
Oleh : Ruslan H. Husen
“Ah, mati lampu lagi.” Keluh Iwan yang sedang menonton. “Padahal lagi asyik-asyiknya menonton”.
Ardi keluar dari kamar, “Apa sudah mati lampu?. Padahal saya mau mengetik tugasku dan tugas itu besok akan dikumpul. Aduh bagaimana ini!!?.”
“Ya, sudah kalau sudah mati lampu, mau apa lagi. Paling besok baru nyala”. Kata Kartini, Ibu mereka.
“Tapi, Ibu tugasku itu sangat penting dan mau dikumpul.”
“Siapa suruh tidak ketik memang tadi, ketika lampunya masih menyala”.
“Iya saya kira matinya nanti sore, ini-kan masih pagi sudah mati.
Lampu yang di maksud di sini, aliran listrik dari PLN. Lampu yang sangat di butuhkan oleh masyarakat. Kejadian dalam kisah itu hanya merupakan gambaran cerita yang menimpa sebuah keluarga ketika mengalami mati lampu.
* * *
Listrik dalam era sekarang, sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Bukan saja di daerah perkotaan tetapi juga sampai pedesaan. Kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memudahkan pekerjaan banyak yang menggunakan tenaga listrik. Kini kebutuhan listrik telah melintasi batas strata sosial masyarakat.
Perkembangan tehknologi telah melahirkan alat-alat produksi yang membantu manusia dan menggunakan energi listrik. Realitas tersebut menuntut di penuhinya listrik dalam setiap waktu dan wilayah masyarakat. Mulai dari alat-alat rumah tangga, sampai alat-alat produksi di perusahaan semuanya membutuhkan energi listrik.
Pemadaman listrik pada hakikatnya mematikan potensi kreatifitas masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dari padamnya listrik, berbagai kegiatan menjadi terhambat bahkan tidak berfungsi. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan ketersediaan energi listrik adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda memiliki tugas agar mampu menyerap aspirasi masyarakat umum dengan mengeluarkan kebijakan yang mampu meningkatkan penghasilannya.
Pemadaman listrik di daerah ini hampir terjadi setiap saat, bahkan muncul istilah bergiliran dengan satu hari menyala dan satu hari padam. Yang masyarakat di minta untuk memahami kenyataan itu. Kenyataan itu bukan tidak memperoleh protes dari masyarakat, tetapi karena kejenuhan dan kesibukan mengurus pekerjaan lain, sehingga protes hanya berlangsung secara sporadis dan tidak sestematis. Dan hal itu jelas menguntungkan pihak pengambil kebijakan di daerah ini.
Kalau ingin melihat potensi daerah sungguh sangat luar biasa besarnya. Pendapatan daerah selalu mengalami peningkatan, dan celakanya alokasi hasil pendapatan itu hanya di gunakan untuk proyek-proyek yang tidak bersentuhan langsung pada masyarakat. Belum lagi masalah korupsi yang menjamur di birokrasi Pemda ini, semakin menambah suram upaya mensejahterakan masyarakat.
Masyarakat selalu di tuntut untuk membayar pajak, baik pajak PBB, pajak kendaraan bermotor, dan pajak pertambahan nilai barang. Jumlah pendapatan dari pajak itu bukan tidak sedikit, lalu ditambah lagi dengan sumber-sumber pendapatan daerha yang lain. Maka semakin menambah tingginya jumlah pendapatan daerah. Katanya pajak dan pendapatan daerah yang lain itu akan di gunakan untuk kepentingan umum. Tetapi kenyataannya, kepentingan umum yang mana di maksud?. Apakah kepentingan para pejabat itu dengan keluarganya?.
Masyarakat ketika lambat membayar pajak harus rela menerima denda. Kedisiplinan rakyat selalu dituntut disatu sisi, namun disisi lain kebobrokan dan budaya korupsi meraja lela di kalangan birokrasi di perlihatkan. Semakin hari, semakin terlihat kesenjangan sosial antara pejabat dengan masyarakatnya. Pejabat tidak lagi menyatu, terjadi batas pemisah serta kecemburuan sosial yang bisa memancing perpecahan.
Hal ini bukannya tidak percaya lagi kepada elit politik di daerah, tetapi minimal ini bisa membudayakan sikap “malu” dengan mau memperhatikan nasib rakyat dengan mengupayakan kesejahteraan. Setidaknya tersedianya energi listrik yang memadai. Kalau alokasi dana untuk penyediaan energi listrik saja tidak bisa, lalu mengapa proyek-proyek besar lainnya itu bisa di lakukan.
Apakah Pemda menutup mata atas hal ini?. Atau pura-pura dan tidak mau tahu, asal buat program yang bisa menguntungkan dirinya?. Setidaknya ini menjadi kenyataan pahit di daerah ini, yang sudah lama berdiri dengan limpahan sumber daya alam berlimpah tetapi dalam menyiapkan energi listrik saja tidak mampu. Sungguh sangat ironis sekali. Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menjadi korban dan mendapat keuntungan adalah pejabat elit.
* * *
Selasa, 10 Maret 2009
Mati Lampu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar