Selasa, 10 Maret 2009

Ketika Harus Memilih


Oleh : Ruslan H. Husen

“Aku benar-benar bingung apa yang terjadi dalam diriku. Tidak ada konsentrasi dalam diriku utamanya dari sisi akademik”. Keluhku di kala senja menjelang di kampung halaman.

Aku pulang kekampung ini, karena kejenuhanku di kota. Bergelut dengan permasalahan pribadi yang lebih mendominasi di samping masalah akademik. Masalah pribadi itu, hanya menyangkut perasaan hati yang susah hilang dalam diri, selalu hadir dan menghantui setiap aktifitas. Sehingga kegiatan akademik menjadi terbengkalai atau ternomor dua-kan.

Hal ini tidak bisa di pisahkan dengan seorang teman wanitaku satu organisasi yang selalu menggoda hatiku, dengan segala kemanjaan dan keceriaannya sebut saja namanya Dewi. Sikap Dewi yang menyenangkan, membuat aku hanyut terbuai dalam hayal dan harap. Teman wanitaku itu yang telah menghilangkan konsetrasiku dalam persoalan akademik. Padahal kini aku berada dalam semester akhir perkuliahan dan konsetrasi penyusunan proposal-skripsi.

Memang aku mengakui aku suka kepadanya, bukan suka sebatas sahabat tetapi lebih dari itu. Aku mau-mau saja suruh olehnya. Kesanalah, kesitulah. Yang menjadikan diriku tidak berdaya di hadapannya. Padahal awalnya aku itu orang yang susah menurut pada orang. Kata orang juga aku keras kepala dan susah di atur. Mempunyai prinsip yang teguh, dengan berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan dengan tidak mengorbankan orang lain dan diperalat orang.

Terkadang muncul penyesalan dalam hati, kenapa harus terjadi seperti ini, seharusnya keinginan itu bisa di tekan dengan konsentasi pada tujuan utama ke kota yaitu menyelesaikan kuliah sebagaimana harapan orang tua. Tapi lagi-lagi dia datang dengan segala godaannya membuatku hanyut dan melupakan studi.

Apakah ini pelajaran hidup?, seperti selalu kukatakan padanya dalam setiap pertemuan kami. Menjadikan ini sejarah bersama, sebagai kebutuhan yang harus disalurkan atas dasar kesepakatan bersama dengan tidak melawan naluri kemanusiaan. Ataukah ini cobaan bagiku, dengan terlibat langsung di arena lapangan nyata. Terlibat dengan realitas, menguji idealisme yang selalu di agungkan.

Memang orang ketika masih berada pada wilayah idealisme dan konsep yang jauh dari realitas dan terlibat langsung dengan kenyataan, masih bisa di banggakan dan diidolakan. Namun ketika lepas dari wilayah itu dan masuk kealam nyata secara langsung, bergelut dengan segala godaan, maka besar kemungkinan ia tidak ideal lagi. Ia telah terwarnai oleh lingkungan dan orang sekitarnya. Gagasan dan cita-citanya dahulu tidak mampu di aktualkan dalam kehidupannya. Kalaupun ia berusaha untuk ideal, maka ia akan tersingkir. Sungguh sangat menyedihkan.

“Kejadian itu jugakah yang telah terjadi padaku?.” Tanyaku dalam hati.
Dahulu aku ini di kenal sebagai seorang aktivis kampus yang mempunyai potensi menentang kezaliman dan penyimpangan kehidupan dalam lingkunganku. Bukan itu saja kebijakan pemerintah nasional dan daerah yang di anggap tidak berpihak selalu kami tentang. Persoalan demonstrasi sudah menjadi barang yang akrab dalam kehidupanku. Susah senangnya lapangan perjuangan dan advokasi telah akrab selalu denganku.

Bukan itu saja, aku-pun sempat aktif dalam lembaga dakwah kampus, yang salah satu pesannya adalah larangan pacaran atau berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Pesan-pesan itu selalu saya sampaikan dalam setiap kesempatan dan pertanyaan yang mengarah kepada lawan jenis. Sehingga saya di kenal sebagai salah satu tokoh atau simbol yang menentang kerusakan moral akibat pergaulan bebas dan free seks.
Realitas kini yang ada pada diriku sungguh sangat berbeda dengan kenyataan terdahulu. Telah terjadi pergeseran pemikiran, yang teraktualkan dalam sikap dan tingkah laku. Sebagai hasil pengalaman hidup dan pergulatan pemikiran yang berkembang.

* * *
Pikiranku kini semakin bertambah lagi, dengan hadirnya seorang akhwat dalam kehidupanku, namanya Susan. Akhwat ini, jika di nilai begitu ideal, memiliki kelebihan yang mencolok yang di butuhkan oleh setiap orang. Dia memiliki sikap keibuan, dia memiliki sikap penyayang, cantik dan pintar.

“Apa masih kurang?.” Ungkapku. Belum lagi jika dilihat dari sisi agama, keturunan dan kekayaan. Semuanya kriteria itu ada padanya. Walaupun masih belum cukup maksimal, dan terpenuhi secara sempurna. Tetapi paling tidak, akhwat itu telah memiliki sebagaian besar potensi yang di butuhkan orang, apalagi yang ingin berumah tangga.

Lagi-lagi aku tertarik kepadanya. Tertarik bukan sebagai seorang sahabat tetapi lebih dari itu. Selalu ingin bersamanya, bercanda ria dengan mencurahkan segala perasaan dan kepenatan jiwa. Bahkan bercita-cita ingin membangun rumah tangga dengannya.

“Kenapa aku ini begitu mudah suka sama orang?.” Tanyaku dalam diri. “Apakah aku ini memiliki daya tarik sehingga di butuhkan orang atau karena kemampuan diplomasiku?.”
Ini bukan kisah sinetron yang memunculkan aktor dengan di dampingi banyak wanita cantik dan berebut perhatian kepadanya. Tetapi inilah kehidupanku, yang membuat aku harus memilihnya di antara teman-teman perempuanku yang lain. Bukan aku yang memulai dan menjembatani perasaan ini, tetapi mereka sendiri yang tidak tahan sehingga menyatakan keinginannya kepadaku atas sikapku.

“Apakah ini salah jika kulakukan?.” Kembali pertanyaan itu menggantui diriku.
Kembali aku dihadapkan pada pilihan, tentang konsentrasi kuliah sebagai tujuan utama kekota dan tuntutan orang tua. Atau konsentasi pada Dewi yang telah memberikan keceriaan. Konsentasi pada Susan ataukah melakukannya secara sekaligus.
“Sungguh merupakan pilihan yang sulit!.” Pikirku.

Memang kalau asal memilih jelas gampang, tetapi yang di maksud di sini adalah pilihan yang di lanjutkan dengan sikap, pilihan yang di ikuti dengan perbuatan, sehingga memudahkan pencapaian cita-cita dari pilihan itu.

* * *
Awal aku kenal dengan Dewi, ketika ada pertemuan di organisasi kami. Lalu diam-diam aku menyukai dirinya, lalu kurumuskan cara untuk bisa dekat dengannya. Walhasil aku berhasil dan kami sekarang sangat akrab sekali, seakan perasaan kami telah menyatu. Dia sering menelpon aku, dan sering pula membantu setiap kebutuhanku. Aku juga sering membantu dia, bahkan aku mau disuruh-suruh olehnya.

Kalau dengan Susan, aku kenal sudah dari dulu ketika masih SMA. Namun perasaan suka itu hadir ketika aku kenal dan dekat dengan Dewi. Entah mengapa aku semakin membutuhkan Susan, dalam setiap sisi kehidupanku.

* * *
“Mana yang harus ku pilih?.” Pertanyaan itu selalu hadir dalam setiap kehidupanku.
Kini diriku mulai bingung tentang apa yang harus ku lakukan, lagi pula aku tidak berani menceritakan persoalan ku ini kepada teman terdekat sekalipun, apalagi kepada orang tua.

Kini yang ku harapkan tinggal kepada pembaca cerpen ini untuk memberikan solusi terbaiknya tentang persoalanku itu. Ku tunggu solusinya. Dengan menghubungiku langsung atau menghubungi lewat HP pribadi dengan nomor 085241038240.

* * *
Desing Waktu
Di Wilayah sul-Teng
Pada 13 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar