Selasa, 10 Maret 2009

Pilihan Sadar


Oleh : Ruslan H. Husen

“Ibu, saya pamit ya!!”. Kataku, menahan haru.
“Iya nak, doa restuku selalu menyertaimu”. Jawab ibuku sambil mengusap air matanya.
Ku peluk ibuku dengan perasaan cinta. Ibu yang telah melahirkan aku, membesarkan dan memelihara aku, hingga seperti ini. Terasa air mataku juga meleleh membasahi pipiku. Air mata yang tidak kuasa menahannya, air mata yang menetes dengan sangat jujurnya, akan ungkapan rasa jiwa. Rasanya aku tidak ingin meninggalkan mereka pada saat- saat seperti ini, ku ingin selalu bersama mereka.

“Ayah, aku pakit juga, saya sudah mau berangkat”. Kataku kepada ayahku, setelah berpelukan dengan Ibuku.
“Iya nak, hati-hati di jalan, sekolah dengan baik”. Pesan Ayahku menjawab.
Lalu ku cium tangannya dengan penuh hormat dan kasih sayang.

Dadaku serasa sesak menahan haru. Perasaanku terasa sedih ingin berpisah lagi dengan orang yang kucinta, orang yang telah berjuang siang dan malam guna membiayai kuliahku. Siang dan malam yang ku tahu mereka selalu mendoakan diriku agar tercapai cita-cita. Sungguh amat besar pengorbanan dan kasih sayang orang tua, yang seluruh kemampuan-pun ku kerahkan, maka sungguh aku tidak akan kuasa membalasnya. Aku hanya mampu berbuat saat itu, bersikap sopan dan manis menjaga perasaan dan membesarkan hati mereka.

Terbesit tekad bulat dalam dada, tidak akan mengecewakan harapan orang tuaku. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh nantinya. Membangun jaringan demi tercapainya harapan dan cita-cita. Seluruh kemampuan akan aku kerahkan, guna pengembangan bakat kemanusianku yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual. Aku juga sadar, bahwa menggapai harapan itu tidaklah mudah, pasti ada tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Tapi, aku juga punya sikap, bahwa hambatan dan tantangan itu memang harus dihadapi, bukan malah ditakuti atau-pun di hindari. Dari sanalah yang akan mendidik jadinya, guna mengatasi suatu masalah yang masih dalam lingkup pengembangan potensi kemanusiaan.

* * * * *
Di kota tempatku kuliah, saya awalnya tinggal di Asrama mahasiswa, awalnya saya cukup betah tinggal di sana dan sempat bertahan beberapa bulan. Namun, saya memutuskan akhirnya untuk pindah karena alasan pribadi akibat dengan teman-teman se-asrama. Saya merasa tidak cocok lagi tinggal di situ, dan lebih baik sayalah yang mengalah untuk mengakhiri kemelut di antara kami. Kemelut atau persoalan itu tidak ingin kuceritakan pada orang, biarlah diriku sendiri saja yang mengetahui dan menjadi pelajaran berharga bagiku.

Ku putuskan untuk mengontrak rumah bersama teman-temanku yang lain di dekat kampus tempatku kuliah. Rumah yang kami dapatkan itu cukup besar dan memiliki halaman yang luas. Terdapat ruang tamu dan dapur kecil di dalamnya. Walaupun lokasi rumahnya agak terpencil, bukan berhadapan dengan jalan raya, tapi kondisi di sana menyenangkan dan tenang. Sepertinya rumah itu, memang cocok dengan diriku.

Di rumah itu juga tinggal dua orang cewek. Kegiatan cewek yang satu adalah kuliah di universitas sama denganku, semenatara yang satunya lagi adalah lulusan akademi perawat dan sudah bekerja di rumah sakit. Jadi jumlah kami keseluruhan di rumah itu ada empat orang. Kami tinggal bersebelahan kamar. Cewek itu satu kamar dengan cewek yang satunya, sementara saya menyewa kamar sendiri, dan teman laki-lakiku yang satu juga menyewa satu kamar. Di ujung dalam rumah di dekat dapur, sebenarnya masih terdapat satu kamar kosong lagi. Tapi sampai kami masuk, belum ada mahasiswa yang menempatinya.

Kehidupan kami seperti satu keluarga. Mulai dari masak makanan yang sering bersama-sama sampai makan bersama. Canda dan tawa-pun selalu menghiasi hari-hari kami. Berangkat dari perbedaan karakter masing-masing, turut menambah pengetahuan kami akan arti pentingnya bermasyarakat, membangun komunikasi yang sehat dan menghargai orang lain. Ternyata, manusia itu butuh dihargai, ingin diperhatikan. Nilai dan pelajaran dari kehidupan bersama begitu saya rasakan, bahwa begitu pentingnya orang lain terhadap diri kita.

* * * * *
Awalnya kehidupan kami berjalan dengan normal. Tanpa ada masalah yang berarti, begitu pula kegiatan akademik kami, semuanya berjalan lanjar, hingga kami sering bantu-membantu, jika ada yang sedang lembur membuat laporan akademik.

Hingga suatu hari, teman cewekku yang sudah kerja di rumah sakit itu menyatakan, “Kami akan pindah dari sini”. Ekspreasi wajahnya begitu serius, tidak ada lagak yang main-main dan canda.
“Mau pindah!!, kenapa?”. Tanyaku agak sedikit santai.
“Kami di larang tinggal di sini lagi”.
“Siapa yang larang?.
Dia terdiam ,nampak sedang berfikir.
“Orang tua?”. Tebakku, karena dia dia saja.
“Bukan”.
“Lalu siapa?”. Tanyaku tambah penasaran
“Organisasiku”. Jawabnya singkat.

Aku terbayang, bahwa cewek ini berkat cerita dari temanku, memang seorang aktivis kampus, ketika dia kuliah dulu. Dia begitu aktif di salah satu organisasi kampus. Cara bicara dan pengetahuan selalu membawa pesan-pesan dari organisasi kampus yang digelutinya. Yang memang aku juga cukup salut dengan pengetahuannya yang luas.

Mungkin inilah makna dari kata-katanya yang lalu, bahwa organisasi itu akan membentuk cara pandang ideologis anggota-anggotanya. Organisasi itu begitu penting bagi mahasiswa, karena pengetahuan yang tidak di dapat di bangku kuliah, bisa di dapatkan dalam kegiatan keorganisasian.

“Alasan organisasi melarang tinggal disini apa?”. Tanyaku kembali.
“Ini melanggar ajaran Islam dan kode etik lokal organisasiku”. Jawabnya.
“Maksudnya ini mendekati zina?”. Tebakku.

Dia terdiam sejenak, lalu menganggut melanjutkan perkataannya. “Saya memang cukup sadar untuk tinggal disini, itu mendekati zina, karena kita bukan dari keluarga yang satu apalagi saudara, yang disebut dengan muhrim. Potensi itulah yang bisa di manfaatkan oleh setan, musuh nyata manusia, guna membisikkan kepada kita untuk mendekati zina atau melakukan perbuatan tercela. Yang kalau sudah berzina jelas itu merupakan perbuatan haram atau dosa. Contoh kecil dari zina itu, karena zina ini kan begitu luas. Yakni, memandang yang tidak halal itu zina. Mendengar yang tidak boleh saya dengar itu zina. Bersentuhan kulit itu juga zina. Begitu pula hati dapat berzina manakalah , tidak ada lagi kepatuhan terhadap perintah Tuhan, sudah menggeserkan hati dari mengingat-Nya. Jadi, bukan hanya nanti melakukan hubungan seks dikatakan zina. Diantara alasan itulah organisasiku mengaturnya dalam aturan baku yang di sebut “kode etik lokal”. Kode etik itu merupakan tafsiran norma-norma yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits, sebagai sumber hukum yang utama. Organisasi itu, tetap bertanggung jawab memberi peringatan terhadap anggota-anggotanya”. Dia terdiam sejenak.

Terdengar suara angin bertiup menerbangkan daun-daun pohon yang ada di halaman rumah itu. Aku terkesima mendengar penjelasan teman cewekku itu. Bagiku dia benar-benar pintar, pengetahuannya luas. Kemudian aku berfikir, “Kalau aturannya bisa sebegitu ketatnya, bagaimana bentuk penyaluran hasrat manusia, dia-kan makhluk sosial, makhluk biologis dan selalu memiliki kecenderungan itu?”.

Kembali ku ingat penjelasan Khatib pada khutbah Jumat kemarin. Di sana dijelaskan, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah di tentukan jalurnya dalam Islam. Ini tujuannya agar terjalin hubungan yang tetap harmonis antar sesama manusia dan tidak terjadi kerusakan nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari sanalah ada anjuran untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah mampu, kalau ia tidak mampu maka harus di kawinkan oleh walinya atau orang tuanya atau melakukan puasa. Menikah itu merupakan tuntunan kemanusiaan dari Tuhan yang hadir di bagi manusia. Memang dari dalam diri manusia secara fitrawi senang pada lawan jenis. Sebab hasrat biologis itu adalah fitrah yang dianugerahi kepada kita oleh Allah Swt. Maka, penyalurannya harus sesuai dengan jalur yang telah ditentukan-Nya yaitu menikah. Selain fungsi, menikah itu, juga untuk memperoleh karunia-Nya guna membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia di bawah naungan Ilahi. Karena di sanalah ajang kesuksesan menanti manusia dari bersatunya bagian yang berbeda.

“Lalu bagaimana solusinya”. Tanyaku tiba-tiba. Aku juga cukup kaget dengan kata-kata itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku, tapi, kutunggu juga apa reaksi darinya.
Nampak ia memandangku sesaat dan berkata, “Solusinya untuk mencegah jangan sampai terus-terusan melakukan zina, ya... saya harus pindah, dan cari rumah yang tidak memiliki potensi untuk itu”.

Dalam hatiku kemudian, organisasinya telah meng-kategorikan kami ini sebagai pelaku zina, dengan tinggal bersama dalam satu rumah yang bukan muhrim, walaupun mungkin cakupannya bukan pada melakukan hubungan seks. Aku begitu gelisah dianggap demikian dalam hatiku. Aku berusaha mengadu, “Kami masih bisa kontrol, kami tidak melakukan perbuatan tercela, kami tidak kumpul kebo. Kenapa pemaknaan nilai-nilai ke-Islaman begitu baku, tidakkah ada kelonggaran berdasarkan kebijakan lokal. Yang diukur dalam ketakwaan itu kan substansinya, bukan kulitnya, yang hanya kadang bersifat formal. Kita kadang tertipu dengan hal-hal yang bersifat fisik, seolah-oleh demikianlah sebstansinya. Padahal tidak. Lihatlah, berkeliaran orang-orang munafik di masyarakat. Tampak berjilbab, tetapi hanya menutupi kekurangannya, berpakaian ala-muslim, padahal hanya mencari perhatian dan simpati orang. Demikian pula, orang yang nampak lusuh dan kurang rapi, belum tentu ia penjahat.

Akhirnya aku pergi meninggalkannya dan masuk ke dalam, karena dari dalam rumah terdengar suara memanggil-manggilku. Perasaanku sebenarnya belumlah terlalu puas dengan keadaan ini. Tapi, ku berkeinginan suatu saat nanti, aku akan melanjutkan diskusi ini. Bercerita tentang kearifan lokal dan melihat substansi ajaran ideologi dalam kerangka epistemologi menyeleruh (holistik).

* * * * *
Sebenarnya aku merasa berat berpisah dengan para cewek itu, rasanya dalam hal ini akulah yang salah. Kalau memang mereka mau pindah hanya dengan alasan tidak mau serumah dengan laki-laki, maka lebih baik sayalah yang pindah. Belumlah ia pindah, aku sudah seperti merasa kehilangan, kehilangan akan seorang teman bicara yang menyengkan, yang sudah ku anggap sebagai keluargaku sendiri.

Tapi, mungkin memang benar apa yang dia maksud, dari tinggal bersama begini itu dapat menciptakan potensi berbuat zina atau hal-hal yang tercela. Karena diam-diam hatiku dengan rasa sadar mulai menyukai dirinya. Ada rasa ingin lebih dari sekedar teman bicara, teman diskusi. Memang, ku akui dia memang cewek cantik dan baik, mungkin dari sana pula-lah aku mulai jatuh hati kepadanya. Begitu pula ketika ada teman lelaki yang datang menemuinya, dari dalam hatiku tersimpan rasa cemburu.

Mungkin ini adalah kesalahan yang menimpa diriku. Dengan berani melakukan zina kepadanya walaupun jujur ku katakan saya tidak pernah berjabat tangan kepadanya, apalagi menyentuh kulitnya. Rasa bersalah mulai menghantui diriku di antara kebutuhan akan dirinya. Di satu sisi saya membutuhkan dia, sementara di sisi yang lain itu melanggar norma yang ia yakini. Kini saya harus melakukan pilihan sadar, pilihan yang dapat saya pertanggung jawabkan, pilihan yang tidak mencelakakan kami, yakni kami akan berpisah. Walaupun itu terasa berat dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar