Oleh : Ruslan H. Husen
Di waktu penghujung subuh, sudah dari tadi terdengar kokok ayam jantan saling bersahutan menandakan sebentar lagi akan tiba waktu pagi hari. Dari ujung jalan terlihat beberapa orang berjalan beriringan, setelah selesai menunaikan shalat subuh di mushallah. Satu-persatu dari mereka berpisah setelah sampai dipagar rumahnya masing-masing. Hingga tinggal seorang saja yang berjalan, karena ternyata rumahnya masih agak jauh.
Dari ufuk timur sudah nampak sang fajar mulai mengeluarkan rona-rona indah ketika menyinari awan tipis, yang menandakan sebentar lagi akan terbit matahari cerah. Warna kekuning-kuningan bercampur dengan biru dan putih, ketika berbenturan dengan awan, hingga membentuk seperti gambar pemandangan yang indah. Burung-burung kecil didahan pohon yang masih agak gelap sudah mulai bersahutan, seakan menjemput sang pagi yanga segera tiba.
Dari kejauhan terdengar bunyi gemuruh dahsyat, seperti benda berat yang jatuh. Bunyi yang membuat makhluk alam serasa panik, burung-burung fajar-pun yang tadinya mulai bernyanyi kini menjadi liar mendengar suara dahsyat itu. Keadaan itu seperti bertanda suatu musibah besar telah terjadi, menimbulkan tanda tanya besar pada diri.
Dengan penuh tanda tanya besar, Iwan melewati rasa kagetnya, serasa telah terjadi sesuatu pada dirinya setelah mendengar suara dahsyat itu. Memang ia sudah berada di depan rumahnya dan sebentar lagi akan masuk ke halaman rumah setelah dari shalat shubuh tadi. Rasa kaget dan ingin tahu lebih menguasai diri Iwan, hingga membuat kakinya melangkah mendekati sumber suara dahsyat itu.
Bunyi itu, memang tidak jauh dari rumah Iwan. Setelah melewati perkebunan coklat tetangga dan tikungan jalan ke arah timur, terdapat jembatan tua yang menjadi penguhubung sungai. Dari sanalah Iwan dibuat bertambah kaget, sebab di dasar sungai yang airnya tidak ada alias kering terdapat sebuah bus terbalik penuh dengan posisi ban diatas. Ternyata benar dugaan, bahwa telah terjadi suatu peristiwa besar.
Kejadian Ini lahir diakibatkan bus terperosok melalui tepian jalan menuju jembatan, sehingga menuju kedasar sungai, hal ini dapat dilihat bekas jalan bus yang menabrak tepian penghalang jalan jembatan, demikian pikir Iwan setelah melihat kejadian itu.
Dari dalam bus, dampak beberapa orang yang penuh darah dan luka berusaha dengan susah payah untuk keluar dari bus itu. Beberapa diantara mereka telah berhasil keluar dan terus berusaha membatu kawan-kawan yang masih ada di dalam bus itu. Iwan melihat semua itu serasa serba salah, ia seakan tidak mampu bergerak dari tempatnya berdiri akibat pengaruh kaget dan kegeriannya melihat semua peristiwa itu.
“Hai, anak muda tolong kami, cepat tolong kami !!!”. teriak salah seorang dari korban bus, setelah melihat Iwan yang kebingungan.
“Iya, baik” jawaban Iwan kilat yang diikuti dengan sikapnya yang segera mendekat dan mulai membantu mengeluarkan penumpang bus itu.
Bus itu, ternyata memiliki penumpang yang cukup banyak, dilihat dari sudah beberapa orang yang telah berhasil keluar dari bus dan masih banyak lagi yang berusaha keluar dengan selalu merintih dan meminta tolong. Dari dalam bus, korban begitu memilukan, beberapa orang sudah tidak bergerak-gerak lagi dan beberapa orang lagi terus meminta tolong dan menangis akibat terjepit benda berat dan dinding bus.
Iwan bekerja dengan begitu semangatnya, berusaha mengeluarkan korban bersama orang-orang yang masih kuat dari bus itu. Darah dan tanah telah menempeli wajah, tangan, baju dan celana Iwan. Sudah banyak juga orang yang berhasil dibantu oleh Iwan, hingga tubuhnya terasa begitu lelah. Kelelahan pada dirinya terus bertambah ketika memikirkan penderitaan orang yang kesakitan dan terluka.
Udara pagi sudah mulai panas, karena sinar matahari sudah mulai meninggi apalagi dimusim kemarau seperti waktu itu. Orang-orang kampung sekitar yang ada didekat jembatan, sudah mulai berdatangan untuk membantu dan melihat, ambulans dan regu penolong-pun sudah dari tadi datang membantu korban.
Dari salah satu sudut bus, di atas rerumputan, disekitar orang terluka dan mayat-mayat yang lambat memperoleh pertolongan, Iwan dengan sangat lelahnya terbaring sambil menutup mata, karena silaunya sinar matahari. Pakaian dan tangannya masih dipenuhi darah dan tanah yang sudah mulai mengering. Pikirannya begitu kalut, seakan tidak berdaya menyaksikan penderitaan orang yang ada dalam bus itu.
Beberapa orang petugas medis dengan pakaian putih terlihat mendekatinya, dengan begitu seksama memperhatikan korban-korban yang kiranya masih dapat diselamatkan. Hingga Iwan-pun didekati dan diperiksa, lalu salah seorang dari mereka bertanya, sementara yang lain sibuk membantu korban yang lain.
“Yang sakit dibagian tubuh yang mana?”. Sambil memegangi tangan si Iwan.
“Aku bukan bagian dari korban bus itu Pak. Aku penduduk sekitar sini yang datang untuk membantu, saya hanya lelah dan berbaring disekitar sini”. Jawab Iwan sambil berusaha untuk duduk.
“Oya, kalau begitu istirahat saja dulu”.
“Baik Pak”.
“Kalau sudah selesai istirahat tolong bantu, didalam bus itu masih ada orang yang butuh pertolongan”. Pinta salah seorang dari pertugas medis itu.
Memang betul dari dalam bus, maish terdengar suara orang meminta tolong, walaupun para bantua sudah mulai bekerja. Seperti memperoleh semangat baru, Iwan segera berdiri dan menuju kedalam bus itu, didapatinya orang-orang masih berusaha membantu mengeluarkan barang-barang dan mayat-mayat dari dalam bus. Serta didapatinya didalam bus tinggal seorang perempuan yang sudah tidak bernyawa lagi, sementara disudut kiri belakang mobil tergeletak gadis kecil yang menangis meminta tolong dengan kaki tercepit pada kursi besi bus. Gadis itu sudah begitu lemahnya, mungkin sudah kehabisan banyak darah, akibat luka yang ada pada kakinya.
Iwan berusaha mengeluarkan gadis kecil itu, dengan mengangkat kursi besi yang menindih kaki sigadis kecil dengan dibantu seorang laki-laki yang tidak dikenal. Baginya tidak masalah, tidak mengenal orang itu, yang terpenting adalah segera melepaskan gadis kecil ini dari tindihan kursi besi. Walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga mengangkat kursi besi bus, tapi usaha itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Kini kondisi gadis kecil itu sudah tidak bergerak-gerak lagi, mungkin ia pingsan, demikian pikir Iwan.
“Tunggu disini, saya mau ambil kampakku yang ada diluar”. Pinta laki-laki itu dan segera bergegas keluar dari bus.
Tidak beberapa lama kemudian, laki-laki itu sudah datang kembali dengan menggenggam sebuah kampak besar. Iwan, mulanya tidak menaruh curiga apapun terhadap pemilik kampak itu, dan juga diniatnya adalah menolong gadis itu.
Tapi, diluar dugaan Iwan, dengan sadar dan melihat dengan mata kepala sendiri, dimana laki-laki itu bukanya memotong kursi besi yang menindih gadis itu, malah memotong kaki sigadis hingga terpisah, tidak ada teriakan kesakitan pada sang gadis, walaupun darah telah mengalir dari pergelangan tangannya. Lalu mengangkat tubuh sigadis lalu keluar dari bus.
Iwan begitu panik menyaksikan pemandangan yang begitu mengerikan itu, seorang gadis ditolong dengan cara dipotong kakinya. Darah masih segar ditempat gadis itu terbaring, yang tersisa kini tinggal potongan kaki sisa.
Iwan keluar dari bus, lalu terduduk disemak-semak. Ia keliahatan begitu shok atas kejadian yang disaksikannya. Seorang gadis kecil ditolong dengan cara dipotong kakinya, apakah tidak ada jalan lain, seperti menggunakan alat tertentu dan menunggu bantuan orang lain, guna mengangkat kursi besi yang menindih itu. Kasihan gadis kecil itu, bagaimana masa depannya tanpa kaki sebelah. Gadis kecil itu pasti cacat, yang akan membuatnya malu untuk bergaul dengan orang-orang sekitarnya.
Perasaan bersalah pada diri Iwan juga semakin menjadi-jadi, sebab ia membiarkan saja laki-laki berkampak itu untuk memotong kaki si-gadis tanpa meminta bantuan pada orang yang berada di luar bus. Kejadiaannya serasa begitu cepat, hingga belum ada dalam pikiran Iwan untu berbuat hal yang terbaik.
Kini Iwan begitu shok dan merasa bersalah atas kejadian itu. Dirinya seakan tidak memiliki daya hidup lagi. Raut mukanya pucat, seperti tidak ada darah diwajahnya. Sesekali kepalanya terasa pusing, jika membayangkan semua kejadian yang menimpa sang gadis.
“Hai Iwan, kamu kenapa sakit juga ya?”. Tanya salah seorang yang ternyata kawan Iwan dari kampung, yang dari tadi memperhatikan Iwan.
“Gadis itu !!!”. Jawab Iwan pilu.
“Gadis yang mana ?”. Tanya teman Iwan, ingin tahu.
“Gadis yang baru dianggkat dari mobil tadi, kasihan dia, ia sudah tidak memiliki sebelah kaki laki. Ia ditolong dengan cara kakinya dipotong oleh seorang laki-laki berkampak. Kenapa harus kakinya dipotong, kan bisa ia ditolong tapi tidak dengan memotong kakinya. Laki-laki itu benar-benar tidak memiliki perasaan kemanusiaan”. Iwan pilu hendak menangis.
“Laki-laki itu memang orang gila, yang berasal dari kampung sebelah, namanya Sakur”. Kata teman Iwan dengan serius.
“Jadi laki-laki berkampak itu orang gila”. Tanya Iwan serius untuk memastikan apa yang berusan didengarnya.
“Ia betul, Laki-laki itu memang orang gila”.
“Ya Tuhan, kasihan gadis kecil itu ditolong oleh orang gila”. Keluh Iwan.
Makin bertambah kalut perasaan Iwan, ketika mengetahui yang mengkampak kaki gadis kecil itu ternyata orang gila. Orang yang tidak mempertimbangkan perbuatannya dengan akal yang sehat dan rasional. Melakukan tindakan hanya berdasar imajinasi hasil pelarian dari perasaan/ kenangan masa lalu yang buram. Kini siapa yang harus disalahkan, laki-laki itu juga tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya. Ia dianggap tidak cakap atau tidak mampu berbuat hukum.
Yang tersisa kini, tinggal-lah nasib seorang gadis kecil yang hidup tanpa satu kaki. Siapa yang akan membantu perawatannya, dimana orang tuanya, bagaimana jika orang tuanya juga ada diantara mayat-mayat ini. Kasihan gadis kecil itu, nasib masa depannya terancam buram.
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya-pun sudah tidak ramah lagi, maklum musim didaerah ini lagi sedang kemarau panjang. Orang-orang dilokasi sudah semakin banyak, mayat-mayat sudah dari tadi dibawa kerumah sakit, demikian juga korban luka-luka, termasuk si gadis kecil. Beberapa orang polisi berpakaian lengkap sudah memeriksa dengan seksama bus itu.
Sejarah kembali tergores bagi insan manusia, memberi peringatan bagi yang masih hidup, akan arti hidup yang sebenarnya. Bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, semuanya bersifat sementara. Yang dipertahankan adalah perbuatan terbaik yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Musibah bisa menimpa siapa saja tanpa bisa mengelak, tanpa disangka-sangka dan diperhitungkan sebelumnya. Sudahkah manusia mempersiapkan bekal untuk hidup dalam alam kelanggengan yang kekal abadi. Ini menjadi tantangan bagi siapa saja, yang mengorientasikan dirinya bagi kepentingan orang banyak dan lingkungan.
*******
Musim hujan di Tomoli (Ampibabo)
Diantara seringnya mati lampu.
Pertengahan April 2006.
Selasa, 10 Maret 2009
Di Tolong Orang Gila
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar