Selasa, 10 Maret 2009

Buruk Sangka Saat Akan Melahirkan

Oleh : Ruslan H. Husen

Sinar matahari sore melantuni bayang-bayang kelabu panjang di barat. Membentuk suatu sketsa lukisan alam yang ditaburi warna-warni. Seorang perempuan muda duduk di belakang pohon daun mangga, terlindungi dari sinar yang cerah itu. Dari tadi ia duduk bersama suami di teras depan rumahnya. Mereka sama-sama membisu oleh keasyikan masing-masing. Tadinya dia menjahit taplak meja yang sobek. Sedangkan suaminya membaca koran. Tapi kini dia melepaskan jahitannya, dan berbaring bersandar pada kursi.

“Mengapa ia tidak menanyakan apa yang sedang saya jahit?, dia duduk saja begitu, membaca terus. Memang laki-laki tidak akan perduli pada kondisi isterinya yang seperti saya ini, dasar laki-laki”. Pikir perempuan itu, yang sudah mulai gelisah.
Lalu dia teringat dengan beberapa peristiwa yang terjadi disekitarnya. Seperti kejadian-kejadian yang diceritakan oleh tetangganya. Tentang sikap laki-laki yang tidak lagi memperdulikan isterinya yang sedang hamil, jarang dirumah dan sering pulang malam. Yang malah mencari kesenangan diluar, bahkan mencari perempuan lain.
“Dasar laki-laki, dicari hanya yang enak-enak saja, saat isteri susah malah ditinggal, dimana letak tanggungjawab dan perhatiannya”. Keluhnya dalam hati.

Kemudian dia teringat lagi dengan kejadian yang menimpa tetangga sebelahnya, yang suaminya beristeri lagi ketika di tingggal menunaikan ibadah haji. Awalnya suaminya begitu manis dan perhatian, hingga mengeluarkan uang yang banyak untuk biaya isterinya naik haji. Tetapi setelah isterinya tidak ada, ia malah kawin lagi dengan perempuan lain, di saat isterinya menunaikan haji. Kemudian, isteri yang pulang dari menunaikan haji itu lantas tidak terima dengan perbuatan suaminya, kemudian memotong alat kemaluan suaminya saat lagi tidur. Suaminya menjadi cacat. Ia, juga lantas dipenjara dengan perbuatannya itu.

“Itu memang hukuman yang pantas bagi laki-laki hidung belang”. Komentarnya dalam hati. “Kalau suamiku ini main gila pula nanti, aku bersedia juga masuk penjara, demi menebus sakit hati ini dan menyelamatkan harga diriku”. Kata hatinya.

Namun cepat-cepat dia menyadari kesalahanya, sudah berani berniat yang jelek-jelek, walaupun itu belumlah terjadi, apalagi ia sekarang sedang hamil. Ia juga tidak mengetahui dengan pasti, kenapa akhir-akhir ini ia begitu membenci suaminya. Ia serasa ingin marah jika melihat tampang suaminya, ada saja hal yang tidak berkenan dilihatnya. Perasaannya ini sangat bertolak belakang dengan perasaannya dulu, ketika masih pacaran, dia begitu terpesona dengannya, selalu ingin bersama dan mendengar suaranya. Bahkan ada perasaan mau gila ketika tidak melihatnya dalam tempo tiga hari.
“Ya,... itu bisa saja terjadi, kan dia dulu peramah”. Kata hatinya pula, “Sekarang dia malah banyak diam dari pada sayangnya”.

Dilirik sekilas suaminya yang masih sedang asyik membaca koran disampingnya. Tidak ada perubahan pada duduknya, masih saja koran yang di utamakan, bahkan minuman dingin yang dihidangkan dari tadi tidak juga disentuh olehnya. Dulu laki-laki ini amat jarang di rumah, bahkan sering pulang kalau sudah malam. Sekarang, ia malah kebanyakan di rumah, seakan tidak mau meninggalkan rumah. Memang laki-laki begini yang di inginkan seorang isteri, pada saat isterinya hamil dia selalu berada di rumah. Dia senang mendapatkan laki-laki yang tidak suka keluyuran. Tapi, laki-laki ini berkeluyuran setiap saat hanya dengan bacaannya, tidak ada perhatian dengan isterinya. Yang entah sudah berapa banyak buku yang dibacanya, beberapa koran dan buku yang sudah dibeli.

“Di mana letak perhatian kepada isterinya, di mana kasih sayangnya dulu”. Keluhnya dalam hati. “Apa ia sudah mulai bosan denganku?”. Pikirnya lagi.
“Abang, kapan aku, kamu ajak lagi?”. Tanyanya tiba-tiba tidak terencana. Ia juga agak kaget dengan pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutnya. Tapi di tunggunya juga reaksi dari suaminya, sambil memandangi dahan-dahan pohon mangga yang ada di depanya. Dahan-dahan itu terus begoyang dengan santai, karena terpaan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa lembar daunnya gugur berjatuhan ke tanah.

Kemudian dia ingat lagi dengan suaminya, tapi lagi-lagi laki-laki itu masih tetap asyik dengan bacaan korannya. Dia benar-benar jengkel melihat itu semua.
“Bang”. Serunya agak keras.
“Mm?”. Laki-laki itu menyahut dengan santainya, tetapi matanya tetap saja di koran bacaannya.
“Aku katakan, kapan aku kamu ajak lagi?”. Katanya dengan nada suara yang tinggi.
“Ke mana?”.

Hati perempuan itu benar sakit jadinya, mendengar itu semua. “ke mana, ke mana, katamu?, kalau dulu, kau-lah yang tentukan ke mana kita mau pergi. Kau-lah yang selalu mengajakku pergi. Tapi sekarang, dengan keadaanku yang seperti ini, yang hamil begini, kau sudah tidak mau lagi mengajakku?.”
Sebenarnya ia benar-benar ingin bertengkar. Dia lirik laki-laki yang ada disampingnya. Tetapi laki-laki itu tetap saja dengan posisinya yang semula, asyik membaca koran.

“Tidak kau dengar-kah aku ini?”. Teriaknya lagi.
“Iya, saya dengar. Ke mana kamu mau pergi?”.
“ke mana, ke mana, ke mana aku pergi tanyamu, seharusnya kau yang tentukan kemana kita pergi. Tapi baik, kalau itu yang kamu tanyakan. Maka jawabanku seperti ini. Antar-kan saja aku pulang kerumah kedua orang tuaku”.

Laki-laki itu sempat juga di buat kaget mendengar pernyataan isterinya itu. Di letakkannya koran di pangkuannya, dan matanya tercengang melihat isterinya. “Lena”. Serunya.

“Sudah bosan kah kamu kepadaku. Katakan saja begitu”. Kata perempuan itu sambil menegakkan duduknya, dan memandang suaminya dengan perasaan berani. Dia sudah benar-benar siap untuk bertengkar. Dia menunggu reaksi kasar dari suaminya. Tapi laki-laki itu agak tenang, kemudian mengangkat bacaan korannya lagi.

“Bagaimana kita pergi, kalau di sini tidak ada yang jaga rumah”. Kata laki-laki itu kemudian.
“Alaaah, kamu ini selamanya memakai alasan itu saja”. Balasnya. Dan kini nafasnya semakin kencang dirasakannya.
“Tidak baik marah-marah Lena, ingat anak kita yang ada di kandunganmu itu”.
“Anak kita, Anak kita, jadi ada juga kau memikirkannya?. Ada juga kau ingat kepadanya. Tapi apakah pernah kau menanyakan apa yang dibutuhkan bayi kita di saat-saat seperti ini, saat-saat akan kelahirannya. Kau tidak pernah bertanya tentang itu, selamanya kau tidak pernah mau tahu. Karena kau sudah bosan kepadaku, sudah bosan. Pasti!!”. Nafasnya begitu tersengal-sengal, hingga dadanya turun naik dengan kencangnya. Sebenarnya ia ingin mengatakan kata-kata yang lebih tajam lagi, dengan menyuruh laki-laki untuk kawin lagi, apabila ia benar-benar sudah bosan. Dan setelah itu ia akan rela dipenjarakan seperti tetangga sebelahnya. Dia begitu gelagapan, rasanya tubuhnya begitu letih. Lalu sesuatu sekitar perutnya serasa bergerak-gerak.

Dia belai sekitar perutnya yang besar itu. Dan pada saat seperti itu, dia sadar pada ketajaman kata-katanya yang baru saja ia telontarkan.

“Ah, mengapa aku begini?”. Kata hatinya mulai menyesal. “Aku hamil, seharusnya aku tidak boleh marah-marah begini, nanti anakku jadi buruk rupanya seperti .......”.
Lalu ia teringat dengan orang baru yang tinggal di depan rumahnya. Anak orang baru itu begitu jelek, tidak sebanding dengan ayahnya apalagi dengan ibunya. “Pasti ketika hamil lalu ibunya sering marah-marah”. Pikirnya. “Kalau anakku seperti itu nanti!. Oh, tidak, ampun”.

Kemudian lamunannya hilang. Ia ingat ke pada suaminya. Ia menoleh kepada suaminya. Dia merasa geli. Dia tersenyum.

“Ayolah Lena, kenapa kau diam saja?, ayo cepat ganti baju”. Kata suaminya.
Lena terkaget seketika, karena tidak ingat apa hubungan dari yang sedang ia katakan dengan kata-kata suaminya. Selang beberapa waktu, dia teringat dengan kata-kata umpatannya yang kasar kepada suami yang tidak mau mengajaknya bepergian. Maka ia bertanya dengan sedikit gugup, “Kemana kita akan pergi”.
“Ke mana saja-lah, yang penting ganti bajumu dulu. Mungkin alahkan baiknya kita nonton saja”.

Lena agak kebingungan. Tiba-tiba saja dari dalam dirinya tidak ada gairah untuk keluar, untuk jalan-jalan. Dia ingin tinggal dirumah saja, bersama suaminya. Tapi, dia juga menyadari bahwa dari tadi dia yang agak memaksa untuk berangkat jalan-jalan. Terjadi pertentangan yang kuat dalam dirinya.

Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya, namun dia merasa ada yang bergerak-gerak lagi di perutnya. Tiba-tiba dirasakannya sesuatu memukuli jantungnya. Begitu kuat, sehingga ia lungkai dan jatuh terduduk. Sedangkan tangannya tidak kuasa menggapai tubuh suaminya. Dan anak di dalam perutnya serasa berontak, ingin keluar. Suatu rasa nyeri di dalam perutnya bagai membawanya terbang. Dia mau berteriak memanggil suaminya.

Kemudian dia tidak dapat melihat sesuatu di depan matanya lagi. Bahkan ia tidak sadarkan diri, ketika ia terbaring lemas dengan di kelilingi banyak orang. Kemudian secara samar-samar di dengarnya suara suami yang kelihatannya panik. Suara itu, begitu ia kenal.

Rasa nyeri kian tidak tertahankan lagi. Dia merasa ajalnya akan sampai. Hatinya menjadi kian ciut. Denyut jantungnya kian mengencang, dan nafasnya tersengal-sengal. Dia hanya pasrah berdoa dalam hati kepada Tuhan Pemilik Segalanya.
Keesokan harinya, rasa nyeri yang dirasakannya sudah mulai berkurang. Sebelum ia membuka matanya, di raba-rabanya perutnya terlebih dahulu. Tapi perut itu tidak gendut lagi. Dia terkejut, lalu dia berusaha untuk duduk dari tempat tidurnya sambil berteriak-teriak, “Anakku!, anakku!, mana anakku?”.

Seorang juru rawat segera datang padanya sambil merebahkan badannya kembali dan berkata, “Tenanglah Nyonya. Anak Nyonya tidak apa-apa”.
Lena kini ingat segala-galanya. Anaknya telah lahir kemarin, anaknya itu laki-laki. Anak yang diinginkan sesuai dengan doanya selama ini. Ia juga ingat ketika di bawah ke rumah sakit bersalin yang tidak jauh dari rumahnya, dengan menumpangi mobil tetangganya.

Tapi, ada yang sangat mengganggu pikiran Lena, yaitu bayinya itu lahir dengan tidak sempurna bulannya. Bayi itu dalam pertumbuhannya juga akan tidak sempurna, seperti pertumbuhanan bayi yang lahir normal. Lalu dia menangis dan merintih di dalam hatinya, sebagai satu-satunya cara yang dia punyai untuk mengobati hatinya yang luka. Dan suara rintihan itu kedengaran bagitu nyata pada telinganya.

*******
Dalam Musim Panas, di Tomoli (Ampibabo)
Pertengahan April 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar