Selasa, 10 Maret 2009

Mencari Ilmu Ikhlas


Oleh : Ruslan H. Husen

Bunyi bising suara kendaraan yang terus berlalu di jalan raya. Menggambarkan kompleksnya pekerjaan dan urusan dari masing-masing insan. Semuanya seolah berpacu memanfaatkan waktu, dan tidak ingin terkalahkan dengan yang lainnya. Itulah persaingan hidup, menuntut manusia memiliki kemampuan sumber daya agar dapat bertahan dan sejahtera dalam hidup.

Dinamika kehidupan adalah kompleksitas gambaran alam, yang menghadirkan berbagai macam tipe sikap dan tingkah laku dari masing-masing insan. Ada yang memusatkan tujuan kehidupannya dalam pemenuhan dan kepuasan materi dan ada yang tidak terpedaya dengan materi, serta berbagai tipe lain insan dalam memandang alam dan seisinya.

“Hidup ini hanya sementara, Jon. Makanya mari kita nikmati dengan sepuasnya. Tidak ada yang bisa menghalangi kebebasan kita. Kita adalah pemilik segalanya”. Kata Herman diiringi dengan suara tawa membela kesunyian malam dengan di dukung dua orang temannya yang lain. Suaranya sungguh gaduh, menggambarkan kehidupan hedonistik individualis yang kental.

Hidup Herman termasuk dalam strata sosial sejahtera. Baginya mendapatkan uang tidak-lah susah, cukup dengan meminta kepada Bapak atau Ibunya maka akan diberikan dengan cukup berlimpah. Maklum kedua orang tuanya memang dari golongan mampu (konglomerat). Dari hidup mewah itulah, Herman menggunakan segala fasilitas yang diberikan untuk berfoya-foya dan mencari kesenangan semata.

Herman juga menjadi orang yang di sukai oleh teman-teman segolonganya, karena ia memang tidak pelit dalam mengeluarkan uang dan barangnya. Lagi pula teman-teman yang lain merasa cocok dengan Herman dari sisi hobby dan kesukaan. Mereka semua rata-rata suka berpesta, suka jalan-jalan untuk rekreasi dan berbelanja kebutuhan hidupnya serta mengumbar kesukaan lainnya yang tentunya membutuhkan uang yang banyak.

Orang tua Herman sendiri, tidak terlalu memusingkan dengan keadaan anaknya yang senang berfoya-foya itu. Mereka percaya sepenuhnya dengan Herman, lagi pula memang Herman menjadi anak yang sangat di sayang setelah satu orang adinya. Orang tua Herman ini juga merupakan orang yang cukup sibuk, biasanya dalam seminggu selalu ada saja urusan di luar kota, menjadikannya jarang ada waktu untuk keluarga di rumah.

Dalam perjalanan hidup manusia ternyata tidaklah selalu sama, ada saja yang menyebabkan manusia itu berubah pandangan. Pandangan yang teraktualkan lewat sikap dan tingkah laku. Contohnya, Herman sudah beberapa hari ini memiliki sikap yang lain. Ia sudah tidak biasa lagi kumpul sama teman-teman sekelompoknya, walaupun kumpul Herman biasanya banyak diam dari aktif. Jelas ada yang berubah dari diri Herman, kalau dulu dia suka riang seakan tanpa beban tapi sekarang malah banyak murungnya.
“Herman, ada apa dengan kamu sebenarnya”. Tanya Irham, salah seorang teman Herman di dalam kelompoknya.

“Saya tidak apa-apa!!”. Agak kaget Herman, mendapatkan pertanyaan itu.
“Jujurlah Man, kami ini adalah temanmu juga, kalau memang ada kesulitan maka kami akan usahan untuk membantu”. Tanggap Irham.
“Benar saya tidak ada apa-apa, santailah. Kata Herman.

Nampak kedua temannya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Herman. Jelas bagi mereka, Herman ingin menutupi masalahnya dan tidak ingin orang lain mengetahuinya.
“Iya Man, kami ingin membantu kesulitanmu, kalau memang kamu sedang ada masalah”. Sambung Joni yang ada di samping Irham.

“Betul saya tidak ada masalah, hanya kecapken saja barangkali!!”. Timpal Herman”. Herman memandang kedua orang sahabatnya, seolah ingin memastikan keseriusan kedua orang temannya, teman yang sesungguhnya selalu dekat dengannya.

*******
Pertemuan dengan gadis itu sungguh berkesan. Yang membuat bayangannya susah untuk di lupakan, karena memang dia terlalu baik dan bersahaja. Raut mukanya begitu karisimatik, tidak menimbulkan kebosanan dalam memandangnya. Sementara suaranya merdu, membuat hati ingin selalu mendengarnya.

Nama gadis itu adalah Siar, nama panjangnya Dewi Siar Indah Sari. Dia tinggal tidak jauh dari rumah Herman. Nama yang cantik begitu sesuai dengan orang yang bersangkutan. Herman bertemu dengan dia saat menghadiri Diskusi Publik yang diadakan oleh salah satu organisasi masyarakat. Herman dipertemukan dengan Siar berkat bantuan temannya Joni yang bertindak sebagai ketua panitia kegiatan itu.

Pertemuan yang sungguh berkesan, yang susah untuk dilupakan. Harus berterima kasih dengan cara apa kepada Joni yang telah mengenalkan ia kepada diri Herman. Ah,.. biar Tuhan yang membalas jasa baik Joni. Dari pertemuan itu pula Siar mengundang Herman untuk datang kerumahnya esok malam. Dari sana tentu akan menumbuhkan keakraban di antara kami.

Jujur di ungkapkan, Siar begitu ideal dalam bayangan Herman. Herman telah berniat dalam hati akan berusaha mendapatkan hati Siar, guna mendayuh hidup bahagia bersamanya. Kehidupan yang sangat di nantikan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Tapi ketika bertemu dan berkenalan awal dengan siar semuanya menjadi berubah, seakan ada semangat utama yang menguasai demi tujuan hidup itu.

Esok malam menjadi waktu yang sangat lama untuk seorang Herman. Itulah yang membuatnya tidak menentu dalam berfikir, tentang apa yang harus disiapkan dan dilakukannya nanti. Berhadapan dengan Siar, apakah akan akrab atau malah akan berakhir tanpa bekas. Herman berniat dan semangat untuk sukses dalam pertemuannya nanti itu.

* * * * * *
Matahari di ufuk timur sudah lama terbenam, cahayanya sudah tergantikan dengan selimut malam. Lampu-lampu rumah menjadi penerang utama saat malam. Saat yang di nantikan, saat yang menegangkan bagi Heman ketika akan bertamu kerumah Siar.
Dengan menggunakan sepeda motor, Herman menuju kerumah Siar. Tidak susah dalam mencari alamatnya, karena memang telah di beritahu dan telah di cek beberapa hari yang lalu. Rumah itu cukup mewah, di itari dengan pagar besi yang tinggi. Menjadikannya rumah yang elok dan menawan seperti sebuah istana mungil.

Dari dalam rumah terdengar bunyi salam, “Waa’alaikummussalam War. Wab”. Setelah Herman sampai di depan pintu rumah itu dan memberi salam.
Perasaan Herman sangat tidak menentu, membayangkan apa yang akan di lakukan dan yang akan terjadi. Dari balik pintu terdengar suara setelah pintu terbuka, “Maaf Pak, cari siapa?”.

“Eng... Siar ada?”.
“Maaf bapak ini siapa ya?”.
“Saya temannya Siar!!”. Kata Herman.
“Iya ada, silahkan masuk dan duduk. Sebentar ya, saya panggilkan dulu”.
“Iya, makasih”. Herman menganggut.

Terbayang bagaimana sikap nanti ketika bertemu dengan Siar. Ah… biasa sajalah dalam sikap, tidak perlu terlalu tegang. Siar-kan juga manusia. Demikian pikir Herman setelah duduk.
“Assalamu’alaikum”. Tiba-tiba suara menyambut dari arah kiri Herman. Dia sempat agak kaget mendengar suara. Kemudian ia menjawab.
“Wa’alaikummussalam”. Sambutnya sambil berdiri dan berjabat tangan.

Ternyata yang datang bukan Siar melainkan ayahnya. Setelah duduk kembali mereka berbincang-bincang dengan cukup santai. Bagi Herman ayah Siar cukup gaul juga, enak di ajak ngobrol serta memiliki kedalaman ilmu agama. Darinya Herman banyak mengetahui tentang penyimpangan kehidupan yang selama ini ia geluti, ia memperoleh gambaran bagaimana harus bersikap dan menjalani hidup ini.

Dari dinding rumahnya juga tergambar kondisi yang religius. Beberapa lukisan dan perhiasan yang bernuansa Islam terpampang. Menggambarkan penghuni rumah merupakan orang yang taat beragama. Memang benar lukisan dan gambaran fisik belum bisa dikatakan orang yang bersangkutan taat, tetapi minimal ini sebagai langkah dan kesadaran awal, apalagi kalau tuan rumah menunjukkan sikap dan tingkah laku yang beretika dihiasi dengan nilai-nilai agama.

Dalam bayangan Herman dengan membandingkan situasi rumah dan keluarganya dengan apa yang di ketahui dari Siar dan keluarganya. Sungguh sangat berbeda, di sini seolah menjanjikan kedamaian jiwa, tanpa tekanan perasaan yang selalu menghantui dan mengganggu, sementara dirumahnya hal itu tidak diketemukan. Akankah dirinya dan keluarganya dapat berubah?. Demikian pikir Herman terus merenung, dengan harap dan cita-cita diri.

“Silahkan di minum Mas?”. Suara mempersilahkan Herman.
Herman agak kaget mendengar suara itu, ternyata ia telah menghayal begitu lama, sehingga tidak menyadari kedatangan Siar yang mengantarkan minum. Perasaan semakin tidak menentu, di antara sikap serba-salah dan perasaan senang dan panik. Nampak Siar tersenyum manis kepada Herman dan duduk di samping ayahnya.

Bercakap-cakap dengan orang yang dinanti dan diharap tentu menimbulkan kehati-hatian diri, takut salah dan yang bersangkutan jadi tersinggung. Itulah yang terlintas dalam diri Herman. Dia sungguh hati-hati dalam berbicara sehingga kesan kaku dan pasif tampak darinya.

“Ade, saya tinggal dulu ya?. Silahkan ngobrol-ngobrol dengan Siar”. Kata ayah Siar sambil berdiri dan berlalu.
“Iya Om”. Jawab Herman singkat, sambil tersenyum.
Ternyata yang selama ini di takuti oleh Herman ketika berhadapan langsung dengan Siar tidak-lah terjadi. Malahan suasananya sungguh sangat menyenangkan. Tidak terbayangkan olehnya, ia semakin akrab dengan Siar. Yang di bicarakan macam-macam saya mulai masalah agama, akademik, peradaban dan dunia remaja. Perlahan tapi pasti hatinya mulai menaruh hati pada Siar dan bertekad akan berhubungan lebih lanjut kepadanya.
“Maaf saya tidak bisa ngaji!!”. Jawab Herman agak kaget, ketika Siar menanyakan, apakah ia sering ikut pengajian. Dia begitu jujur mengakui kelemahan dirinya, tapi memang demikianlah kenyataan itu.

“Tapi mulai dari sekarang saya akan belajar mengaji”. Tambah Herman tegas dan yakin memberi kepercayaan pada dirinya yang mulai ada perubahan cara pndang.

* * * * * *
Hubungan antara Siar dan Herman semakin lancar. Herman juga sudah sering berkunjung kerumah Siar, dan orang tuanya-pun senang menerima Herman. Jalinan hubungan itu semakin lancar, menimbulkan benih-benih cinta yang perlahan tapi pasti telah tumbuh, mekar-semerbak mengeluarkan aroma yang menguasai hati dan jiwa akan adanya hasrat untuk selalu bersama dan merindu kekasih hati.

Bagi orang tua Siar, tidak ada masalah berhubungan dengan laki-laki, asal anaknya bisa jaga diri dan orang yang bersangkutan juga memiliki niatan yang baik yang terbaca lewat sikap dan tingkah lakunya. Hanya ada kekurangan Herman tidak menguasai ilmu agama, malahan tidak pernah shalat dan tidak bisa mengaji, itu yang di ketahuinya.

Tapi Herman telah berjanji kepada Siar dan orang tuanya untuk dirinya bisa belajar dan menguasai cara shalat dan mengaji serta dapat mempraktekkannya. Janji itu keluar setelah Herman mengutarakan niatannya untuk menikahi Siar, tetapi sang ayah meragukan Herman dan memberikan syarat tersebut untuk dia lakukan.

“Saya berjanji akan bisa mengaji dan bisa shalat dalam minggu ini, Om. Demi cita-cita saya memperisteri Siar”. Kata Herman sungguh-sungguh.
“Baiklah nanti kita uji kembali, selamat berusaha”. Jawab ayah Siar, dengan tetap di sertai nada canda tapi serius.

Perjalanan waktu telah mengantarkan Herman kepada keadaan yang sangat berlainan dari yang sebelumnya. Kalau dulu ia gemar berfoya-foya membelanjakan uang dengan tidak jelas dan menentu, sekarang ia telah menjadi orang yang penyayang kepada yang lemah dan gemar bersadakah atau menyumbang demi kepentingan umum. Serta dalam dirinya juga sudah mulai keingian kuat untuk bisa mengaji dan bisa shalat, sebagai salah satu kewajiban yang ada dalam ajaran Islam.

Terjadi perubahan drastis dalam perlaku dan kehidupan Herman. Perilaku yang sungguh tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang yang ada disekitarnya termasuk keluarganya. Tentu saja perubahan itu memperoleh pertanyaan.

“Ma,.. shalat itu hukumnya wajib. Di akhirat nanti yang pertama di hisab itu adalah shalat. Jadi kalau shalat saja tidak pernah, maka seluruh amalan yang lain tidak ada gunanya lagi walaupun kita itu sudah menyumbangkan harta yang banyak, sudah membantu orang. Makanya di katakan shalat itu adalah tiang agama. Kalau shalat tidak di tegakkan, maka robohlah agama itu”. Kata Herman menjelaskan kepada Ibunya dalam suatu kesempatan.

Setiap manusia memiliki kecenderungan fitrawi, yang menuntutnya kembali kepada kebutuhan hakiki sebagai hamba Tuhan. Setelah dinasehati secara terus menerus, orang tua Herman akhirnya mulai menganal shalat. Belajar dari ketidak-tahuan dan kesibukan yang menguasainya dalam menguasai petunjuk dan bacaan dasar shalat.

Keinginan keluarga Herman memang bukan main-main, selain sholat juga diiringi dengan belajar dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lain. Kini tumbuhlah mereka menjadi keluarga yang Islami dengan di hiasi dengan keluhuran budi pekerti dan kasih sayang antara sesama manusia. Disamping limpahan materi yang menjadi faktor utama disenanginya keluarga ini, juga kedermawan dan kebaikan kepada semua orang yang menonjol.

*******
Waktu yang di nanti telah tiba. Herman benar-benar diuji penguasaan terhadap bacaan mengaji dan bacaan shalat. Memang Herman selama ini telah belajar dengan tekun siang dan malam, sehingga ujian yang dihadapinya serasa berlalu dengan tidak ada hambatan berarti. Herman cukup senang dengan tanggapan ayah Siar yang menerimanya menjadi calon mantu dan akan menikahi Siar anaknya.

“Tapi, masih ada satu syarat lagi yang harus kamu lalui”. Tantang ayah Siar di mushallah setelah mereka selesai menunaikan shalat.
“Apa itu Om. Saya akan coba untuk melewatinya demi tujuan saya. Saya mencintai Siar, untuk itu kami akan menikah jika Om merestuinya”. Jawab Herman tegas.
“Niatmu cukup bagus dan semangatmu kuat”. Sambung ayah Siar.
Mereka diam sejenak larut dalam pikiran masing-masing. Bergelut dengan pertanyaan dalam imajinasi.
“Syarat yang berikutnya kamu harus mencari ilmu ikhlas. Tentang apa itu ilmu ikhlas, bagaimana mendapatkan dan mengamalkannya serta bagaimana tanda-tanda orang yang menguasai ilmu ikhlas itu”.
“Baiklah Om. Saya akan usahakan!”.
“Juga jangan lupa setelah mendapatkannya lantas segera diamalkan, dan waktu untuk menemukan ilmu ikhlas itu hanya sampai dua minggu kedepan. Jelas?”. Tutup ayah Siar.
“Jelas Om”. Kata Herman sambil menganggut.

Perjalanan waktu telah menjadikan Herman menjadi seorang yang giat dan semangat dalam mencapai tujuannya. Ia begitu yakin dan optimis dapat mendapatkan ilmu ikhlas itu dan dapat segera menikah dengan Siar, sebab ilmu ikhlas itu merupakan syarat terakhir yang diberikan oleh ayah Siar.

Toko buku menjadi sasaran utama Herman guna menemukan ilmu ikhlas itu. Entah sudah berapa banyak buku di beli dan di pinjam oleh Herman, tapi ia merasa belum juga menemukan ilmu ikhlas yang dimaksud itu. Tapi dengan semangat yang tinggi Herman akan mendapatkannya. Selain mencari melalui buku Herman juga berusaha bertanya kepada orang yang dianggap mampu dan menyelesaikan masalahnya.

Usaha yang dilakukan benar-benar giat, sehingga keluarganya merasa kasihan juga dengan Herman melihatnya bergelut dengan usaha sepanjang saat guna menemukan ilmu itu. Tapi, sampai saat ini Herman belum juga menemukan ilmu ikhlas yang dimaksud. Sudah muncul ketidak-percayaan pada diri, akan ketidak mampuannya menemukan ilmu ikhlas itu.

Sikap pesimistis telah menguasai diri Herman, setelah sebelumnya di penuhi dengan rasa optimisme yang tinggi. Kini ia akan merelakan Siar lepas dari dirinya. Karena ketidakmampuannya menemukan ilmu ikhlas yang di maksud, dengan waktu yang semakin singkat yakni tinggal tiga hari lagi kedepan. Saat dirinya akan di tanya tentang hasilnya dalam mencari ilmu ikhlas itu.

Kegundahan Herman semakin bertambah, setelah menerima surat dari Siar yang mengatakan dirinya telah di jodohkan dengan orang lain yang sebentar lagi juga akan datang melamar. Siar menuliskan, akan keputusan dirinya di serahkan sepenuhnya kepada orang tuanya untuk memutuskan siapa yang akan menjadi jodohnya nanti. Siar percaya sepenuhnya dengan orang tua dan akan menjalani hasil keputasan yang diambil oleh ayahnya. Tetapi Siar tetap menaruh harapan besar kepada Herman agar ia terus mencari ilmu ikhlas itu, karena dia juga mencintai dan mengharapkan Herman-lah yang dapat mendampingi hidupnya nanti, menjadi suami dari Herman.

Perasan semakin tidak menentu, dengan harapan yang diberikan oleh Siar yang begitu mengharapkan Herman menjadi suaminya. Herman kemudian menulis surat dan isinya menyatakan dia belum bisa menemukan ilmu ikhlas itu, mungkin memang mereka tidak berjodoh dan alternatif terakhir adalah berdoa kepada Tuhan, tapi tetap dirinya berjanji untuk menemukannya hingga waktunya nanti ia ditanya.

Perasaan yang menuntut menjadi pasrah, akan ketidak-mampuan Herman. Dalam harapan dan cita-citanya, biarlah Siar menikah dengan orang lain asal ia bahagia dengan pilihan orang tuanya. Herman merasa sudah sangat bersyukur akan karunia yang diberikan Tuhan mempertemukan dirinya dengan Siar. Yang telah membuat dirinya mengenal agama, dengan menekankan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial sebagai suatu tuntunan yang harus dilakukan secara bersama-sama. Antara kebutuhan dunia dan akhirat dengan tidak mengorbankan satu diatas yang lainnya.

Bagi Herman sudah cukup baginya bisa lebih baik, dapat meninggalkan kebiasaan buruknya yang dahulu, berkat hubungan dan perkenalannya dengan Siar dan orang tuanya. Manfaat itu sungguh tidak dapat diukur dengan limpahan materi sekalipun. Keadaan yang telah merubah cara pandang keluarganya, menuju keadaan yang lebih yang berorientasi pada kesalamatan dunia dan akhirat. Semoga cita-cita ini dapat terwujud.

* * * * *
Hari itu Herman akan berangkat rekreasi melepaskan rasa hatinya untuk melapaskan dan merelakan Siar menikah dengan orang lain yang telah dijodohkan orang tua dengannya. Kegiatan ini dilakukan sebagai pengalihan perasaan agar tidak terlalu tertekan. Memang ia membutuhkan Siar, tapi ketidak-mampuannya menemukan tentang ilmu Ikhlas, maka ia harus merelakan Siar. Yang penting Siar dapat bahagia dengan orang pilihan orang tuanya.

“Hai, Herman mau kemana?, he!?”. Tanya ayah Siar saat bertemu Herman di jalanan ketika ia menuju mushallah.
“Saya mau berangkat rekreasi Om, sama adik saya ini!!”. Jawab Herman.
“Ko, malah berangkat rekreasi sih”.
Herman agak ragu, memang hari ini adalah hari tes pada dirinya tentang hasil pencarian dari ilmu ikhlas yang ditugaskan.
“Ayo kita ke mushallah dulu lah. Di sana ada pertemuan untuk memastikan siapa yang akan menjadi calon mantu saya. Sebaiknya kamu ikut biar kamu tahu siapa yang saya pilih dan apa yang menjadi alasannya”.
“Tapi Om. Sekarang saya sudah merelakan Siar menikah dengan orang lain”. Kata Herman terpotong.
“Yah, nanti saja di jelaskan di mushallah. Ayo”. Kata Ayah Siar mengajak.

Tidak ada pilihan lain bagi Herman dengan tidak memenuhi ajakannya. Segera saja ia memutar haluan menuju ke mushallah yang jaraknya tidak jauh dari mereka berdiri sebelumnya.

Ternyata di dalam mushallah sudah ada dua orang, yang di kenal. Yang satu adalah calon Siar hasil perjodohan orang tuanya namanaya Nawir, sementara yang satunya lagi adalah ayah dari laki-laki itu. Keduanya nampak begitu sopan dan berwibawa, kelihatan mereka orang yang terpandang dan sering di hormati.

“Kenal-kan ini Herman”. Kata ayah Siar mengenalkan diri Herman kepada Nawir dan ayahnya. Mereka saling berjabat tangan dengan di hiasi senyum menghiasi bibir masing-masing.

Pembicaraan pendahuluan mulai berlanjut, yang bayak mengarahkan pembicaraan adalah ayah Siar, karena memang dia memiliki kehendak dalam menentukan siapa yang akan menjadi mantunya dan memperisteri Siar. Dia nampak begitu selektif menentukan keriteria yang di berikan sebelumnya terutama kepada Herman.
“Begini Om, saya merelakan Nawir-lah yang pantas untuk menjadi suami Siar. Jadi saya mau permisi dulu Om, mau pergi rekreasi”. Kata Herman.

“Jangan dulu pergi, disini saja-lah dulu mendengarkan siapa yang akan saya pilih menjadi mantu saya, biar tidak ada yang merasa tidak diperhatikan dengan alasan-alasan yang saya tentukan”.

“Tapi Om, bagi saya sudah cukup mengenal Siar dan Om sendiri. Bagi saya dan keluarga saya itu adalah berkah yang sangat berharga, yang tidak pernah terpikirkan dalam diri kami sebelumnya. Kalau dulu keluarga kami tidak bisa mengaji dan shalat sekarang kami sudah mengenal kewajiban dalam agama Islam ini. Kami menyadari sepenuhnya nikmat itu sangat berharga, dan hanya kepada Tuhan kami memohon agar Om dan keluarga diberinya pahala yang setimpal atas kemurahan dan perkenan Om dan keluarga menerima saya selama ini. Tapi sekarang saya, akan merelakan Siar menikah dengan Nawir, karena memang dia yang pantas mendapatkannya. Saya dan keluarga akan menerima keputusan itu dengan sebaik-baiknya, yang pasti Siar dan Om dapat bahagia, maka kami di situ juga akan merasa bahagia. Maaf Om saya berkata demikian bukan dilandasi rasa cemburu”. Kata Herman, sambil tidak kausa menahan air matanya yang mulai keluar. Air mata suci, yang tidak pernah dialaminya selama ini, yang kini hadir dari kenyataan di hadapannya. Sambil menjabat dan mencium tangan ayah Siar, orang tua yang begitu di hormati dan di idolakan.

Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Diam-diam ayah Siar juga mulai terharu dengan keberadaan Herman dan keluarganya yang sebenarnya itu. Tersirat dalam hatinya akan kebahagiaan dan cita-cita yang ingin diraihnya dengan segera. Cita-cita akan menghantarkan pada kearifan dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang ayah.

Dalam harunya suasana, ayah Siar berkata, “Kamu-lah yang akan menjadi menantuku, kamu telah menemukan ilmu Ikhlas itu”. Sambil menunjuk-nunjuk muka Herman.
Semuanya tidak berani berkata menyambung maksud ayah Siar, larur dalam perasaan masing-masing. Menanti sesuatu yang akan terjadi.
“Tidak Om, saya merelakan Nawirlah yang pantas menjadi suami Siar”. Kata Herman.
“Betul, kamu Herman telah menemukan ilmu ikhlas itu”. Sambil bergegas menjabat tangan Herman dan memeluknya.

Suasanya semakin haru. Diri di penihi rasa bahagia yang sulit terukir dengan kata-kata dan pena. Yang mengetahui dengan pasti adalah yang bersangkutan. Kenapa tidak, harapan selama ini yang di usahakan siang dan malam dengan usaha giat serta semangat tinggi telah berhasil, walaupun sebelumnya sempat mengikhlaskan dirinya.
Itulah dinamika kehidupan yang hadir dalam diri insan. Tidak ada yang tidak berubah dalam dunia ini, semuanya berputar menuju pada hakikat yang sebenarnya bagi mereka yang mengorientasikan diri sepenuhnya pada diri Sang Khalik. Kenikamatan terbaik, ketika manusia mampu merubah diri dan orang sekitarnya menuju pada nilai-nilai kemanusiaan. Kesadaran itu lahir dari dalam diri yang akan berlangsung secara terus-menerus dan akan mendarah daging dalam keturunannya mendatang.

Kerugian terbesar manusia, jika keadaannya hari ini malah lebih buruk dari hari sebelumnya. Tidak ada peningkatan kualitas kelimuan dan sikap dalam hidup. Kerugiaan itu akhirnya akan berdampak pada penderitaan di dunia ini serta rusaknya peradaban sosial akibat dirinya.

Bagi mereka yang telah berikrar akan kekuasaan Tuhan Esa dengan mengaktualkan ideologi kemanusiaan dalam diri harus melakukan pencerahan dan pendampingan sosial di masyarakat. Dia memiliki tanggung jawab penuh atas penyakit sosial yang ada dan berusaha menemukan obat dan pencegahannya. Semua potensi diri di kerahkan untuk melakukan pemberdayaan guna peningkatan potensi masyarakat dalam mengetahui diri dan lingkungannya.

Kesalahan terbesar manusia, ketika ia tidak memiliki kepekaan terhadap realitas sosialnya, bersikap acuh tak acuh dengan mementingkan diri sendiri. Kesalehan yang di lakukan hanya untuk dirinya sendiri tanpa ingin memikirkan orang lain. Yang bersangkutan memang rajin dan taat shalat, zikir dan puasa namun tidak pernah memikirkan kemiskinan yang melanda tetangganya, lingkungan yang rusak dan lain-lain.
Kehidupan manusia diarahkan pada keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Kesalehan pribadi tetap diimbangi dengan kesalehan sosial dengan tidak mengorbankan satu atas yang lainnya, itulah hakikat kehidupan sebenarnya guna meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di pagi Hari
Waktu Tinombala (Palu)
Rabu, 17 Mei 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar