Selasa, 10 Maret 2009

Mengurus SIM

Oleh : Ruslan H. Husen

Dengan memakai celana kain dan baju kemeja serta tas ransel yang sander di punggungku, aku berangkat ke kantor Polisi tempat mengurus SIM yang ada di kota kami. Di sana yang kulihat, beberapa orang masyarakat nampak sedang memasuki halaman kantor itu. Beberapa orang Polisi yang berprawakan tinggi besar, nampak sedang bercanda ria dengan beberapa temannya. Serta beberapa lagi sedang bercakap-cakap dengan serius dengan orang yang berpakaian preman atau masyarakat.

“Mau mengurus SIM, Pak?”. Tanya salah seorang yang berpakaian Polisi, setelah saya sampai di halaman kantor.
Polisi itu begitu ramah, senyumnya bersahabat dan nada mimik mukanya tidak sangar dan galak, walaupun dia memiliki badan yang besar dan kulit yang hitam. Dan memakai sepatu hitam khusus Polisi Lalu Lintas sampai lutut dengan lambang berwarna putih menempel di kanan dan kiri sepatunya. Dia juga mengenakan selempang dan ikat pinggang berwarna putih. Tidak ada kesan bahwa Polisi ini merupakan tipe orang yang pemarah.
Saya teringat dengan teman satu organisasiku, yang menyatakan “Kalau mau urus SIM di kota ini, itu sangat mudah, di kantror tempat mengurus SIM itu banyak Polisi yang menunggu dan bersedia akan membantu, ya,... tentunya harus dengan imbalan kepada mereka”. Temanku itu juga menjelaskan para Polisi itu, sedang tidak tugas-jaga dan menyempatkan diri mereka di kantor itu untuk mencari atau menambah penghasilan sampingan.

Semua yang di ceritakan temanku itu agak sama persis dengan kejadian yang saya alami sekarang. Polisi itu terus saja mengikuti arah jalan kakiku sambil memegangi lenganku, seakan kami begitu akrab. Dia membimbingku ke tempat yang agak sunyi. Polisi itu juga terus mengulang-ngulang pertanyaannya, “Mau mengurus SIM, Pak?”. Sambil memandangi wajahku.

Dengan agak sedikit ragu saya terpaksa menjawab. “Iya”. Sebenarnya ke-inginanku datang sendiri ke kantor ini hanya untuk mengurus sendiri SIM-ku. Saya ingin mendapat pengalaman dari kenekatanku ini. Walaupun saya mendapat kabar dari temanku, bahwa kalau urus SIM sendiri tanpa melalui perantara para Polisi itu, maka bisa lama sampai dua minggu malah. Tetapi kalau di urus oleh mereka hanya butuh waktu kurang dari satu hari saja akan selesai.

Pengurusan dengan perantara para Polisi itu juga tidak akan berbelit-belit, yang di minta hanya syarat foto kopi KTP dan uang tunai Rp. 200.000,- serta mengisi formulir yang sudah ada pada mereka. Kalau-pun umur si pemohon SIM itu belum memenuhi syarat, maka mereka yang akan melakukan rekayasa umur lagi. Setelah itu tinggal menunggu di ruang tunggu untuk dipanggil nama, guna berfoto. Setelah itu, kembali duduk sambil menunggu proses cetakan selesai. Tidak ada ujian pengetahuan rambu-rambu lalu lintas, tidak ada ujian mengemudi. Pokonya tinggal tunggu beres dan yang urus mereka semua.
Saya tetap berusaha menolak tawaran Polisi ini. Dengan mengatakan “Maaf Pak, saya ingin mengurusnya sendiri”. Walaupun mendengar jawabanku itu, dia tidak lantas pergi, namun tetap berusaha untuk kembali membujuk saya. Akhirnya, dengan kebulatan tekadku yang mau mengurusnya sendiri, dia juga yang mengalah dan meninggalkan aku.

Aku lantas melangkah ke dalam di mana banyak orang menunggu, ada yang duduk dan ada yang berdiri. Yang ku lihat di sana ada seorang yang baru saja menunggu di ruang tunggu, tidak lama kemudian sudah dipanggil untuk dapat mendapatkan SIM. Seorang perempuan dengan memakai baju ketat dan rok di atas lutut, sedang berbicara dengan genit bersama dengan seorang Polisi, yang tidak lama dari situ ia juga sudah mendapatkan SIM. Juga ada anak yang umurnya kira-kira masih 16-17 tahun, dengan rambut gondrong berwarna pirang, juga tidak lama duduk menunggu sudah mendapatkan SIM.

Lalu ku lihat Polisi yang menawarkan jasa di depan tadi, nampaknya ia sudah mendapatkan pelanggan baru. Dari raut mukanya nampak begitu sinis kepadaku. Tidak ada raut muka persahabatan lagi di mukanya. Dia begitu garang dan ganas kelihatan kepadaku. Sangat nampak perbedaan beberapa waktu yang lalu di depan. Tapi, ku paham bahwa, “Dia lagi kecewa karena ku tolak tawarannya tadi”.

* * * * *
Sebenarnya saya begitu semangat dan bersikeras mau mengurus sendiri SIM-ku, karena memang saya baru di hadiahi motor baru oleh orang tuaku. Dari awal saya tidak menyukai sistem percaloan, yang selalu membodohi pelanggannya. Memang pelanggan akan mudah dan tidak akan dipersulit serta tinggal membayar sejumlah uang. Tapi, dari sana akan muncul sikap, membiarkan suatu hal tidak berjalan sesuai dengan prosedur yang telah di tentukan dan hanya mencari yang enaknya saja. Kalau hal ini di biarkan terus tanpa ada yang mau memulai, maka persoalan yang lain-pun pasti akan dianggap biasa dan lumrah. Dalam artian semuanya di biasakan menempuh jalan yang gampang walaupun harus mengorbankan materi yang banyak dan melanggar prosedur yang telah di tetapkan. Lantas tidak ada kemampuan sesuai dengan substansi yang diurus. Semua melalui rekayasa dan pemalsuan.

Kejadian-kejadian seperti ini sudah berlangsung di hampir semua tempat-tempat pelayanan publik, mulai dari percaloan di tempat ini, percaloan di pembelian tiket kapal sampai pada percaloan dalam pembayaran pajak kendaraan bermotor. Kegiatan percaloan itu sudah dianggap sebagai kebiasaan, yang pihak berwenang sendiri malah tutup mata atas kejadian itu dan malah pihak-pihak tertentu yang ada dalam instansi tersebut juga mendapat bagian yang dapat dikategorikan tidak langsung.

Kalau kita ingin pelayanan publik diperbaiki karena sudah bosan dengan pembodohan yang dilakukan. Maka, masyarakat harus mulai berani menolak prosedur yang tidak sesuai, harus berani menolak perantara calo. Serahkan semuanya pada peraturan yang berlaku. Kalau memang tidak memenuhi syarat maka akan gugur dan harus berbesar hati. Agar nantinya terdapat kesesuaian antara substansi keterangan dalam suatu surat dengan kenyataan yang sebenarnya. Dari sinilah akan kelihatan yang salah itu tidak akan bertahan.

Kita juga mengetahui bahwa mencari pekerjaan itu sangat susah, apalagi bagi para calo yang tidak memiliki keprofesionalan di saat kondisi seperti ini. Realitas itu bukan hanya terjadi dalam zona ini saja, tapi hampir pada semua aspek kehidupan mansyarakat secara umum. Karena desakan ekonomi mereka membutuhkan makan dan penghasilan. Kerja saja susah apalagi mencari kerja.

Tetapi harus di ingat, bahwa apapun yang dilakukan hendaknya tidak melanggar hak-hak orang lain, tidak menzalimi orang lain. Penanaman kesadaran harus dilakukan pada diri sendiri dulu minimal. Dengan tetap terus berusaha produktif atau melakukan usaha-usaha yang lain yang tidak melanggar kemanusiaan. Dengan kesadaran dan sikap optimis yang tidak gampang putus asa adalah modal awal guna meraih suatu keberhasilan. Sikap gengsi bisa menjadi hambatan dalam hal ini, dengan tidak mau melakukan usaha-usaha yang hanya diperuntukkan bagi kalangan usia tertentu. Bukankah disitu tidak ada larangan?.

Di samping itu juga peran aktif pemerintah, dalam melakukan langkah konkrit guna menuntaskan berbagai macam penyakit sosial yang ada. Pemerintah-lah yang memiki tanggung jawab penuh dan luas guna mensejahterakan rakyatnya. Kebijakan pemerintah hendaknya tidak menyengsarakan rakyat dan menimbulkan potensi konflik. Kerja sama yang dinamis antara pemerintah dan masyarakatnya akan membuka peluang menuju cita-cita bersama. Kerja sama itu diartikan saling mengisi dan mengingatkan kekurangan, disamping fungsi kontrol terhadap ponyelenggaraan pemerintah.

* * * * *
Aku memasuki sebuah ruangan di dalam kantor itu. Aku berani masuk keruangan itu berdasarkan petunjuk yang ku himpun dari beberapa orang petugas yang ada di situ. Di ruangan itu ku lihat seorang Polisi laki-laki duduk dibelakang meja di sudut ruangan, sementara tidak jauh dari situ di sudut ruangan yang lain seorang wanita yang juga anggota Polisi, juga kelihatannya sedang sibuk menulis.

Ku beranikan diri memberi salam kepada Polisi yang laki-laki, lantas dia membalas salamku. Aku duduk di kursi yang ada di depannya, lalu salah seorang anggota Polisi masuk ke ruangan itu dan mengambil berkas di map merah yang kelihatannya sudah di registerasi oleh laki-laki itu. Dari tadi ku tunggu, untuk di tanyakan apa keperluanku, tapi itu tidak juga kunjung datang pertanyaan itu. Lalu ku beranikan diri untuk mengatakan keperluanku, “Pak, saya mau urus SIM”.

“Iya bisa, tapi melalui beking bapak siapa?”. Tanyanya sambil tetap menulis berkas yang ada diatas mejanya.
“Saya mau urus sendiri”. Kataku pelan.
“Sudah isi formulir”. Tanyanya kembali.
“Belum, Pak”.
“Ya,.. harus isi formulir dulu”.
“Maaf, Pak dimana saya bisa dapatkan formulir itu”.

Dia terdiam sejenak, kelihatannya sedang berfikir, tapi ku coba untuk tetap menunggu jawabannya. Lalu ku ulangi lagi pertanyaanku, “Pak di mana formulirnya bisa saya dapatkan”.
“Sama Ibu yang di sudut sana”. Jawabnya kemudian sambil menunjuk ke Ibu Polisi yang ada di sudut ruangan itu.
Ku kembali melangkah ke sudut ruangan itu. “Bu, mau ambil formulir, saya mau urus SIM”. Kataku setelah sampai di depannya.
“Oh, maaf Pak, petugas yang tangani bagian formulir belum datang. Coba Bapak tunggu saja dulu, mungkin sebentar lagi dia datang”. Katanya.

Aku putuskan menunggu untuk mendapatkan formulir permohonan SIM itu. Tapi seharian aku menunggu, namun yang di tunggu tidak juga datang. Hingga kantor hampir tutup dan ku putuskan untuk pulang dan datang lagi besok.

Demikianlah, setelah saya mendapatkan formulir, kembali saya di pimp-pong kesana kemari di ruangan yang lain. Tapi ku coba untuk bersabar dan tidak akan marah. Hingga saat pembayaran administrasi yang ternyata hanya Rp. 45.000,-, saya harus berdebat dan tawar-menawar dengan petugas. Karena dia meminta pembayaran tidak memakai kwitansi. Saya tetap pada pendirian, “Kalau pembayaran di instansi publik harus dan kwitansinya. Mana mungkin akan diketahui sudah bayar atau belum kalau tidak ada bukti yang dipegang”. Demikian kataku.

Akhirnya petugas itu yang mengalah dengan memberikanku kwitansi pembayaran senilai Rp. 45.000,-. Nilai inilah yang seharusnya di bayar oleh pemohon SIM, di situ sudah masuk semua tentang asuransi kejelakaan baik luka-luka ataupun meninggal.
Di hari yang lain, saya harus melalui pengujian pengetahuan rambu-rambu lalu lintas, di uji mengemudi dari satu ruang ke ruangan yang lain. Dengan apa yang saya rasakan, terkesan petugas tidak sepenuh hati memberikan pelayanan pengujian itu. Pengujian hanya terkesan formalitas saja.

* * * * *
Sudah ku hitung-hitung, empat hari sudah saya bolak-balik ke tempat ini, akhrinya saya mendapatkan SIM itu juga. Saya begitu senang. Dengan bangga saya keluar dari kantor itu, dengan terlebih dahulu meraba kantongku yang berisi SIM. Dari situ saja memperoleh pengalaman yang banyak, tentang kenyataan yang saya temui di kantor itu. Saya kemudian bertanya dalam hati, “Bagaimana prosedur yang sesungguhnya, menurut peraturan yang berlaku ya, tentang mengurus SIM ini?, mungkin akan sangat baik jika nantinya ada seorang temanku yang melakukan penelitian disini, tentang realitas dan idealitas, das sollen dengan das sein yang ada”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar