
Oleh : Ruslan H. Husen
Di sore itu, keadaan cukup tenang. Angin bertiup dengan sepoi-sepoi menumbuhkan rasa indah pada alam. Sinar matahari di ufuk barat mengeluarkan cahaya kemilau warna warni ketika berbenturan dengan segumpal awan menggulung. Itulah gambaran alam nyata, yang melambangkan kekuasaan yang Maha Mutlak, Tuhan Yang Maha Esa, tempat segala makhluk bersandar dan memohon pertolongan.
Kekuasaan Tuhan meliputi segala sendi-sendi kehidupan, menuntut setiap insan berperan aktif dalam setiap pengembangan peradaban ke arah yang lebih manusiawi dengan mencegah setiap kerusakan-kerusakan pada alam sekitar. Itulah makna syukur yang di aktualkan lewat tingkah laku. Jadi selain percaya kepada-Nya saja tidak cukup, harus di ikuti dengan ibadah ritual-formal berdasarkan petunjuknya, juga harus melakukan ibadah yang bersifat hubungan sosial-kemasyarakatan.
Dalam duduk-ku sudah lama aku membaca buku, tapi rasanya tidak ada yang terlalu membekas dalam imajinasiku. Tulisan-tulisan yang terbaca, memang di lakukan, namun pemahaman tidak ada. Lembaran-lembaran kertas buku terus terulang, tapi tidak ada yang menarik atau menggugah hati untuk diketahui. Aku mengakui pikiranku sedang melayang-layang. Memikirkan suatu dinamika kehidupan dan prosesnya. Mungkin itulah yang menyebabkan tidak adanya konsentrasi dalam membaca dan memahaminya, karena dominasi pikiran dari luar lebih menguasai.
Buku yang ada di hadapanku dan sedang saya baca ini memang buku yang cukup menarik. Buku yang up to date untuk kondisi kekinian. Buku yang mengupas problematika hukum dan perundang-undangan di negara ini. Yang entah isinya yang terlalu rumit atau memang tidak adanya kesiapan dari dalam diri untuk mencerna isinya. Tetapi yang jelas adalah baru saja saya mengalami peristiwa dalam hidup dan membuat harus berfikir keras tentang makna kehidupan. Berfikir guna menemukan esensi dan substansi dalam hidup, tentang pertanyaan untuk apa hidup dan akan ke mana hidup serta bagaimana menjalani hidup.
Terus terang, yang lebih menguasai pikiranku adalah, sikap dan cara bicara anggota-anggota kami dalam satu payung organisasi, ketika melaksanakan ritual organisasi yaitu pertanggung jawaban pengurus. Organisasi kami adalah organisasi ekstra yang di kenal luas di tengah masyarakat. Organisasi yang boleh di kata berbeda dengan kelompok-kelompok gerakan lain. Ketika melaksanakan ritual organisasi itulah yang di sebut dengan Musyawarah Besar, sikap dan cara bicara para anggota kami itu yang sangat berubah. Berubah dari sisi daya pikir dan kemampuan diplomatis, yang dahulu tidak mereka miliki.
Kenapa tidak, dahulu para anggota-anggota itu adalah bawahan kami. Kami yang mendidik mereka, memberi pelajaran dan pengajaran kepada mereka tentang diri dan alam sekitar, melalui berbagai macam model pendekatan. Kemampuan mereka semua itu dari sisi potensi kemanusiaan tidak dapat di pisahkan dari didikan kami ini. Kamilah yang telah berjasa mengangkat mereka dari alam kebodohan. Barangkali klaim ini terlalu berlebihan, tetapi yang jelas kami lebih dahulu masuk organisasi ini dan mengurusnya.
Lalu sekarang, sungguh sangat lain dari yang di harapkan. Mereka para peserta didik kami itu, dengan sangat bangganya, dengan sangat semangatnya melakukan kritik, melakukan hujatan-hujatan yang sungguh kami sangat tidak harapkan. Dimana kini rasa balas budi mereka, dimana penghormatan mereka kepada senior-seniornya?. Tidak adakah sedikit rasa kasih sayang kepada kami ini?. Mereka semua itu melakukannya atas dasar dari mana, ilmu dari mana yang mereka telah dapatkan?. Sangat berbeda perlakuan itu dari yang kami lakukan terhadap para senior kami dalam organisasi ini. Kami sangat menghargai dan menghormati para pendahulu kami. Menganggap mereka adalah guru sejati kami, yang sampai kapan-pun kami selalu berhutang budi baik kepadanya.
Sungguh berkecamuk perasaan dalam dada, yang suatu keadaan membuat sesak terasa. Membuat keringat menetes dari dahi dan pelipis. Menghadirkan bayang-bayang persidangan pada saat presentase laporan pertanggung jawaban pengurus. Keadaan itu, serasa masih segar dalam hayal dan imajinasi. Membuat ketegangan hadir dalam diri, membuat tidak adanya konsentrasi dalam membaca. Mungkin itulah penyebabnya.
Harus di akui ini adalah bagian dari dinamika kehidupan, yang menuntut setiap insan mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari dalamnya. Memang manusia selalu akan di hadapkan dengan berbagai macam persoalan dan rintanganm, tetapi rintangan dan persoalan itu bukan untuk di takuti melainkan untuk di dahapi dengan tenang dan tetap optimis. Dari proses itulah menghasilkan kedewasaan, dalam hal mengarungi hidup. Bukankah orang dulu berkata bahwa, guru yang paling berharga adalah pengalaman hidup.
* * * * *
Kembali teringat suasana pertanggung jawaban ketika musyawarah organisasi itu. Para anggota yang merupakan utusan dari lembaga bawahan yang kami pegang, dengan sangat gigihnya melakukan kritik, terhadap kinerja kami. Berkecamuk perdebatan dan perhulatan akbar guna menemukan yang terbenar. Memang kami mengakui sebagai manusia biasa ada kekurangan dalam mengurus organisasi ini, tetapi itu-lah yang mampu kami lakukan dengan sangat sungguh-sungguh. Lalu, kalau yang mengkritik itu memang adalah kualitasnya lebih di atas dari kami atau sejajar-lah, maka kami akan terima, tetapi ini, anggota yang baru kemarin yang belum jelas apa kerjanya dalam organisasi, belum di ketahui komitmen perjuangannya, dengan sangat beraninya menghujat kami-kami ini.
“Pengurus kali ini, tidak layak di sebut sebagai pengurus dan hanya layak disebut sebagai pengacau yang tidak becus”. Kata-kata itu, kembali masih terngiang jelas dalam hayalku. Kata-kata itulah yang menjadi bagian kecil perdebatan dalam acara musyawarah itu.
Memang-kan dalam pertanggung jawaban di organisasi-organisasi ada mekanisme sering dan tanya jawab yang biasanya terbukus dalam bingkai kritik. Tapi kritik yang maksud adalah, kritik positif dan negatif, bukan kritikan deskruktif. Kritik positif adalah kritikan yang mengungkap kebaikan dan mengarahkannya ke arah yang lebih baik dan bersifat membangun. Begitu pula dengan kritikan negatif adalah, kritikan yang mengungkap kejelekan tetapi di gunakan sebagai barometer, koreksi untuk menuju kearah yang lebih baik dan masih dalam bingkai membangun. Sementara kritikan deskruktif adalah kritikan yang mengungkap kejelekan dan keburukan yang belum di ketahui kebenaran obyektifnya dan mengarahkannya kepada kehancuran, perpecahan dan kerusakan.
Kritikan jenis deskruktif inilah yang di gunakan para anggota-anggota muda itu dalam menghabisi kami. Sehingga yang terjadi, bukannya membangun organisasi malah terancam organisasi bubar dan pecah. Kritikan itu telah menyusahkan-ku, membuat harus berfikir keras bagaimana cara mengatasi kemelut ini. Kemelut yang membuat beberapa pengurus harus menahan perasaan atau “makan hati”.
* * * * *
Kembali aku termenung dan berfikir, bukankan semua peristiwa yang terjadi itu ada hikmah dan pelajaran di baliknya. Pelajaran yang dapat menghantarkan kedewasaan dalam berfikir. Peristiwa ini harus di pikirkan secara matang dan dengan niat baik menghadapinya. Lagi pula sikap berkecamuk ini hanya ada dalam diri. Sehingga diri ini pula harus mempelajarinya dan kemudian mengambil pelajaran darinya.
Dalam pikiranku, sikap kritikan itu-kan lumrah saja, apalagi dalam mekanisme organisasi. Jadi harusnya saya itu tidak bisa terbawa emosi lantas menyalahkan pihak lain, dan menganggap diri sendiri yang benar. Bukankah sikap itu sikap yang egois atau mau menang sendiri dan tidak mau mengetahui kedirian orang lain. Harusnya selalu bersikap tenang dan selalu berprasangka baik pada orang lain. Kritikan itu di harapakan dapat lebih memperbaiki diri kita, lagi pula-kan kita ini bukan malaikat yang tanpa dosa dan noda. Harusnya menanggapinya dengan baik dan berproses pula dengan baik dengan tetap memperhatikan hubungan antar sesama.
Kalau kritikan model deskruktif dianggap tidak membangun, maka tanamkan dalam diri bahwa jangan melakukan itu karena orientasinya adalah menghancurkan dan merusak. Lalu mencoba bertahan pada sisi proses yang lebih baik dan membangun, baik pada diri sendiri maupun pada diri orang lain.
Selasa, 10 Maret 2009
Kritikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar