
Oleh : Ruslan H. Husen
Entah sudah berapa kali buku yang ada di tanganku ini ku bolak-balik dan kubaca, tetapi tidak ada konsentrasi untuk memahami isinya. Telah ku coba untuk memahaminya, tetapi juga tidak bisa. Dahulu tidak pernah aku alami hal seperti ini, hampir semua buku yang dibaca dapat ku pahami dengan baik, apalagi sampai terbaca berulang-ulang.
Aku menyadari sepenuhnya, tidak ada kebutuhan akan membaca. Tidak ada maksud untuk memahami isi buku yang ada di depan. semua itu menjadi pelarian atas perasaan hati. Yang lebih di butuhkan adalah jawaban atas kepastian masa depan untuk hidup bersama dengan seseorang, yang dahulu telah memberikan janji. Janji yang diberikan dengan sangat yakin, untuk membangun rumah tangga.
“Betul. Kepastian akan janji yang telah di berikan kepadaku.” Tebakku dalam hati.
Sebut saja nama orang itu adalah Wati. Wati sudah mulai tidak menepati janjinya lagi, dengan indikasi tidak mau lagi berkomunikasi denganku, seakan cuek dengan keberadaanku dan tidak mengganggap aku ini ada lagi.
Memang aku ini banyak kekurangan, utamanya dengan kondisi fisikku yang sering sakit. “Tetapi apakah itu yang menjadi permasalahan utama sehingga ingin ingkar janji?.” Tanyaku dalam hati. “Bukankah isi perjanjian tidak ada menyebutkan, perjanjian akan batal jika kondisi kesehatanku menurun. Apalagi persoalan sakit bisa menyerang siapa saja, termasuk Wati sendiri tanpa terkecuali.”
“Kemana kini harus ku mencurahkan semua beban perasaan ini?.” keluhku. “Adakah orang yang akan mendengar beben derita hatiku dan mau memberikan oase saat dahaga seperti ini?.”
Memang salah satu isi perjanjian hati kami adalah hubungan ini bersifat rahasia, tidak bisa di ketahui oleh orang lain termasuk teman terdekat. Aku telah berusaha untuk menepati isi perjanjian itu dengan harapan hubungan dapat lancar terus.
“Tetapi mengapa ia terus menjauh dariku, apa salahku”. Kembali keluhku dalam hati. “Kapan Wati mau menepati janjinya terdahulu”.
Isi perjanjian itu adalah, saya akan datang melamar untuk membangun rumah tangga, setelah ia selesai kuliah dan memperoleh gelar sarjana. Keinginan itu bukan otoritas semata-mata keinginanku sebagai seorang laki-laki, tetapi kesepakatan kami berdua dahulu. Kesepakatan yang terbangun dengan sadar yang tidak ada intervensi pihak lain.
* * *
Mulanya aku kenal dia saat awal-awal perkuliahan di suatu Universitas yang ada di kota ini. saat itu tidak ada perasaan yang istimewa di antara kami, semuanya biasa saja dan datar saja seperti tripleks.
Dalam perjalanan waktu. Karena keseringan berhubungan atau berkomunikasi dalam berbagai macam kegiatan kampus dan kegiatan organisasi, diam-diam aku mulai mengagumi dirinya (Wati). Kekagumanku ini mungkin dirasakan juga oleh teman-teman laki-laki yang lain. Karena dia selain pintar juga memiliki wajah yang cantik. Tetapi dalam kamus kami “pacaran” adalah hal yang dilarang. Olehnya itu saya tetap yakin dia belum memiliki tunangan hidup berumah tangga.
Hal itulah yang membuat aku terus bersemangat berhubungan dengannya. Karena sepengetahuanku ia belum memiliki pasangan atau tunangan untuk menikah nanti. Logikanya ketika belum ada tunangan atau calon yang sah dalam berumah tangga, maka siapa saja boleh mengajukan keinginannya dan menyatakan kesiapan dalam berumah tangga.
Dalam pertemuan sesekali aku mencoba meliriknya dan Wati juga melirikku. Mata kami beradu, tersimpan sejuta perasaan yang membutuhkan jawaban. Hal itulah yang selalu ku ingat dan membuat aku terus bersemangat dalam berhubungan dengannya. Apalagi tersiar kabar burung (berita yang belum tentu benar) bahwa, Wati juga menginginkan diriku untuk mendapinginya kelak. Tetapi paling tidak, itu sebagai simbol awal yang menguntungkan.
Dalam hatiku telah tumbuh benih cinta yang bersemi. Semerbak kesetiap sikap dan tingkah laku-ku kepadanya. Aku begitu menjaga sikap dan tingkah laku kepadanya. Aku begitu berharap banyak kepadanya, akan kehadirannya dalam kehidupanku. Siang malam aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar kami di pertemukan dalam suatu naungan rumah tangga yang bahagia nanti.
Selain berdoa setiap saat, aku juga terus berusaha agar selalu dekat dengannya lewat berbagai macam kegaitan organisasi. Organisasi itulah yang menjadikan komunikasiku dengan Wati tetap lancar.
Perlu di tekankan, organisasi di sini bukan menjadi alat untuk mencari jodoh atau teman saja, tetapi ini juga menjadi bagian dari cita-cita organisasi disamping tujuan-tujuan besar lainnya yang lebih berorientasi kepada masyarakat umum.
Wati sudah sering menelponku, sering kirim sms kepadaku. Sementara aku tidak menyianyiakan kesempatan itu dan melakukan tindakan agar ia senang dan terbantu dengan diriku.
Tetapi tidak semua yang ingin di minta tolong oleh Wati aku penuhi, hal-hal yang sanggup aku perbuat saja yang dikerja. Yang jelas komunikasiku dengan Wati tetap lancar dan mulus demi cita-cita ke depan.
Sebenarnya aku sudah bosan terus berhubungan dengan Wati sebatas masalah teman saja. Dalam hatiku ingin meningkat lagi menjadi teman spesial yang di khususkan dan berniat akan berumah tangga.
Berbagai macam cara ku lakukan agar kesempatan yang baik itu datang untuk mengungkapkan perasaan. Yang dia juga memiliki keleluasaan untuk bisa mengungkapkan isi hatinya. Karena aku merasa Wati juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tinggal sekarang waktu yang tepat untuk menjembatani perasaan ini.
Kesempatan yang ditunggu ternyata hadir juga. Lewat jasa komunikasi, perasaan kami terjembatani, dalam niat membangun rumah tangga bersama. Sungguh sangat bahagia perasaan hati ini. Hanya air mata yang mampu keluar sebagai gambaran kebahagiaan yang melingkupi hati. Desah haru melingkupi rasa hati akan gambaran dan cita-cita membangun rumah tangga bersama orang yang di nanti dan di cinta ialah Wati.
* * *
Tetapi di tempat ini, cerita dan sejarah itu tinggal kenangan, tidak ada realisasi untuk mewujudkan cita-cita terdahulu.
“Apakah semua janji dahulu itu adalah bohong semata?.” Tanyaku dalam hati, atas sikap Wati selama ini yang selalu menjauh dariku. “Ataukah aku telah melakukan kesalahan, sehingga perjanjian kami itu sudah tidak berlaku lagi?. Tapi salahku apa?”
Entah sudah berapa banyak Sms yang ku-kirim kepada Wati, untuk mengingatkan janji dan kesepakatan kami terdahulu tetapi dia juga tidak kunjung membalasnya. Awalnya aku berfikir, “Mungkin pulsanya habis?.”
Lalu ku telp, tetapi jawabannya sungguh menyakitkan hati. Ia berbicara seolah tidak mengenal diriku lagi, sudah lupa dengan janji dan kesepakaan kami lalu. Tidak ada respon yang menyenangkan darinya.
Mungkin aku kembali harus pasrah. Serta menyatakan ini sebagai cobaan kepadaku pribadi. “Tetapi, tidak ada lagi-kah harapan bagiku?, dan dia mau mengingat janjinya terdahulu?.” Tanyaku terus dalam hati.
Kini aku berharap, kejadiaan ini cukup aku saja yang mengalaminya. Cukup aku saja yang merasakannya. Cukup aku saja yang menderita batin atas janji seseorang. Tidak usah di alami oleh pembaca cerpen ini, siapa-pun dia. Semoga!.
* * *
Arena Di Nanti
Perasaan di Jl. Mawar Palu
Rabu, 14 Juli 2006
Selasa, 10 Maret 2009
Ingkar Janji
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar