Selasa, 10 Maret 2009

Kekecewaan


Oleh : Ruslan H. Husen

Angin bertiup sepoi-sepoi, menjatuhkan daun-daun pohon. Sesekali terdengar gesekan antar ranting pohon. Pohon-pohon besar di taman itu berjejer dengan tidak karuan, seolah menggambarkan perasaan yang kalut. Sementara lalu-lalang kendaran seakan tidak mau berhenti dijalanan. Dari seluruh sudut taman tampak aktifitas macam-macam orang, mulai dari yang duduk, berjalan, berolahraga, menyapu dan lain-lainnya.

Aku teringat dan tidak habis pikir, “Mengapa dia begitu cepat lupa, padahal barusan setengah jam lalu kami berbicara, dia sudah lupa lagi”.
“Mungkin kamu salah orang, kali?”. Kata temanku yang duduk disampingku.
“Tidak mungkin salah orang, saya masih begitu ingat dengan mukanya, pakaian yang dikenakan serta nada bicaranya, bahwa dialah orang yang berbicara dengan saya setengah jam lalu, dialah yang mengajak saya makan”.

Suasana hening sejenak, aku larut dalam pikiranku. Aku begitu tidak mengerti tentang apa yang barusan saya alami. “Ataukan orang di kota ini memang begitu, mudah sekali lupa”. Kembali pikirku.

Ataukah memang dia pura-pura lupa guna menutupi suatu kepentingan. Kan, biasanya orang jika ada keperluan lantas begitu akrab dan manisnya. Manakalah dalam kesulitan seakan, selalu minta di kasihi dan ditolong. Sementara kalau dia sudah bebas dari kesulitan dan berada dalam kemenangan lantas dengan mudahnya acuh tak acuh dan melupakan. Sikap yang di dasarkan atas pertimbangan kepentingan itulah yang mungkin ada pada orang itu.

* * * * *
Beberapa saat yang lalu, ketika saya baru pulang dari mushallah dengan melewati jalan raya menuju ke rumah temanku. Saya di hadang oleh sebuah mobil dengan berhenti di depanku dan menghalangi jalanku. Mobil itu bagi saya sangat mewah, dan hanya dipunyai oleh ukuran-ukran eksekutif tentu. Kulihat seorang dengan pakaian coklat bergaris sambik mengenakan celana panjang hitam nampak turun dari mobil itu.

“Hai Dika, apa kabar?, kamu Dika, kan??”. Menyapaku dengan sangat bersemangat.
Aku terdiam saja mendengar sapaan orang itu, sambil membiarkan saja ia merangkulku. Dia kelihatan begitu yakin bahwa akulah Dika.
“Wah, ... sudah lama ya, kita tidak bertemu”. Lanjut katanya.
Aku tetap diam sambil berdiri memandanginya, dia kulihat begitu senang bisa bertemu denganku.
“Bagaimana kabar sekarang?”. Tanya kemudian.
“Baik”. Jawabku singkat.
“Hai, kamu kenal aku kan?”. Tanyanya sambil mengerutkan dahinya dn matanya agak terbelalak.
Aku tetap diam sambil memandangnya seakan acuh tak acuh.

“Aku ini, Irham teman seperjuanganmu lalu, kamu ingat”. Sambung katanya, sambil memegang kedua bahuku. “Kita lalu satu-kesatuan saat aksi menentang pemerintah untuk mundur dari pemerintahannya, kamu sudah ingat?”. Sambungnya kemudian.

Aku masih diam, larut dalam pikiranku sendiri. Rupanya temanku ini sudah menjadi orang yang cukup berhasil dalam hidup, sudah memiliki mobil dan gaya-pun seperti orang eksekutif, ya... mungkin saja dia memang seorang eksekutif. Sementara aku ini, jangankan kerja, selesai kuliah saja belum, malah sekarang lagi terancam di keluarkan dari fakultas. Aku juga sempat berfikir mudah-mudahan saja saya dapat berhasil seperti temanku ini, bisa beli mobil dan menyenangkan keluargaku, terutama orang tuaku yang telah berkorban cukup banyak dalam membiayai kuliahku.

“Oke, kita makan-makan dulu, sambil cerita masa lalu, biar kamu ingat semuanya”. Katanya, membubarkan lamunanku. Aku sempat agak kaget, dengan katanya yang tiba-tiba. Ternyata aku telah menghayal di depannya.

Dia kemudian mengajakku ke sebuah warung kecil yang ada di pinggiran jalan itu. Aku tidak berusaha menolak dengan ajakannya itu. Serasa diriku menurut seperti dihipnotis, tidak ada rasanya keinginanku menolak ajakannya. Mungkin karena dia kelihatan begitu berwibawa, sehingga aku tidak ingin mengecewakan dirinya. Di warung itu, kami makan pisang goreng hangat dan sebuah es jeruk berwarna orange.

“Dika. Kamu masih ingat. Waktu itu, kita melakukan aksi bersama menentang kekuasaan pemerintah untuk mundur dari pemerintahannya. Kau di situ berperan sebagai kordinator lapangan aksi sementara saya sebagai wakil kooordinator lapangan aksi dari universitas kita. Pada hari ketiga aksi bersama kita berhasil menguasai gedung parlemen itu, pada hari itu tidak ada kegiatan pemerintahan. Kamu bagi saya begitu berani dan bersemangat”. Jelasnya sambil terus memandangiku.

Aku tetap tidak memandangnya, hanya diam mendengarkan penjelasannya, sambil menikmati pisang goreng yang telah dihidangkan. Seakan aku tidak perduli dengan penjelasannya. Diriku hanya larut dalam kenikmatan pisang goreng dan berkecamuk sendiri dalam pikirku.

“Terus dihari keempat itulah, terjadi kekacauan, kita diserbu oleh militer dalam hal ini angkatan darat, kita di paksa bubar. Sementara kita berusaha bertahan dan tetap melakukan perlawanan sampai tuntutan kita di kabulkan. Waktu itu kita benar-benar memiliki semangat baja. Akhirnya, kita bentrok dengan militer itu Namun, karena mereka memiliki senjata dan peralatan yang lengkap, maka massa aksi kita sempat kacau dan bubar lalu mundur. Kesempatan itulah yang digunakan para militer itu, untuk mengejer dan memukuli kami. Beberapa puluh orang diantara kita berhasil di tangkap dan beberapa orang lagi nampak terluka. Lalu kamu Dika, mengambil megapone guna memimpin aksi kembali, berusaha menahan massa aksi yang sudah lari kocar-kacir dan menyatukan mereka kembali. Namun karena massa aksi sudah cair dan tinggal beberapa orang saja yang bertahan, ditambah semakin beringasnya pihak militer, akhirnya kami mundur dan bubar kembali. Kami sempat di kejar oleh militer itu dan akhirnya kita berdua ditangkap oleh mereka”. Katanya panjang lebar.

Aku tetap diam dalam kebisuan, lantas berfikir memikirkan apa yang terjadi pada waktu itu. Kami di kejar-kejar seperti ayam yang sedang masuk kerumah oleh penghuninya, beberapa orang di antara kami berhasil di tangkap dan dipukuli. Mereka para militer itu begitu galak dan garang, seakan ingin membantai dan membunuh kami semua. Tergores dengan jelas dalam imajinasiku tindakan apara militer itu kepada kami.

“Para militer itu memang bangsat.” Dia nampak geram, sambil mengepalkan tangannya. “Kita rakyatnya malah di pukuli dan di tembaki, dimana rasa tanggung jawab mereka dalam memberikan rasa aman kepada kita”. Lanjunya.

Masih saja aku diam, tidak bersemangat sedikit pun untuk menyambung pembicaraannya. Tetapi ku akui, apa yang di rasakan sahabatku ini memang begitu pula yang saya rasakan.

“Setelah di tangkap itu, kita berdua dan bersama teman-teman yang lain lantas di giring ke mobil yang telah dari tadi mereka sediakan. Di dalam mobil itu kita semua di tumpuk menjadi satu, seakan seperti barang yang tidak memiliki arti”. Sambungnya kemudian.

Terbayang diriku saat itu, kami di bawah kesebuah ruangan yang kami sendiri tidak mengetahuinya di mana. Kami hanya bisa pasrah, sambil membesarkan hati, bahwa ini adalah konsekwensi dari suatu perjuangan. Perjuangan memang harus memakan korban, mungkin kami-kami inilah tumbal dari perubahan yang kami cita-citakan.

“Lalu kita di siksa dan dipaksa untuk mengaku dalam mengatakan siapa tokoh dibalik aksi ini”. Katanya sambil memegang tanganku, “Dan ini adalah buktinya”, menunjukkan luka sobek yang ada di lenganku. “Mereka para penyiksa itu, mengiris lenganmu, sementara saya, bekas luka di atas keningku ini adalah bukti sejarah, akibat penyiksaan yang mereka lakukan pada kita”. Sambil membuka topi yang ia kenakan dari tadi.

Dadaku berkecamuk, aku serasa tidak kuasa menahan haru. Ingin rasanya aku berdiri lalu memeluknya, tapi itu tidak mungkin ku lakukan, dan kalaupun kulakukan tidak ada untungnya. Dia telah berhasil dalam hidup dan menjadi orang kaya, sementara saya tetap seperti dahulu. Biarlah rasa ini ku tahan, yang entah sampai kapan aku haris menahannya.

Akhirnya, setelah memakan semua pisang goreng yang di sajikan, dia lantas pamit, dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan dari dalam kantongnya dan memberikannya kepadaku, kemudian mengatakan “Ya, sudahlah kalau kamu memang belum ingat atau mungkin kamu tidak mau mengingatnya lagi, seperti katamu pada waktu lalu apa gunanya berbangga-bangga terhadap sejarah, hanya membuat diri kita lupa diri”. Dia lantas berdiri, “Ini juga kartu alamatku, jika suatu saat kamu butuh aku datang saja kerumahku”.

Saya sudah berusaha menolak uang pemberian darinya. Tapi dia begitu ikhlas memberikan uang itu. Dia begitu menginginkan saya menerima uang itu, walaupun katanya saya membuangnya setelah dia pergi. Itulah sahabat saya dulu, sangat berbeda dengan keadaannya sekarang.

* * * * *
Setelah berkeliling, “Akhirnya ku dapat juga rumah ini”. Kataku dalam hati setelah membetulkan alamat rumah sesuai dengan yang terdapat dalam kartu.
Bagiku bangunan itu tidak layak di sebut rumah melainkan istana. Bangunannya begitu besar dan mewah, dari sudut jalan ku memandangnya. Ku beranikan diri mendekati pintu pagarnya. Lalu seorang penjaga menyapaku, “Cari siapa Pak”. Tanya penjaga itu setelah saya sampai di depan pagar.

“Betul ini rumah, Bapak Irham?. Tanyaku.
“Iya betul”. Jawab penjaga rumah itu sambil menganggutkan kepalanya.
“Bisa saya bertemu dengan dia, tadi saya sudah janjian dengan dia”. Kataku.
“Maaf, Bapak ini siapa ya?”. Kembali tanya penjaga itu.
“Saya teman lamanya, nama saya Dika”. Jawabku.

“Baik tunggu sebentar”. Penjaga itu lantas meninggalkan-ku di luar pagar, dia nampak menuju pintu utama rumah itu. Tidak lama kemudian dia sudah kembali, “Maaf, Bapak Irham tidak ada, katanya tadi dia baru keluar, mungkin sebentar lagi dia datang”. Kata penjaga itu.

“Kalau begitu, bisa saya tunggu dia sampai datang?”. Pintaku pada penjaga itu.
“Iya bisa, silahkan saja”. Jawab penjaga itu, sambil berlalu menuju tempat duduk khususnya.

Ku tunggu untuk di bukakan pintu agar saya dapat masuk kedalam dan bercakap-cakap lebih banyak lagi dengan penjaga itu, namun penjaga itu malah meninggalkanku sendiri di luar pintu. Aku terharu dengan agak sedikit protes dalam hati, dengan kejadian itu. Ku berfikir, penjaga itu mungkin mencurigaiku berkata dusta, dengan saya mengatakan sebagai sahabat lama Irham. Sebab mana mungkin orang kaya seperti Irham memiliki sahabat seperti saya ini, dengan pakaian tidak karu-karuan.

Lamunanku buyar ketika mendengar suara klapson mobil menuju pintu pagar di dekatku duduk. Jalan mobil itu begitu pelan. Lalu dengan sangat berani dan semangatnya, ku sapa pengemudi mobil itu yang ku tahu dia adalah Irham.

Namun apa yang terjadi, sungguh tidak kusangka. Pengemudi mobil itu tidak memberikan respon senang sedikit-pun kepadaku, dia nampak biasa-biasa saja, seakan tidak mengenal diriku. Sangat berbeda keadaannya, mimik mukanya dengan beberapa waktu yang lalu saat kami bertemu. “Mungkin dia belum melihat jelas diriku”. Demikian pikirku.
Ku coba terus mengikuti mobilnya masuk kedalam rumah, melewati penjaga pintu pagar. Penjaga itu nampak kebingungan dengan yang kulakukan berani masuk mengikuti mobil itu, disamping dia harus kembali menutup pintu pagar itu.

“Hai Irham, saya sudah ingat semuanya”. Kataku setelah ia keluar dari dalam mobil.
“Ingat semuanya apa?”. Dia kelihatan heran dengan perkataanku, sambil terus memandangiku.

Ku mencoba kembali menjelaskan bahwa beberapa menit yang lalu, kami bertemu dan sempat makan bersama di warung pinggir jalan. Ku beritahukan pada saat itu, dia begitu semangat menceritakan aksi kami menentang pemerintah yang otoriter dan diktator serta sempat menduduki gedung parlemen. Lalu aksi kami dibubarkan yang sebelumnya sempat kacau dan kami ditangkap. Di dalam penangkapan itulah, kami disiksa hingga pelipisnya robek dan lenganku juga luka robek akibat perbuatan para militer itu.

Tapi, dia tetap tidak mengingat sedikit-pun tentang apa yang dia ceritakan beberapa menit yang lalu. Hingga dia berlalu meninggalakan aku. Aku tetap berusaha mengikutinya hingga mendekati teras rumahnya.

“Irham, tolong jangan pura-pura lagi, saya ini Dika, teman lamamu”. Pintaku.
Namun, ia marah-marah kepadaku, dan menuduh aku mengarang-ngarang cerita untuk bisa dekat dengannya, bisa menikmati kekayaannya. Serta di tuduhnya juga aku sebagai pembohong yang mempunyai niatan yang celek kepadanya. Lalu dia memanggil penjaga pintu dan menyurunya untuk mengisirku.

Nampaknya, memang ia tidak main-main dengan sikapnya. Lalu ku keluarkan uang dan kartu nama yang ia berikan beberapa menit yang lalu, “Irham, ini adalah buktinya tentang ceritaku tadi. Semua ini, uang dan kartu ini adalah kau yang berikan kepadaku”. Sambil memperlihatkan beberapa lebar uang ratusan dan kartu nama.

Ia semakin marah kepadaku, dan sekarang malah mengaku di permalukan dengan sikapku, mengeluarkan uang kepadanya. Ia sungguh tidak terima dengan perbuatanku itu. Macam-macam sudah umpatan yang keluar dari mulutnya, mengaku tidak juga mengenal diriku dan merasa dipermalukan dengan sikapku.

* * * * *
Benar-benar diriku tidak mengerti dengan sikap temanku itu, baru saja kami bertemu beberapa menit yang lalu, dia malah sudah lupa lagi. Mungkin dia berniat balas dendam dengan sikapku yang tadi, yang juga tidak menghiraukan dan pura-pura lupa kepadanya. Tapi, kenapa harus seperti itu caranya. Kenapa harus mengorbankan perasaan orang lain.

Ataukah memang, ketika orang sudah kaya lantas cepat lupa kepada orang-orang disekitarnya atau orang-orang kecil seperti saya ini. Atau juga dia pura-pura lupa, hanya untuk menutupi kepentingan dirinya, yang apa bila mengakui mengenal diriku, dapat membahayakan dirinya.

Sekali lagi, aku benar-benar bingung dan tidak habis pikir, ternyata ada juga tipe orang yang seperti itu di dunia ini. Sungguh sangat aneh, benar-benar aneh. Hingga diriku secara tidak sadar mengadu kepada teman satu organisasiku di taman sore itu setelah dari rumah Irham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar