Oleh : Ruslan H. Husen
Di suatu hari, hujan turun dengan gerimis, tidak deras dan tidak juga pelan. Matahari seakan malas untuk mengeluarkan sinarnya. Angin sesekali bertiup menyebarkan hawa dingin. Terlihat beberapa ekor burung dengan asyiknya berkicau, terbang dari pujuk dahan yang satu ke dahan yang lain, seakan turut menikmati suasa senja itu, yang seakan tidak memperdulikan cuaca.
Beberapa orang tetangga tetap duduk bertahan di beranda rumahnya, seakan malas untuk beraktifitas. Yang sebagiannya, menyempatkan diri mereka berbicara satu sama lainnya. Kendaraan yang lalu lalang di jalanan-pun masih bisa di hitung dengan jari, karena sepinya jalanan. Suasana senja itu membuat kegiatan orang sekitar berpusat di rumahnya masing-masing.
Aku duduk di kursi rotan di teras depan rumahku, turut memandangi percikan air yang jatuh dari sudut atap rumah. Airnya begitu kabur, membuat lubangan kecil pada tanah. Sebagian hasil air itu mengalir menuju selokan di sebelah kanan rumahku. Aku berfikir, mungkin alahkah baiknya seperti air itu, mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah, seakan tidak ada beban dan hambatan yang terima. Walaupun warnanya kabur, ia tidak pernah protes dan berontak dari hasil campuran tanah yang mengenainya. Air itu, tetap menyirami tumbuhan di bumi, membawa suasana kehidupan untuk semua.
Turut ku berfikir saat itu tentang seorang perempuan yang kini mendominasi pikiran dan hayalku. Dimana-pun aku berada, sedang apa-pun yang aku kerjakan, dia selalu saja hadir dalam diriku. Bayangannya seakan begitu nyata di depanku. Suaranya, raut mukanya begitu jelas. Aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Aku begitu merindukannya, aku membutuhkan dirinya, dan aku selalu ingin bersamanya bercerita tentang diri dan kehidupan, bercanda tentang keadaan sekitar. Seakan tidak ada semangat untuk hidup ketika tidak ada kerelaan dirinya. Dia begitu ku sanjung dan ku puja. Dengan dia, aku bersemangat menulis cerita ini.
* * * * *
Awalnya aku mengenal dia lewat kegiatan organisasi. Maklum aku juga menjadi salah satu pengurus di dalamnya. Waktu itu kami sedang rapat, dan yang bertindak sebagai pimpinan rapat, kebetulan adalah aku. Dari sana-lah dia ku perhatikan, wajahnya, senyumnya, cara bicara dan tingkah lakunya selalu saja dalam pengawasanku. Bahkan sesekali ku gunakan tekhnik, meminta tanggapan darinya tentang pembahasan kami, sambil terus memperhatikannya. Tetapi kegiatanku itu ku usahakan dengan seprofesional mungkin tidak ada teman-teman yang tahu bahkan curiga.
Selang beberapa waktu, keinginan untuk melihatnya kembali terasa berkecamuk dalam dada. Untunglah pada saat itu, ku ingat kembali ada agenda organisasi untuk melakukan rapat evaluasi tentang program kerja, sehingga kesempatan untuk melihat atau bahkan mengenalnya lebih terbuka peluang lagi. Bahkan demikian semangatnya, aku lantas menawarkan diri kepada pengurus organisasi kami untuk membantunya mengantarkan undangan rapat.
Beberapa orang teman, ku tanya untuk mengetahui di mana rumah perempuan itu. Dengan alasan mengantarkan undangan, ku beranikan diri mendatanginya. Tapi, aku kecewa pada waktu itu, karena dia tidak ada di rumah, kata teman yang satu rumah dengannya dia lagi kerja tugas kelompok bersama teman-teman satu fakultasnya. Terpaksa aku meminta nomor hand ponenya, dengan alasan kalau ada keperluan maka mudah untuk di hubungi.
Dengan memakai kata yang agak formal, ku coba menulis Sms dengan tujuan nomor HP-nya, perihal memberitahukan undangan rapat evaluasi itu. Di penghujung kata Sms, tidak lupa ku tulis kata, “Tolong di balas”. Aku terus menunggu dengan harapan dia mau membalas Smsku dengan segera. Setiap ada bunyi di HP-ku, kuharap dialah yang memiliki tujuan dari ujung sana. Tapi sudah seharian aku menunggu, Sms yang di nanti itu, juga tidak kunjung datang.
Kemudian ku putuskan untuk menghubunginya langsung lewat telepon umum. Ternyata dari seberang sana kedengaran, “Tekan bintang, untuk meninggalkan pesan....”. Setiap kali ku hubungi yang terdengar hanya itu kalimat itu terus saja yang keluar. Akhirnya operator wartel melihat juga kegelisahanku dengan mengatakan, “Itu veronika, tidak bisa dihubungi”. Setelah itu ku putuskan untuk pergi, tapi operator wartel itu malah memanggilku menagih biaya veronika itu. Oh, Tuhan. Betapa sialnya aku ini, tidak berhasil menghubunginya malah uang saku-ku, harus ku pakai membayar biaya veronika itu. Akhirnya aku pasrah, dengan harapan teman satu kosnya itu mau menyerahkan undangan rapat yang saya titip itu untuk dia.
Waktu terus berputar, yang di nanti kini tibalah sudah. Rapat evaluasi organisasi sudah beberapa saat selesai, teman-teman juga sudah banyak yang pulang. Ku coba mendekatinya, yang kebetulan sedang berbicara dengan ketua organisasi kami. Ku coba menyapanya dengan sangat hati-hati dan dengan senyum ceria. Dia balik, membalas sapaanku. Ternyata dia begitu enak diajak bicara, begitu mudah bergaul sama orang. Tidak lama, kami seakan sudah sangat akrab.
Dari sana hubunganku dengan dia semakin baik, dia juga sering meminjam bukuku, sering meminta tolong kepadaku. Bahkan aku-pun selalu dibantunya saat kesulitan. Komunikasi dengan diapun sudah lancar. Rasanya, kami sudah semakin dekat dan mengenal. Tidak ada lagi kesulitan untuk bisa bertemu dengannya.
Aku merasa dengan sangat yakin, dia menyukaiku, dia mengharapkan cinta dan kasih sayangku. Mungkin saya tidak terlalu mengada-ngada. Terbukti dengan raut muka dan sikapnya kepadaku, yang menunjukkan dia menginginkanku dan menunggu reaksi pasti dariku. Rasanya perasaan kami kini sudah tidak layak lagi di sebut sahabat, rasanya aku akan mengatakannya dengan segera perasaan cinta ini, tentang apa yang saya rasakan dan dia rasakan, kemudian memintanya menuju ke pintu tunangan atau pernikahan. Sebab kalau ingin pacaran, maka tidak ada jalan yang diberikan oleh organisasi kami. Pacaran begitu di tentang dan dilarang dilakukan anggota-anggotanya. Dan saya pribadi-pun tidak akan melanggar aturan itu, dan saya juga yakin dia-pun demikian juga.
Tapi waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu tidak-lah juga datang. Memnita bantuan orang lain, juga tidak baik bagiku. Akhirnya, suatu hari ia mengatakan kepadaku akan pergi ke Makassar bersama keluarganya untuk liburan. Terjadi gejolak dalam perasaanku. Ku paksakan untuk mengatakan perasaan ini kepadanya, pada saat itu tidaklah tepat. Tetapi kalau ku diamkan maka aku atau bahkan juga dia, akan lama pada posisi ketidak pastian perasaan ini. Namun, juga aku mencoba belajar bersabar akan arti dan gejolak perasaan.
Kini dia ada di seberang sana berlibur bersama keluarganya. Aku berkeinginan, ketika dia pulang lagi ke sini, maka saya pasti bisa mengatakan ke inginanku kepadanya. Saya akan mengatakan ingin menikah denganya. Juga kepada pembaca tulisan ini tolong sampaikan salamku kepadanya dan jangan lupa untuk mendoakan kami agar dapat menuju kepintu pernikahan.
Selasa, 10 Maret 2009
Dalam Penantian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar