Oleh : Ruslan H. Husen
“Tahu tidak, walaupun kamu itu siswa pindahan, tapi kalau gaul and pintar, kan tetap asyik”.
“Kemarin aja Mery dan Tania nagis-nangis minta saya jadi pacarnya”.
“Hai, jadi orang itu jangan terlalu GR (gede rasa), bukannya dia nangis-nangis minta kamu supaya tidak ngejar dia lagi?”.
“Ha...ha...ha...”. Kini Angga yang ketawa dengan setengah mati, sambil memegang perutnya. Bicara sama Angga memang membuat yang dengar bisa ikut-ikutan gila.
“Jadi bagaimana, Sep ?. Kamu jadi pacar saya saja ya?”.
“Jadi pacarmu ??. Apa tidak salah ??. Kamu ini mengada-ngada saja!!”. Septi meletakkan ujung telunjuknya tepat di tengah keningnya. Kemudian kening itu dikerut-kerutkan, gayanya memang seperti orang lagi berfikir berar.
“Maaf, tidak jadi. Saya ini terlalu manis buatmu Sep”.
“Yeee.... bertingkah kayak orang ganteng saja”.
“Memang saya ini ganteng ko. Buktinya kamu masih mau berteman dan dekat-dekat sama aku”. Angga sambil terbahak-bahak diiringi dengan tertawa ringan.
“Hai kamu tahu tidak. Saya ini masih berteman dan dekat-dekat sama kamu, karena saya kasihan, kalau bukan saya temanmu maka tidak akan ada orang yang mau berteman denganmu”.
“Apa tidak salah itu?. Buktinya banyak orang yang berteman denganku, apakah satu sekolah ini kasihan semua sama aku?. Tidak benar itu kalau orang berteman dan dekat denganku, karena kasihan sama saya”.
“Wah…wah… sampai separah itukah yang terjadi. Saya rasa tidak!!. Oya hal itu tidak usah kita bicarakan lagi. Sekarang saya mau tanya, katanya kamu sudah punya pacar ya, dikampung juga?”. kembali Septi mengalihkan pembicaraan dan memunculkan topik pembicaraan baru.
“Iya, memang ada”. Jawab Angga enteng sambil memegang dahinya.
“Kok masih engejar-ngejar saya?”.
“Eh, Septi. Kita itu ibarat perusahaan, kalau tidak buka kantor cabang tidak besar namanya. Pohon kalau tidak banyak cabang dan rantingnya tidak besar namanya. Dan cowok kalau tidak banyak ceweknya, tidak play boy namanya.
Septi mencibir cengkel. Kemudian menyedot minumannya sampai tinggal setengahnya.
“Mau jadi play boy juga ya?.
“Iya dong, biar buat sejarah bagi kehidupanku”.
Suasana hening sesaat, keduanya larut dalam perasaan masing-masing, yang terdengar hanya suara canda pembicaraan dari teman-teman yang ada disekitar kantin itu yang juga tidak menghirukan keberadaan Septi dan Angga.
“Kamu- kan bisa cari pacar lain selain aku. Angga kenapa harus saya sih yang kamu taksir?”.
“Maaf, sekarang aku ingin jujur. Kamu itu kelebihannya banyak”.
“Memang aku kelebihannya apa?”.
“Kamu orangnya manis dan cantik, tidak sombong, senang bergaul sama orang dan dermawan, pokoknya kalau aku jelaskan kelebihanmu waktunya bakal lama, bisa seharian malah”.
“Ah bisa aja kamu”.
“Ya… bisa lah, jadi bagaimana Sep, kamu terima aku?”.
Septi menghela nafasnya dengan sebel, “Angga, kayaknya kamu perlu psikologi deh”.
Angga melihat Septi dengan pandangan aneh, tapi Septi tidak berusaha memandangnya balik.
“Dulu, sebulan tiga cewek yang kamu taksir dan terus berubah lagi. Sekarang saya yang kena sial pula, ikut-ikutan kamu taksir. Teman sendiri lagi. Apa tidak gila ?!”.
“Aduh, Septi itu bukan gila namanya, itu normal. Normal. Yang gila itu kalo saya ikut-ikutan kamu naksir si Ahmad itu”.
Septi langsung kaget sambil mendelikkan matanya. “Jangan keras-keras!” bentaknya “Kalau kedengaran orang saya bisa jadi malu. Lagian kamu tau dari mana?.
“Loh….waktu itu, kamu yang cerita sama aku, bahwa kamu sudah punya pacar, katanya kerja di Bontang namanya Ahmat, apa lupa sih, atau pura-pura lupa”
Septi manggut-manggut, seperti orang yang sangat mengerti. “Nah, sekarang kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu masih ngejar-ngajar aku biar jadi pacarmu“
“Bagiku, Sep itu tidak menjadi soal, kalau kamu juga memiliki pacar lain. Bukan-kah jodoh itu ada ditangan Tuhan lagian kamu ngak pernah kenalin aku sama pacarmu itu, jadi bisa saja fiktif alis tidak betul“
Septi cuma bisa memcibir lagi.
“Jadi gimana Sep ? mau jadi pacar saya ?. Tolong dijawab”.
Septi menggerakkan mata bagusnya dengan sinar setajam kilat. bicara sama Angga memeng tidak bisa menang. Lidahnya pintar berkelit, segala ilmu dipakai mulai dari ilmu logika-argumentasi sampai filsafat, semuanya digunakan.
“Ah.... sebentar dulu. Sebaiknya kita pulang saja ya ?.....”. Sambil meraih tas yang masih tergeletak diatas meja.
Angga terbengong.
“Jadi jawabanmu apa ..?, terima saya atau tidak?”.
“Apa jawaban itu penting”.
“Ya... sangat penting, bahkan itu menentukan sikapku yang akan datang kepadamu”.
“Oke kalau seperti itu, tapi saya pikir dulu, besok kita ketemu lagi, oke bagaimana ?“.
Emm… sepertinya terlalu lama, kalau hanya memutuskan apa mau atau tidak. Oh ya, bagaimana kalau nanti malam aku kerumahmu, boleh tidak ?”.
“Boleh, kapan sih kamu itu saya larang kerumah. Asal datang serta pergi mempunyai maksud baik, tidak bermaksud mencelakakanku “. Septi menimpali.
“Oke bos, terima kasih, dan tolong jawabanmu sudah ada nanti malam, tidak perlu pakai pikir-pikir lagi”.
Septi tersenyum manis dan mereka pulang dengan membawa sejuta perasaanya masing-masing yang terpendam dalam dihati.
******
Sang surya telah lama tenggelam diufuk timur, lampu-lampu penerang rumah sudah lama dinyalakan. Angga melirik jam tangannya, lima belas menit lagi jam tujuh untuk janjian datang kerumah Septi.
Dengan memakai kemeja model terbaru dan celana T5S yang diyakininya pasti keren, dan ditambah dengan jam tangan Seiko terbaru yang melingkar ditangan kirinya, Angga berangkat kerumah Septi dengan mengendarai motor F1ZR terbaru yang semakin menembah rasa percaya dirinya.
“Angga, saya kira tidak jadi datang”. Kata Septi setelah Angga datang dan duduk.
“Memangnya saya lambat?, sekarang-kan baru jam tujuh!”.
“Iya memang masih jam tujuh, tapi sudah lewat beberapa menit”.
“Ya, sudah-lah itu tidak penting, sekarang yang penting langsung pada maksud yang sebenarnya saja. Yaitu tujuanku datang kesini, hanya mau tahu jawabanmu apa, terima aku menjadi pacarmu atau tidak, itu saja”.
“Angga, kamu tahu tidak, cowok seperti kamu itu adalah makhluk yang paling egois sedunia. Maunya menang sendiri, menekan dan memaksa orang lain meminta kepastian. Pokoknya egois, seperti kamu ini”.
“Oke kalau saya dikatakan egois saya terima dengan senang hati. Olehnya itu sampai detik ini saya tidak mau pacaran sama cowok, yang saya mau itu, saya pacaran sama kamu”. Timpal Angga sambil memegang minuman yang dari tadi dihidangkan.
“Apa !!?”. Septi ingin memastikan.
“Makanya saya tidak mau pacaran sama cowok, saya itu maunya pacaran sama kamu, itu saja”.
“He… beraninya sama teman sendiri”. Septi mengerutkan dahinya.
“Jadi sekarang bagaimana jawabanmu, Sep?”.
“Bagaimana apanya?”. Septi bertanya kembali pura-pura tidak tahu pokok persoalan.
Angga menghembuskan nafas panjangnya, baru kemudian tersenyum lucu. “Kok jadinya mutar-mutar begini sih”.
Keduanya kemudian diam, larut dengan perasaan terdalam masing-masing. Berbicara dengan diri sendiri, tentang apa yang mereka bahas, tantang apa yang akan terjadi diantara keduanya.
“Kamu tahu, apa yang sedang saya pikirkan ?”. Ujar Septi lagi.
Angga mengalihkan pandangannya kewajah manis yang ada di sampingnya. Wajah manis yang sudah lama akrab dengannya, tapi akhir-akhir ini mampu membuatnya selalu menghayal dan susah tidur. Wajah yang selalu dinanti dan disanjung setiap saat, membuatnya terlena dalam deyut hayal asmara kasih.
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?”.
“Tali”. Jawab Septi serius.
“Tali!!, kamu mau gantung diri?. Baru mendengar pernyataan cintaku saja kamu sudah mau bunuh diri ?”.
“Bukan”. Seru Septi Kesal. “Yang saya pikirkan itu kalau orang pacaran itu pasti ada tali yang mengikat kebebasan. Tidak bisa cerita yang macam-macam lagi”.
“Saya rasa tidak juga Sep”, Kata Angga kalem.“Paling kalau orang sudah pacaran itu yang tidak bisa itu, jangan pacaran sama orang lain, itu saja”.
Septi langsung mencibir bibirnya dan mengerutkan dahinya. Memang kalau pacaran sudah begitu hukumnya.
“Jadi bagaimana Sep?, kamu terima saya jadi kekasihmu tidak, tolong jawab?”. Tanya Angga penuh harap dengan nada serius.
Septi tidak menjawab, tidak ada sepatah kata-pun keluar dari mulutnya, ia larut dalam pikirannya.
“Kalau tidak mau dijawab, lebih baik saya yang mengalah. Untuk yang terakhir kalinya, saya tetap menunggu jawabanmu. Kalau bisa jawabanmu melalui sms saja ke Hand Phoneku, saya tunggu sampai besok pagi. Kalau tidak ada jawaban, berarti saya tidak diterima”. Kata Angga dengan tegas.
Septi juga tidak memberikan jawaban, ia tetap larut dalam alam pikirannya. Akhirnya ia memberikan anggukan sebagai tanda persetujuan.
Malam sudah mulai larut, Angga pulang dengan sejuta perasaan tidak pasti dan menentu. Awalnya dia beranggapan bahwa malam ini akan menjadi malam yang sangat menyenangkan bersama Septi, namun yang didapatkan malah ketidak pastian yang turut menambah rasa penasarannya.
Sementara Septi tersenyum ringan penuh arti dan makna yang dipahami oleh dirinya sendiri. Terasa ada yang berubah dari dalam dirinya berhubungan dengan hubungannya dengan Angga. Angga baginya memang teman, tapi itu dulu, sekarang ia akan mencoba menjadikan Angga sebagai seorang kekasih yang memperoleh perlakukan dan perhatian khusus dari sekedar teman. Bisik hati terlalu menggoda dalam dadanya, memunculkan keinginan ingin bertemu dengan Angga. Kini tergores dalam hati untuk memulai hubungan baru dengan seorang kekasih guna mengerti dan menjalani kehidupan.
*******
Pertama kenalan sama Septi, ketika Angga jadi siswa pindahan dikelas dua. Angga tidak punya perasaan yang aneh-aneh kepada Septi, boleh dikata datar saja seperti tripleks. Yang Angga rasakan adalah bicara sama Septi itu menyenangkan. Selalu nyambung. Walaupun kalau beda pendapat, boleh dikata sering juga terjadi. Tapi tetap saja Angga merasa menyenangkan dan nyambung bicara dengan Septi.
Setelah sekian lama, sekarang Angga menyadari kalau ternyata dia membutuhkan Septi lebih dari sekedar teman. Tapi karena hampir dua tahun berteman sama Septi, semua karakter dan sikap Angga sudah diketahui oleh Septi. Termasuk kebiasaan-kebiasaannya mengejar cewek yang berbeda-beda dalam waktu relatif singkat. Juga cewek-cewek yang pernah jadi cewek Angga ditambah dengan apa yang menjadi penyebab putusnya. Selain itu, Angga orangnya susah diajak serius, jadinya setiap pernyataan cinta Angga selalu ditanggapi aneh-aneh oleh Septi. Dari ketidak seriusan itu akhirnya membuat Angga kelimpungan sendiri.
Angga menghitung sudah empat kali dia menyebutkan cintanya pada Septi di waktu yang berbeda. Yang balasannya pasti mutar-mutar dulu, namun yang keempat inilah mereka berhasil menyatukan perasaan, terjalinnya konsolidasi perasaan. Keinginan dari keduanya tidak-lah terlalu muluk-muluk, hanya sekedar menambah pengalaman dan pengetahuan tentang diri dan lingkungan, yang berorientasi pada perubahan cara pikir/ pandang, cara bicara dan bergaul, yang tentu semuanya harus dibarengi dengan kegiatan belajar dan terus belajar.
*******
Musim Panas di Tomoli (Ampibabo)
Diantara seringnya mati lampu.
Pertengahan April 2006.
Selasa, 10 Maret 2009
Ku Ingin Selalu Melangkah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar