
Oleh : Ruslan H. Husen
“Pembangunan Mall Tatura akan selesai akhir tahun 2006 ini, yaitu sekitar bulan desember. Kata Pak Budin Pengawas pembangunan Mall Tatura ini. “Mall ini di kerjakan atas kerja sama PT. Citra Napensa Elok dengan Bank BNI”. Katanya lebih lanjut.
Yang akan menempati mall ini nantinya adalah para pengusaha yang memiliki modal besar antara lain, Ramayana, Optik Melawai, Amazone, Dunia Sepatu, KFC yang berasal dari luar kota palu, seperti nampak terlihat di spanduk besar di depan pembangunan Mall Tatura ini.
Inilah potret wajah pasar Masomba Palu, yang akan menjadi kawasan perbelanjaan elit. Kawasan yang nantinya akan menjajakan barang-barang hasil produksi dari berbagai daerah termasuk dari luar negeri, yang di kelola oleh orang-orang yang memiliki modal besar, dengan manajemen terbaru dan tempat yang nyaman dan asri. Desain Mall, memang selalu di rancang sedemikian rupa agar dapat menarik konsumen sebanyak-banyaknya.
Di satu sisi hal ini menimbulkan kebanggan terhadap masyarakat secara umum dengan didirikannya Mall itu, bukankah selama ini Palu belum memiliki Mall seperti yang akan di bangun ini. Namun di sisi lain pedagang tradisional akan tersisih dan tersingkir dengan tidak adanya akses yang di berikan kepada mereka untuk menempati salah satu tempat yang ada di dalamnya. Para pedagang kaki lima itu adalah yang mayoritas masuk dalam daftar penduduk asli daerah ini, yang menjadi pemilik atau tuan tanah dahulunya.
Pedagang kaki lima yang tidak memiliki akses dan modal besar untuk menyewa salah satu bagian dari Mall ini akan tetap menempati tempat yang ada di kawasan pasar tradisional sebelumnya. Kawasan yang sesungguhnya sejak lama mereka tempati, dan nanti persaingan akan timbul juga, apalagi ketika telah beroperasinya Mall itu.
Malah pemerintah kota memindahkan para pedagang kaki lima ke pasar Petobo yang jaraknya susah di tempuh. Ini alasannya agar kawasan Masomba ini menjadi kawasan perbelanjaan elit, dan kawasan pasar tradisional juga ada tempatnya, yaitu di petobo itu.
“Kami sih, mau-mau saja di pidahkan ke Pasar Petobo, tapi di sana itu pembelinya hampir tidak ada, keadaanya sunyi. Belum lagi lokasinya yang susah untuk di jangkau”. Papar Ibu Rini, yang merupakan salah satu pedagang yang telah di pindahkan ke pasar Petobo kemudian kembali lagi ke pasar Masomba ini.
Demikianlah, masyarakat yang tidak memiliki kekuatan untuk bertahan dan selalu menurut dengan kemauan pemerintah, akan mengikuti petunjuk dari pemerintahnya. Karena telah ada argumen yang berkembang di antara mereka, bahwa pemerintah tidak akan menelantarakan mereka dan selalu memperhatikan nasib hidupnya.
“Mau-mau saja kami di tempatkan di sana, tapi itu-kan hanya untuk orang yang memiliki modal yang banyak, sementara kami ini untuk transportasi saja selalu kekurangan. Kata Ibu Nini yang berasal dari Wani yang datang bersama dengan rekan-rekannya.
Kenyataan ini akan menimbulkan kesenjangan sosial, antara yang memiliki modal besar dan akan menempati Mall Tatura dengan para pedangan tradisonal. Di mana pemilik modal yang akan menempati Mall Tatura akan menarik simpati masyarakat sebagai perbelanjaan elit, sehingga keuntungan yang mereka dapatkan bisa semakin berlipat. Sebaliknya padagang tradisional hanya berputar pada masalah dagangan yang mempunyai untung yang sedikit dan konsumen yang terbatas.
“Bagusnya memang belanja di Mall, di sana-kan tidak kena terik matahari, mana orang-orangnya banyak dan ramai lagi”. Ujar Abduh yang biasanya berbelanja di pasar tradisional Masomba ini.
Secara umum masyarakat yang gaya hidupnya lebih mementingkan kesenangan dan kebutuhan materi kapitalis akan mengutamakan yang lebih menyenangkan, dan dalam hal ini akan berbelanja di Mall Tatura ini dengan harapan strata sosialnya dapat meningkat. Tidak lagi memiliki minat untuk berbelanja di pasar tradisional.
Pembanguna Mall Tatura yang hanya di peruntukkan oleh para pemilik modal dan pemindahan pedagang kaki lima kepasar Petobo akan menimbulkan kesan marjinalisasi antar stara sosial. Kesan yang sesunggunnya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang mempunyai orientasi penyetaraan hasil-hasi pembangunan. Mungkinkah nasib para pedagang tradisional di perhatikan?, dengan pelibatan pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada orang-orang kecil itu?.
Deru pertanyaan itu terus menghantui setiap langkah manusia yang mengamati realitas itu. Pertanyaan dan desahan dalam diri yang selalu ingin di aktualkan, namun tidak memiliki tenaga yang cukup. Mungkin memang demikian tipe orang-orang seperti itu, hanya memendam pertanyaan dan desahan dalam diri tentang realitas yang ada di depannya, yang entah sampai kapan akan berakhir. Sungguh sangat ironis orang-orang itu yang harus menahan diri sampai mati sekalipun dalam kubangan pertanyaan dan desahan hidup.
Selasa, 10 Maret 2009
Pedagang Tradisional Yang Termarjinalkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar