
Oleh : Ruslan H. Husen
Susi, demikian biasnya orang memanggilnya. Dia adalah gadis cantik yang ada di desa. Pendidikan Susi adalah tamat SMA. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi seperti teman-temannya yang lain, harus dipendam dalam hati karena faktor ekonomi yang tidak mencukupi.
Susi menjadi kakak dari dua orang bersaudara, adiknya bernama Wati, sekarang masing duduk di kelas dua SMP. Sementara ayah mereka sudah dua tahun meninggal dunia, sementara Ibunya sehari-hari hanya menjaga barang dagangan di kios depan rumah mereka.
Keluarga ini hidup di suatu desa kecil, yang mayoritas penduduknya berpenghasilan sebagai petani dan peternak. Profesi itu sudah mendarah daging dari nenek moyang mereka. keadaan kehidupan penduduk di desa ini sudah mulai baik, dengan banyaknya bantuan pemerintah untuk pembangunan fisik desa, mulai dari sarana umum seperti puskesmas pembantu, sekolah-sekolah, tempat ibadah dan jalan umum.
***
Seperti biasa Susi menemani Ibunya untuk menjaga barang dagangan yang ada di toko kecil mereka. Pembeli di toko itu tidaklah terlalu ramai, hanya datang satu per-satu orang berbelanja yang membutuhkan barang kebutuhan pokok sehari-hari yang bermodal kecil.
Hari itu tampak mendung, bertanda akan turun hujan, sebab di daerah ini memang lagi musim penghujan. Angin mulai bertiup kencang dengan rasa dingin menerbangkan daun-daun kering yang ada di depan rumah Susi. Dari kejauhan nampak seorang wanita berjalan buru-buru mendekati toko Susi.
”Ada jual minyak angin?.” tanya wanita itu.
”Ada, yang kecil atau yang besar?.” tanya balik Susi.
”Yang kecil aja!.”
Transaksi jual-beli antara mereka berjalan lancar. Nampak wanita itu memperhatikan Susi dengan sangat teliti, kemudian dia berseru, ”Maaf ini Susi ya??, lulusan SMA Kartika??.”
”Hai, ini Dewi Kumala ya!!.” Sambil muka Susi tersenyum menebak.
Wanita itu tersenyum menganggukkan kepala. Suasana antara mereka-pun mencair, dihiasi tanya keadaan sekarang dan keinginan hidup kedepan. Tidak lupa terlukis kisah-kisah bersama saat masa SMA dahulu. Sesekali canda tawa menghiasi pembicaraan mereka, membayangkan persitiwa remaja dahulu.
Sekarang keadaannya telah berubah. Dewi telah menjadi wanita karier yang sukses di kota. Itu terlahir berkat keberanian mencari kerja, dan sekarang ia telah berhasil memiliki mobil mewah dan sebuah rumah tinggal yang ada dikota.
Dewi menceritakan, mencari kerja di kota itu susah tetapi jika ada semangat yang tinggi suatu saat akan mendapatkan kerja yang sesuai. Sehingga dari hasil kerja itu dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari.
”Ngomong-ngomong, ini sempat mampir kemari ini dalam rangka apa?, sebab bukankah tempat tinggalmu lalu-kan berada di desa sebelah!!.” Tanya Susi kemudian.
”Betul, saya kemari karena menghadiri undangan acara pernikahan adikku dengan orang yang ada dikampung ini.” Jawab Dewi.
Bila ukuran kesuksesan adalah jumlah materi yang dimiliki serta kemampuan untuk menikmatinya, maka antara Dewi dan Susi yang merupakan teman lama. Adalah Dewi yang memperoleh kesuksesan hidup itu. Dengan itu Dewi menjadi orang yang cantik dengan gaya hidup serba baru dan gaul, yang mungkin semua mata akan memperhatikan dan berdecap kagum atas kesuksesan yang didapatkan.
Tersirat dalam hati Susi untuk bisa sukses seperti kehidupan Dewi ini. Yang dengan kecukupan materi yang di miliki itu dapat membahagiakan orang tua, menyekolahkan adik serta membantu keluarga dan tetangga yang mengalami kesusahan ekonomi.
”Kalau kamu mau Susi. Kamu bisa ikut ke kota besok pagi, nanti disana kamu kerja sama-sama ditempatku bekerja. Pasti kamu diterima. Dan saya sukses hidup seperti ini berkat kerja ditempat itu.” Jelas Dewi.
”Memangnya kerja apa-sih disana?.” Tanya Susi penasaran.
”Ah, nanti disana aja kamu tahu. Pokoknya kerjanya ini menyengkan”.
Hari mulai terang kembali, setelah hujan sudah tidak turun lagi. Kini tinggal selokan dipinggir-pinggir jalan yang penuh sesak oleh air hujan itu.
”Baiklah, nanti saya bicarakan dulu dengan Ibuku, semoga dia mengizinkan.” Kata Susi mengantar Dewi didepan pintu rumahnya.
***
Bagi Susi, merantau ke daerah-daerah bukan hal baru baginya, sebab dari kecil ia sudah terbiasa ikut bersama orang tuanya yang selalu berpindah-pindah dalam mencari penghidupan yang lebih baik. Tetapi di dalam kehidupan kota besar seperti kota Balikpapan seperti ini, adalah hal baru dalam hidupnya.
Susi merasakan atmosfir pergaulan dan gaya hidup yang berbeda dengan kehidupan di kampung. Di kota ini, kebutuhan akan barang begitu tinggi, persaingan orang untuk mendapatkan materi begitu kental, sehingga nuansa persaudaraan dan gotong royong akan susah ditemukan dalam kehidupan masyarakat secara umum. Kalau-pun ada hanya sebagian anggota kelompok masyarakat saja, yang memiliki berdasarkan kesamaan dan ikatan suku dan kekeluargaan.
”Sekarang kamu istirahat dulu, biar segar. Nanti malam baru kita keluar sama-sama.” Pinta Dewi kepada Susi setelah tadi pagi mereka sampai di kota Balikpapan ini.
Malam mulai menjamu kota Balikpapan, gemerlap lampu jalan menambah elok nuansa kota ini. Masing-masing penduduk disibukkan oleh aktifitasnya, tanpa terlihat ada yang menganggur. Semua memburu materi demi kebutuhan hidupnya.
Malam itu Susi memakai rok sebatas lutut dengan warna hitam, ditambah dengan baju ketat warna coklat bergambar. Di kakinya yang mulus mengenakan sepatu sendal dengan tumit/hak tinggi sekitar 3 cm. Rambutnya dibiarkan lurus terurai. Susi malam ini begitu cantik, pakaian yang dikenakan begitu serasi membuat siapa saja yang memandang akan berdecap kagum akan kecantikan dan keelokan anak manusia ini. Semua itu hasil pilihan dan pemberian Dewi kepada Susi.
Bersama Dewi mereka menuju suatu tempat khusus yang lokasinya berdekatan dengan pantai. Tempat itu adalah sebuah kafe dengan pengunjung yang semakin ramai. Didalam ruangan itu telah banyak kenalan Dewi yang menunggu, semuanya nampak dengan suasa ceria tanpa ada beban kehidupan. Mereka semua sedang asyik menikmati hiburan malam di dalam cafe itu.
Ternyata, cafe itu adalah miliki Dewi yang telah mempekerjakan beberapa orang untuk mengelolanya. Ditempat itu nampak Dewi berbincang-bincang dengan laki-laki yang tubuhnya agak gemuk.
”Mana janjimu, Dewi?.” Tanya lelaki itu setelah beberapa saat mereka berbincang-bincang.
”Tenang Om, yang ini pasti Om akan puas. Ini barang baru Om, baru datang dari kampung.” Sambil Dewi tersenyum genit.
”Yang mana orangnya?, yang pakai baju ketat warna coklat itu.” Sambil menoleh kearah Susi.
Susi begitu canggung berada dalam tempat gemerlap seperti ini. Kalau di kampung dia hanya banyak saksikan di layar televisi, tetapi sekarang dia sudah berada di dalamnya, merasakannya langsung.
”Asyik juga kehidupan disini, nuansa hiburan begitu banyak.” Pikir Susi dalam hati. Tetapi lamunannya mendadak buyar karena Dewi bersama seorang lelaki agak gemuk telah berada di sampingnya.
Dewi memegang bahu Susi sambil berkata, ”Susi tolong kamu temani dulu Om Feri yah, saya mau mengurus yang lain dulu.”
”Hai Susi, saya Om Feri.” Sambil lelaki itu mengulurkan tangan berjabat tangan dengan Susi.
Senyum Susi pada orang yang mengaku Feri itu.
Dewi telah lama beranjak dari tempat itu, tinggal Susi dengan Feri yang berbincang-bincang sambil menikmati musik dan lampu warna-warni yang terus mengalun dan bersinar.
”Susi, ayo kita kesana.” Kata Feri sambil menunjuk suatu tempat, ”Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.”
”Kemana Om?.” Tanya Susi tidak tahu.
”Mari saja, nanti kamu tahu juga. Tentang Dewi nanti kita ketemu lagi dengan dia.” Kata Feri sambil memegang tangan Susi menuntunnya menuju pintu kamar yang ada di sudut ruangan.
Susi tidak menolak. Dia biarkan saja Feri memegang tanggannya dan menuntun memasuki kamar, kemudian mengunci kamar itu. Kini tinggal mereka berdua dalam kamar itu. Kamar itu cukup unik dan bersih dari sudut ruangan berdiri lampu tidur dengan cahaya redup, bersinar kearah spring bed dengan warna ungu berbunga-bunga.
Awalnya Susi menolak ketika Feri mulai menjamah tubuhnya, tetapi ketika dijelaskan, bahwa dia diberi tugas oleh Dewi untuk melayaninya malam ini dan nanti akan di berikan imbalan atas kesediaan dan pengorbanannya itu, kemudian Susi membiarkan saja semuanya terjadi. Walau dalam hati kecil menjerit ingin bebas dari perlakuan Feri ini.
* * *
Susi menangis terisak-isak diruang tamu rumah Dewi. Menangisi kejadian yang telah menimpanya semalam. Ia merasa telah ditipu oleh Dewi. Tidak ada lagi rasanya harga dirinya, terasa begitu mudahnya ia tertipu oleh bujuk rayu Dewi yang menjerumuskannya kedalam dunia malam dengan profesi sebagai pelacur.
”Susi, kau tidak perlu menangis, ini bagianmu atas kerja suksesmu semalam.” Sambil Dewi menyodorkan amplop putih yang berisi uang ratusan rupiah.
Susi agak menolak menerima amplop itu, ia masih trauma atas kejadian yang menimpanya semalam. Namun, Dewi yang mendesak untuk menerimanya, akhirnya Susi membuka isi dari amplop itu, dan terkejut melihat uang yang begitu banyak.
”Itu hanya upah kerja pertamamu. Kau bisa mengambil semuanya, karena saya sudah ambil bagian juga. Di kota besar seperti ini tidak susah cari uang, dan di malam-malam selanjutnya, kau bisa mendapatkan lebih banyak uang lagi sebab masih banyak laki-laki hidung belang yang membutuhkan jasamu. Setelah uangmu banyak kamu bisa pulang kekampung untuk membangun perekonomian keluargamu.” Kata Dewi.
Berkecamuk perasaan dalam hati Susi, antara senang menerima uang ratus ribu itu dengan dirinya yang mulai masuk kedalam dunia malam dengan profesi penjajah seks.
”Diriku ini sudah tidak perawan lagi, sudah tidak suci lagi, biarkan saya menjalani profesi ini, toh dengan ini saya bisa dapatkan uang banyak. Dengan uang yang saya dapatkan bisa memenuhi segala kebutuhanku dan juga bisa membahagiakan orang tua di kampung.” Bisiknya dalam hati.
Disamping itu juga berkecamuk jiwa idealismenya tentang profesi yang dijalani. ”Bukankah kerja seperti ini terlarang oleh agama dan merusak diri dan masyarakat. Tidak ada keberkahan dari kerja sebagai pelacur yang ada kehancuran yang menanti. Dosa-dosa menanti atas kerja seperti ini.” Kata hati Susi dilain sisi.
Susi dihadapkan pada dua pilihan, yang salah satunya harus dijalani. Pilihan itu harus merupakan pilihan sadar, yang dapat diterima nampak positifnya dalam kehidupan masa depan. Bukan pilihan yang hanya mengutamakan kesenangan sementara dengan penderitaan yang panjang.
Sesuai keinginan manusia, ingin mencari keutungan besar tanpa bersusah payah dan banyak pengorbanan. Hasil maksimal dengan sedikit kerja, selalu menjadi idaman dan ukuran sukses kerja.
Tetapi sebagai makhluk sosial, manusia harus tetap memperhatikan profesinya tidak merugikan orang lain dan harus dapat bermanfaat banyak bagi kelangsungan hajat hidup orang banyak kalau bisa. Disamping itu, selain baik atau harmonisnya hubungan antar sesama manusia, juga harus ada hubungan yang baik dengan Sang- Pencipta (Tuhan).
Keseimbangan hubungan dengan sesama manusia dengan hubungan dengan Sang Pencipta (Tuhan), akan melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. Norma-norma agama yang di pahami secara utuh akan memberikan konsep-konsep dalam menjalani dan mengatasi masalah kehidupan.
* * *
Memori Saat Nonton Bersama
Di Ahmad Yani
Akhir Oktober 2006
Selasa, 10 Maret 2009
Gemerlap Dunia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar