihan profesi menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup. Tapi mau kerja apa, tidak ada perusahaan yang mau menerimanya kerja, tidak ada infestor yang bersedia memberikan modal, tidak ada keprofesionalan yang dimiliki. Yah, ini sekali lagi akibat putus kuliah karena harus menanggung malu keluarga dan masyarakat akibat perbuatan tidak bertanggung jawab laki-laki bejat itu yang telah merampas kesucian dirinya, merusak kehormatannya. Kini telah berfikir olehnya untuk menghalalkan segala cara, menghalalkan yang dilarang yang sekali lagi hanya untuk makan dan menghidupi sang bayi.
Kini profesi mencoba menjadi wanita panjajah seks, wanita panggilan ataupun nama lain dari itu sudah tidak ku perdulikan lagi. Yang ku pikirkan hanya bagaimana mendapatkan uang untuk membeli susu bayiku. Hingga dengan sangat terpaksa aku harus melayani seorang cina peranakan Indonesia, dengan satu harapan mendapatkan uang. Tapi malang bagiku, belum lagi dibayar aku malah dituduh mencuri isi dompetnya dengan beberapa uang ratusan didalamnya, ia menganggap setelah berhubungan dan dia lengah aku beraksi mencuri isi dompetnya. Oh, sungguh kejam manusia ini, tidak membayar pengorbananku, malah kemudian menuduhku seperti itu.
*******
Sementara itu diseberang sana, seorang dengan senangnya tidur dalam kasur empuk dalam kamar yang wangi, menandakan tidak ada beban dan masalah yang dihadapi. Burung pun dipagi hari semakin cemburu dengan keriangannya untuk bisa kembali kuliah melanjutkan studinya setelah pindah universitas.
Nasib keberuntungan terus terjadi padanya, dengan mendapatkan seorang wanita yang dipesunting menjadi isterinya. Dia seakan tidak memiliki beban masa lalu, yaitu pernah menjadi petualang cinta yang entah berapa orang yang sudah menjadi korban kebejatan nafsunya, yang entah sudah berapa banyak bayi yang lahir tanpa mengetahui bapaknya. Kini dia terlahir sebagai laki-laki suci yang gagah tanpa ada noda dan beban masa lalu yang menghantuinya.
Keberuntungan selalu ada padanya dengan dapat kuliah disalah satu universitas ternama. Dapat mengembangkan profesi-karier hidup dimasyarakat dan akhirnya menjadi seorang Hakim di pengadilan negeri, untuk memeriksa dan memutus sengketa yang diadukan yang terjadi di masyarakat.
******
Dengan sangar kagetnya kulihat wajah hakim itu, seakan tidak percaya dengan penglihatanku. Beberapa kali kugosok mataku untuk meyakinkan apakah aku tidak salah lihat. Kini aku yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa yang kulihat dialah Jono, dialah yang telah menghamiliku dan anak ini adalah anaknya juga. Hasil hubungan gelapku dengan dia.
Setelah proses sidang sementara berjalan, dan pembacaan surat dakwaan hampir selesai. Aku begitu tidak tahan mendengar kesalahan yang ditujukan kepadaku, rasanya akulah yang bersalah secara total, akulah manusia yang menyengsarakan orang lain hingga kemarahanku memuncak dan seluruh badanku gemetar menahan marah.
“Pak Jaksa, aku tidak sepenuhnya salah dalam hal, dialah yang salah”. Kataku menunjuk Hakim itu sambil membuka cadar yang menutupi wajahku.
Aku berbuat demikian, menjadi wanita penjajah seks, karena terpaksa menghidupi anak ini. Anak ini adalah hasil hubungan gelapku dengan hakim itu, dia itu namanya Jono. Dia itu tidak pantas dihormati dan dianggap sebagai wakil Tuhan dibumi untuk memutus siapa yang salah dan menetapkan hukumannya. Sementara uang yang dituduhkan kepadaku, sungguh nilainya tidaklah seberapa, jika di bandingkan dengan kehormatanku, kesucianku yang telah dicuri olehnya. Anda mau nilai berapa dan bayar berapa kehormatan dan kesucianku yang telah hilang, dirusak olehnya. Tidak akan bisa, berapapun uang yang kalian sodorkan kepadaku, berapa-pun harta yang kalian berikan kepadaku itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kesucian dan kehormatan diriku yang telah dirampas akibat perbuatannya. Aku kini luka dan ini tidak ada obatnya.
Lihatlah saya diusir dari rumah, saya menjadi pemulung dan pengemis, tinggal di lorong-lorong pertokoan hingga menjadi pelacur, karena perbuatannya. Dialah yang menyebabkan saya seperti ini. Dia tidak pantas dihormati, dia pantas dihina yang lebih hina dari keadaan saya sekarang ini, bahkan binatang sekalipun. Kalau saya dihukum dengan tuduhan mencuri uang itu, maka dia juga harus dihukum dengan lebih berat karena dia telah mencuri milikku yang sangat berharga dan tidak dapat dinilai dengan uang itu. Dakwaan yang ditujukan kepadanya harus lebih berat dari dakwaan pencuriaan yang ditujukan kepada saya ini. Sebab, uang curian yang didakwakan kepada saya itu dapat ditemukan dan diganti, tapi apa yang telah dicuri Hakim itu dari saya, sampai kapanpun tidak dapat dikembalikan.
Tapi akhirnya sungguh diluar dugaan, dengan santainya Hakim tersebut berkata “Wanita bercadar ini sakit jiwa, tolong Pak Jaksa, Pak Polisi dia di tahan untuk selanjutnya dirawat dirumah sakit jiwa, tolong nanti dia diberi perawatan yang baik. Dan selanjutnya sidang pada kasus ini selesai dan kasus ini dinyatakan ditutup”.
Semua hadirin peserta persidangan yang hadir menyaksikan peristiwa itu, juga membenarkan pernyataan hakim itu, bahwa tersangka ini memang telah gila, dengan berani menuduh hakim seperti itu. Dalam desahan pengaduan, kenapa bisa jadi seperti ini, kata-katanya tidak benar, aku tidak gila, dia yang telah gila. Kenapa semua orang kini menganggap akulah yang gila dan harus dirawat dirumah sakit jiwa. Dimana keadilan itu, dimana kebenaran berada.
*******
Dipagi Hari Waktu Tinombala.
Pertengahan November 2005.
Selasa, 10 Maret 2009
Cintaku Berujung Derita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar