Oleh : Ruslan H. Husen
Jika Anda datang ke Desa Tomoli Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong sulawesi Tengah, tepatnya di dusun enam. Akan didapatkan, ketika mulai masuk kedesa, tikungan yang cukup tajam yang telah memakan banyak korban, utamanya pengendara motor yang suka ngebut yang belum mengetahui kondisi tikungan dengan baik. Di sebarang jalan terdapat warung bakso yang cukup terkenal, hingga pengunjungnya selalu banyak dan ramai apalagi pada musim panen coklat tahunan yang besar, banyak orang yang datang bahkan ada dari desa seberang.
Di depan warung bakso, tepatnya diseberang jalan terdapat sebuah mushallah yang dibangun dari hasil dari swadaya masyarakat setempat, yang katanya tidak ada bantunan dari pihak luar sedikit pun apalagi pemerintah, hingga mushallah jadi dengan megahnya. Mushallah ini sering dijanji bantuan pembangunan oleh pihak-pihak tertentu, tetapi tidak pernah diberikan sampai pembangunannya selesai, yang menjanjikan itu mulai dari pihak tim suksesi presiden dari partai tertentu, kandidat langsung DPD propinsi sampai tim suksesi kepala desa. Kini janji tinggal-lah janji yang dilupakan sejarah bersamaan sikap acuh tak acuhnya masyarakat setempat yang tidak mau perduli dan berani menagih janji.
Mushallah yang megah ini, jika dibandingkan dengan jamaah yang hadir disetiap shalat lima waktu, sungguh sangat memperihatinkan, yang hadir paling generasi tua, generasi rambut putih dan kulit keriput ditambah seorang bernama Joni yang biasa dipanggil orang setempat dengan sebutan ustadz. Ia dipanggil ustadz karena setiap saat selalu hadir shalat lima waktu, hingga ia tidak ada alpanya dimesjid kecuali hujan deras yang menghalanginya untuk datang. Ustadz ini menghabiskan sebagian besar waktunya di mushallah tersebut. Jamaah dimasjid ini sudah saling mengenal, sudah hidup seperti keluarga sendiri.
Jodi atau Ustadz, tinggal di pinggir pantai dengan kerja sehari-hari sebagai penjaga tambak ikan bandeng. Disanalah ia beraktifitas guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Ia tinggal sendiri dalam sebuh bangunan rumah panggung yang terbuat dari papan. Ketika berangkat menunaikan shalat lima waktu secara berjamaan, ia melintasi jalanan setapak yang dikanan dan kirinya berisi tanaman coklat. Jalanan itu sudah sedemikian akrab dalam inderanya.
Seperti biasa dihari-harinya, sebelum shalat zhuhur, azan terlebih dahulu dikumandangkan untuk mengingatkan semua orang bahwa waktu shalat telah tiba dan segera tunaikan tanpa menunda lagi. Jamaah sudah mulai berdatangan, yang umumnya adalah orang tua. Tapi Ustadz tidak ikut dalam shalat jamah tersebut, yang jamaah lain mengetahuinya, tidak biasanya Ustadz tidak hadir, apalagi cuaca hari ini cukup cerah, tidak ada hujan. Anggapan jamaah lain, mungkin Ustadz ada berangkat keluar desa, tapi kenapa tidak ada yang tahu dan melihatnya keluar. Tanda tanya mulai muncul dari hati setiap jamaah.
Begitu pula setelah shalat Ashar si ustadz juga tak kunjung datang. Orang-orang jamaah masjid mulai menanyakan kepada sesamanya tentang apa gerangan yang menyebabkan si ustadz tidak datang shalat bersama mereka. Yang memang ini sudah menjadi bahan diantara mereka, ketika salah seorang yang mereka kenal tidak hadir dalam shalat.
“Tadi subuh saya lihat dia memang agak lesu, nampak kurang semangat hidup mungkin ia sakit”. Satu dari orang tua diantara mereka angkat bicara.
“Dia juga sebelumnya itu nampak tidak ada senyum, tidak seperti biasanya itu sikap Pak ustadz kepada kita. Kan biasanya ia rajin menyapa kita semua”. Sela Pajrin.
“Mungkin dia lagi jatuh cinta kali, sama seorang wanita di desa ini, kan orang jatuh cinta begitu sikapnya susah ditebak atau ia mau menikah tapi tak ada uang, kasihan yah”. Sambung mamat yang mulai bicara, diiringi dengan tawa dikuti dengan yang lainnya.
“Yah, sudahlah nanti setelah shalat Magrib, kalau memang dia juga tak ada berjamaah bersama kita disini lagi, nanti saya datang kerumahnya untuk membuktikan apakah dia memang sakit atau ada keadaan yang lain”. Sambung Pajrin.
“Ia memang sebaiknya gitu, kalau memang betul ia mau nikah cepat hingga murung gitu, ya... ucapakan saja kasihan de lu ustadz”. Dilanjutkan dengan tawa mamat.
Mamat adalah anggota masyarakat di dusun ini, ia dikenal sebagai orang yang suka humor dan suka buat tingkah yang lucu dan yang aneh-aneh. Hingga banyak orang sudah mengenal karakternya, dan menganggap itu sudah menjadi pembawaan Mamat. Ia di kenal cukup cerdas dengan berbagai kritikannya terhadap pembangunan desa, kebijakan pemerintah kecamatan dan kabupaten tetapi semuanya dibungkus dengan sikap lucu dan humor.
Hari sudah mulai petang, burung-burung sudah kembali kesarangnya masing-masing. Azan shalat Magrib sudah selesai berkumandang, nampak si Pajrin bersama orang-orang tua sudah mulai shalat Magrib. Selanjutnya yang terdengar hanya deru angin dengan suara kendaraan yang sekali-kali melintas, di tambah dengan suara takbir Pak Imam yang tampak kusyuk memimpin shalat.
Selesai shalat magrib itu, Ustadz juga tidak kunjung datang, hingga sebahagian dari mereka membenarkan bahwa ustadz sedang mengalami sakit atau ada sesuatu yang dialami Ustadz.
“Kalau memang begitu biar saya saja yang kerumahnya malam ini juga, lagi pula saya mau ambil daun obat diujung jalan itu”. Sambung Pajrin, menenangkan gelisah.
******
Di sebelah timur mushallah itu, terhampar perkebunan coklat yang sudah berumur sekitar puluhan tahun, ini dilihat dari batang pohonnya yang besar-besar dan sebagiannya lagi sudah bertunas, yang tunasnya pun sudah sangat besarnya. Perkebunan coklat ini ke arah timur di ikuti oleh aliran sungai, yang airnya tidak pernah berhenti mengalir walaupun kemarau panjang, konon sumber air sungai ini memiliki mata air yang sangat banyak dan langsung dari air bawah tanah.
Di sebelah timur perkebunan coklat ini jika kita berjalan secara terus-menerus akan di dapati pertambakan yang cukup luas. Orang sekitar biasa menyebutnya tambak atau “empang”. Di pertengahan empak yang begitu luas disertai dengan banyaknya tambak ikan bandeng terdapat sebuah rumah panggung papan, yang juga boleh di kata gubuk. Disanalah si Joni atau ustadz tinggal untuk berlindung dari hujan ketika pulang dari masjid.
Kehidupan ustadz ini jika di bandingkan dengan penduduk sekitar mushallah jauh sangat memprihatikankan yaitu dalam hal pemenuhan materi. Jika penduduk sekitar mushallah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik sampai ada yang sudah memiliki motor dan mobil, maka sebaliknya ustadz hanya mengandalkan hidupnya dari sumbangan dari orang yang kasihan kepadanya, yang ingin bersedekah kepadanya. Ustadz ini walaupun hidupnya susah ia juga tidak pernah meminta kepada orang, apalagi mengemis. Yang paling, ketika ada acara bacaan doa, yang semua pegawai syara masjid diundang, ustadz biasanya ikut, disanalah juga salah satu sumber penghasilannya. Disamping juga kegiatannya dalam mencari dan memlihara ikan.
Angin darat bertiup sepoi-sepoi, yang kadang-kadang juga kencang menerbankan debu-debu di pematang empang, mengemuruhkan dan menyibak atap rumah ustadz. Membawa sejuta cerita dan makna untuk diterbangkan bersamanya. Nampak dikeremang-remangan malam, Joni atau ustadz di beranda rumahnya menerawang jauh, seakan ingin pergi ke tujuan matanya, tapi tidak memiliki kemampuan. Janggutnya terurai panjang dan lebat, sesekali diterbangkan angin, tapi dia seakan tidak merasa dan tidak mau perduli.
Pikirannya kacau, dadanya gerah dan sesat, ingin rasanya ia berteriak untuk mengeluarkan semua beban hidup yang ada dalam dirinya. Beban didadanya sesekali memucak menambah gemuruh nafas dan menambah kencang denyut jantung. Dunia seakan gelap, tidak ada yang bersahabat dengan keadaannya, tidak ada pertolongan yang selalu diharapkan dan dinanti. Tapi semuanya beban hidup selalu saja ada, ini karena si keparat dan jahanam itu, dia yang telah membuat semua ini kepadaku, dia yang telah menyiksa batinku. Atau memang aku lah yang salah dan semua apa yang diucapkannya adalah betul.
Di tengah galut dan kacaunya pikiran terdengar ucapan salam yang tidak asing lagi dari depannya, dan tampak Pajrin melempar senyum menyambut ustadz.
“Apakah ustadz sakit, hingga tidak datang kemasjid shalat berjamaah lagi bersama kami”. Sambung Pajrin ketika sudah duduk di hadapan Ustadz.
“Jangan panggil aku lagi dengan sebutan ustadz, aku sudah tidak mau lagi dipanggil dengan sebutan itu”. Ucap ustadz dengan suara parau dan nada seriusnya.
“Kenapa, apa ada masalah ?”. Tanya Pajrin kaget, penuh selidik dan rasa ingin tahu, tetapi tetap dalam kondisi hati-hati.
Sesaat keadaan menjadi sunyi, yang terdengar hanya gemuruh angin darat yang menerbankan dan mengkipaskan atap rumah. Mereka larut dalam perasaan masing-masing.
“Kenapa ?, kelihatannya ada masalah yang sangat besar, yang telah membebani pikiranmu Pak ..... ?. Pajrin mencoba menebak.
“Ini karena orang yang sok pintar itu, ia menganggap aku ini beban agama dan masyarakat, menafsirkan agama dengan salah, hingga Tuhan pun akan marah dengan sikap dan kegiatanku sahari-harinya”. Penjelasan ustadz terhenti karena menahan gemuruh nafanya yang marah.
“Maksudnya si Jamal itu ?”. tebak Pajrin.
“Yah, siapa lagi kalau bukan dia, dia tidak menghargaiku sedikit pun, menganggap Tuhan akan marah dengan apa yang ku telah lakukan selama ini. Apakah benar Tuhan marah?. Yang aku kerjakan setiap harinya, selalu menyebut namanya di manapun aku berada dan dalam keadaan yang bagaimanapun, selalu bersujud dan berdoa kepadanya, aku berpuasa, aku selalu shalat berjamaah tepat waktu yang tidak ada shalat sunnah pun yang aku tinggalkan, semuanya aku kerjakan dengan baik. Aku tidak pernah mengambil yang bukan milikkku, aku tidak pernah berzina, aku tidak pernah membunuh orang bahkan rumput pun aku segan membunuhnya. Apakah Tuhan marah dengan apa yang telah aku kerjakan selama ini ?”. Ustadz menjelaskan dengan semangat yang penuh dengan keluh kesah.
Malam sudah semakin larut, bertambah gelap suasana jika tidak dibantu oleh cahaya bulan yang tinggal sepotong. Anginya-pun sudah mengeluarkan suhu dingin, menusuk sampai ketulang, mendorong Pajrin mengenjangkan ikat jaket dan merapatkan posisi baju. Serangga-serangga malam sudah dari tadi keluar mencari hidup guna memenuhi kebutuhannya.
Pajrin sudah lama pulang dari rumah ustadz, kini dia mengetahui penyebab ustadz tidak datang kemasjid beberapa hari ini karena ada masalah dengan Jamal. Jamal yang telah melukai perasaannya. Ia berniat akan membuat perhitungan kepada Jamal, dan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada ustadz dengan segera.
Jamal adalah salah satu generasi muda desa ini, dia baru sekitar setengah tahun pulang dari pendidikan di kota. Katanya selain kuliah di jurusan profesinya, ia juga aktif di salah satu organisasi ekstra kampus, dari sanalah ia mengembangkan kemampuan intelektualnya dan mengasah bakat dirinya termasuk dalam bidang agama. Ia memang dikenal agak kurang bergaul dengan orang sekitarnya, yang sering hanya pada keluarganya saja, kalaupun bergaul nanti ada perlunya saja. Ketika pulang dari kota ia langsung menikah dengan salah seorang gadis di desanya, yang kini isterinya kini sedang hamil.
Keesokan harinya, udara agak dingin karena barusan tadi shubuh hujan mengguyur dan suasana pagi ini masih kelihatan gerimis, tetapi tidak menghalangi orang-orang untuk beraktifitas seperti biasanya. Pagi itu Pajrin menuju ke rumah Jamal, yang tidak jauh dari mushallah yang jika ditempuh dengan naik sepeda motor.
“Asalamu ‘alaikum, ada Jamal ?”. Tanya Pajrin kepada isteri Jamal yang sedang menyapu di halaman rumah, setelah ia sampai.
“Wa’alaikum salam !!, oh tidak ada, barusan atdi dia pergi kepasar, katanya tadi mau beli kain kafan untuk ustadz”. Jawab isteri Jamal.
“Apa, untuk ustadz, apakah ustadz meninggal ?”. Pajrin penuh tanya.
“Betul, ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau hingga mati tadi pagi”. Isteri Jamal menjelaskan.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun”. Terdengar suara Pajrin ketika mendengar penjelasan isteri Jamal. Masih segar dalam ingatannya, semalam ia masih sempat bercakap-cakap dengan Ustdaz. Masih bisa merasakan paraunya suaranya.
******
Di akhirat, setelah kiamat yang mengakhirkan kehidupan di bumi. Semua manusia berbaris dengan rapinya, menunggu pemeriksaan terhadap amal yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia. Tidak ada satupun manusia yang lolos dari pemeriksaan Tuhan. Banyak di antara mereka yang diperiksa lantas digiring ke neraka. Tidak ada kekuatan sedikit pun untuk mengelak apalagi menolak dari kuasa Tuhan, menolak dan menghindar dari pengadilan yang maha adil.
Nampak diantara mereka itu, terdapat ustadz dengan wajah cerah dan senyum-senyum sambil menunggu giliran pemeriksaan, karena ia begitu yakin pasti Tuhan akan memasukkan ia ke surga, berdasarkan amal yang telah dikerjakannya selama di dunia. Ia lantas membayangkan amal perbuatan yang di kerjakannya didunia, semuanya sangat manis dan menyenagkan hati untuk diingat.
Merupakan ketentuan yang pasti, semua manusia diperiksa, hingga kini giliran ustadz. Ustadz dengan tenangnya menunggu Tuhan mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Apa yang kamu kerjakan selama didunia ?”. Tuhan bertanya.
“Yang saya kerjakan di dunia melaksanakan perintahmu, saya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zikir dan doa”. Jawab ustadz dengan yakin.
“Selain itu, apa lagi yang kamu kerjakan ?”. Kembali tanya Tuhan.
“Saya laksanakan semua shalat sunat siang dan malam, saya selalu berpuasa senin kamis”. Tambah ustadz.
“Apa lagi ?”. Tanya Tuhan.
“Saya tidak pernah berzina, tidak pernah mencuri apalagi membunuh bahkan rumputpun tidak rela saya cabut”. Jawab ustadz sudah mulai takut dan cemas, karena jangan sampai Tuhan salah sangka dan salah menetapkan hukuman.
“Apa lagi yang kamu kerjakan selain itu ?”. kembali tanya Tuhan.
“Saya selalu membaca kitabmu, siang dan malam serta di manapun saya berada”. Jawab ustadz cemas.
“Apa lagi ?”.
“Sudah tidak ada lagi Tuhanku, semuanya sudah saya katakan, yang saya kerjakan perintahmu seperti yang tertulis dalam kitabmu”. Jawab Ustadz coba membersihkan dirinya. Selanjutnya dirasakannya hawa panas api neraka mulai mendekatinya, membuatnya semakin panik dan pucat.
“Ayo katakan lagi apa yang kamu kerjakan selama di dunia ?”. kembali tanya Tuhan.
“Tuhanku, aku selalu mengerjakan perintahmu sebagaimana tertulis dalam kitabmu yang suci”. Jawab ustadz penuh harap, agar Tuhan mau mengerti keadaannya bahwa ia tidak bersalah, dan harus di masukkan kedalam surga seperti yang janjikan dalam kitabnya.
Akhirnya ustadz diseret ke neraka oleh malaikat-malaikat yang bertugas. Tidak ada kekuatan dan daya untuk melawan kekuatan dari malaikat itu, hingga selanjutnya ustadz larut dalam panas api neraka yang panasnya tidak ada bandingannya dengan api yang paling panas sekalipun di dunia ini. Perasaannya selalu gelisah dan tidak tenang dalam api neraka tersebut. Dilihatnya disekitaranya, nampak orang-orang yang dikenalnya di dunia dulu selalu melakukan perbuatan seperti apa yang telah dikerjakan, kini disiksa bersama-sama dia. Jelas ini merupakan ketidak adilan Tuhan, demikian keluh Jodi
“Pasti Tuhan telah salah menerapkan hukumannya kepada kita, dan salah memasukkan kita ke neraka ini, bukankah kita selalu mengerjakan apa yang dia perintahkan”. Ustadz memperingatkan rekannya yang lain.
“Iya pasti telah salah melakukan pemeriksaan kepada kita, kita harus protes dan minta penjelasan kepada kita masuk di neraka ini”. Jawab yang lain membetulkan ucapan ustadz.
“Kita harus protes, biar kita tahu apa betul kita ini salah atau tidak”. Yang lain menambahkan.
“Kalau perlu kita kudeta saja, dan tidak mengakuinya sebagai Tuhan, bukankah perubahan di setiap aspek kehidupan?”. Jawab salah seorang yang nampaknya tokoh revolusi waktu hidup di dunia dulu.
“Kalau begitu kita minta pada malaikat penjaga neraka ini, untuk memberi keringan sejenak dari siksa ini untuk meminta penjelasan Tuhan kenapa kita di masukkan ke neraka ini. Karena ini jelas merupakan ketidak adilan”. Ustadz meyakinkan.
Akhirnya mereka di perbolehkan malaikat menghadap kembali kepada Tuhan, untuk meminta penjelasan kenapa kita di masukkan keneraka ini.
“Tuhanku kenapa kami di masukkan kedalam neraka, bukankan kami ini adalah hamba-hambamu yang taat di dunia dulu”. Tanya ustadz bernada protes, yang mewakili teman-temannya pada Tuhan.
“Baiklah kalau itu keinginan kalian, kalian ini hidup di negara mana ?”.
“Negara Indonesia”. Jawab ustadz yakin mewakili temannya.
“Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah itu ?”. Tuhan kembali bertanya.
“Iya Tuhanku”. Jawab ustadz.
“Daerah yang memiliki tanah yang subur, laut yang luas itu ?.
“Iya betul”.
“Negara yang kekayaan alamnya dikelola dan banyak dinikmati orang asing itu?”.
“Betul Tuhanku”.
“Negara yang mayoritas penduduknya melarat, miskin dan selalu diancam kelaparan itu, sementara orang asing, kaya dengan hasil curian sumber daya alam di negara itu”.
“Iya Tuhanku”. Membenarkan pernyataan Tuhan, dan mulai mengetahui letak kesalahannya.
“Lalu kenapa kerja kalian hanya melaksakan ritual agama saja, seperti shalat, puasa, zikir dan doa, kalian biarkan dirimu miskin, bodoh dan melarat sementara orang –orang asing kaya raya dengan mencuri di negaramu, sementara kamu biarkan mereka dan tidak mau perduli dengan kenyataan itu. Kamu semua hidup di negara yang kaya, melimpah kekayaan alamnya, sementara anak cucumu tidak di didik dengan ilmu pengetahuan dalam mengelola kekayaan alam. Apa kamu pikir aku ini, tidak berkuasa ketika tidak kamu sembah seperti apa yang kamu lakukan di dunia dulu atau kamu anggap saya hanya menyuruhmu melakukan hubungan vertikal denganku saja, kekuasaanku tidak akan berkurang sedikit-pun dengan tindakanmu itu”. Selanjutnya Tuhan menyuruh malaikat menyeret ustadz bersama kawan-kawanya kembali ke neraka untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya dulu di dunia.
Dengan penuh penasaran ustadz bersama teman-temannya di seret kembali oleh malaikat, sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan lagi yang mau di tanyakannya pada Tuhan, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, terpaksa pertanyaan itu di arahkan kepada malaikat-malaikat yang menyeretnya.
“Sebenarnya bagaimana hidup di dunia agar manusia memperoleh keselamatan baik di dunia dan di akhirat”.
“Yaitu menyeimbangkan antara hubungan vertikal dengan horisontal, hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Jadi selain melakukan ibadah ritual kepada Tuhan yang merupakan kewajiban sebagai hamba secara pribadi seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain, juga disertai dengan hubungan yang baik antar sesama manusia, yang dalam hal ini bertanggung jawab atas tatanan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera sesuai dengan keinginan Tuhan. Harus mengupayakan kesejahteraan umat, melakukan pemberantasan korupsi dan menjaga lingkungan agar tetap tidak rusak. Bukan malah bersekongkol dengan para pecundang, pemuka, dan penguasa yang memegang otoritas dan institusi pemilik kebenaran formal yang melegalkan segala bentuk pemerasan dan pemerkosaan hak masyarakat umum yang telah menopoli kebenaran secara mutlak. Keadilan semakin menjadi benda sejarah yang tidak layak lagi dipertontonkan, sementara ketimpangan dan keserakahan diusung kepermukaan dan ditonjolkan untuk di akui. Dimana manusia dipaksa mengakui kesalahan sebagai kebenaran.
Perwujudan masyarakat yang diinginkan itu, harus selalu disertai dengan gerakan ideologis yang dapat diterima dan berlaku di segala tempat dan waktu dengan cara menetang segala bentuk ketidak-adilan, kezaliman dan pemerkosaan kebenaran atas nama keadilan rakyat. Gerakan itu bertanggung jawab penuh terhadap perbaikan keadaan masyarakat secara umum”. Malaikat mengakhiri penjelasannya dan menyeret ustadz bersama kawan-kawannya ke neraka.
Selasa, 10 Maret 2009
MENENTANG PUTUSAN TUHAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar