Selasa, 10 Maret 2009

CERITA KALA HUJAN TURUN

Oleh : Ruslan H. Husen

Hujan terus turun dengan derasnya di suatu pagi, di iringi dengan angin dan petir yang sekali-kali kedengaran bergemuruh dengan sangat sombongnya, menggetarkan dan membuat ngeri yang mendengar. Seakan ingin memberi peringatan kepada seluruh alam agar tidak menyombongkan diri dalam mengarungi kehidupan ini. Bahwa tidak ada yang patut disombongkan, semuanya memiliki kemampuan terbatas.

Nampak beberapa pengendara sepeda motor masih menambatkan sepeda motornya di sebuah warung makan yang kosong, beberapa diantara mereka begitu kedinginan dan berusaha menahan dingin dengan menyilangkan kedua tangan di atas dada. Seakan takut basah kuyup saat mengendara, mereka tetap tenang menanti hujan reda. Beberapa diantaranya malah mencari kesempatan ngobrol dengan pengendara yang lain. Menceritakan suatu hal yang kiranya dapat menghangatkan keadaan.

Air hujan terus turun dengan asyiknya seakan tidak mau berhenti dan tidak mau memperdulikan orang-orang yang menunggunya berhenti. Malahan semakin deras yang belum ada tanda-tanda akan berhenti. Membuat banjir-banjir kecil di selokan depan jalan dengan menghanyutkan beberapa potongan rumput, kertas dan kayu. Membuat para kodok dan kecebong bernyayi dengan riang gembira karena melimpahnya air. Air yang mereka nanti untuk dapat berkembang biak dan melangsungkan kehidupan.

Demikian itulah fenomena alam yang semuanya memiliki nilai dan hikmah kepada makhluk yang sanggup berfikir dan mempelajarinya. Yang disatu sisi ada makhluk yang di untungkan dengan peristiwa alam, sementara disisi lain ada makhluk yang merasa terganggu dan bahkan merasa di rugikan. Semuanya akan tetap bergulir tanpa ada makhluk yang kuasa menghentikan keberadaannya.

Di belakang warung itu nampak dua orang manusia dengan asyiknya bercerita seakan turut menikmati turunnya hujan, sambil menikmati minuman teh hangat yang dihidangkannya. Dia-lah, seorang anak usia yang duduk di bangku SD kelas enam dan seorang yang agak tua, yang mungkin kakek dari anak itu. Mereka berdua seakan tidak terlalu pusing dengan beberapa orang pengendara motor yang berlindung di warung depan rumah mereka.

Yah, mereka memang sedang asyik bercerita. Bercerita berysaha mengungkap makna kehidupan. Orang yang agak tua itu berkisah tentang seorang guru kampung yang tinggal di suatu kampung yang jauh dari kampung-kampung lain, nama guru kampung itu adalah Pak Venus.

Pak Venus merupakan sosok pribadi, yang memiliki karakter tidak di sukai oleh semua orang-orang, termasuk murid-muridnya dan bahkan orang tua murid itu sendiri yang ada di kampung itu. Kenapa tidak, kepribadiannya yang sombong, angkuh, egois dan pembual serta menganggap dirinya paling pintar dan hebat dari semuanya, yang tidak ada boleh membantahnya apalagi melawannya.

Kerjanya setiap hari, ada saja yang disombongkan kepada orang disekitarnya, ya… termasuk juga pada murid-muridnya. Apakah itu masalah pengetahuannya, pengalamannya, dan keluarganya.

Pak Venus mengaku bahwa dialah yang paling pintar dari semua guru disekolah ini. Tetapi muridnya melihat tidaklah demikian dan itu hanya hayalan Pak Venus belaka, karena masih banyak guru lain yang lebih pintar dari Pak Venus. Begitu pula dengan bualan Pak Venus dengan penduduk kampung tentang dirinya, harta dan keluarganya. Tetapi keadaan dari Pak Venus itu semua penduduk kampung itu sudah mengetahui bahwa memang demikianlah pembawaan dari Pak Venus yang menganggap dirinya adalah segala-galanya.

Suatu hari ketika jadwal mengajar Pak Venus, yang dijelaskan hanya pengalaman pribadinya ketika sekolah dulu, menyindir orang lain yang tidak sependapat dengannya dan bahkan memberikan pertanyaan dan marah tanpa alasan jelas pada murid-muridnya.
Semua orang di kampungnya sudah mengenal kepribadian Pak Venus yang demikian. Dan membuat orang-orang kampung jengkel dan tidak senang dengan keberadaanya. Tetapi tidak sampai membuat orang kampung itu main hakim sendiri terhadapnya.

Suatu hari di kelas dia kembali membual kepada murud-muridnya. Bahwa dia dulu mendapat bea-siswa dari pemerintah daerah untuk sekolah di luar negeri. Karena kepintarannya dan pemerintah daerah menganggapnya layak untuk menempuh pendidikan di luar negeri.

Bea-siswa itu di berikan dalam bentuk uang yang begitu banyak. Tidak tanggung-tanggung bea-siswa dalam bentuk uang tersebut tidak bisa di bawanya semua ke luar negeri. Karena ia beranggapan sebagian saja sudah cukup untuk membiayai hidup dan kegiatan studinya. Dan sisa dari bea-siswa tersebut ia bagikan kepada orang-orang miskin di kampungnya, sebagai amal sosial dan kepeduliannya terhadap sesama. Pak Venus memuji diri sendiri.

Lalu tiba-tiba seorang murid memotong cerita Pak Venus dan bertanya : “Pak, kenapa melanjutkan studinya tidak di dalam negeri saja (Indoensia) Pak?”
“Ahh… mana bagus kualitas pengetahuan orang yang sekolah dalam negeri jika dibandingkan dengan dengan alumi luar negeri. Tentu kualitas alumni luar negeri jauh lebih bermutu. Ya... seperti saya ini.” Pak Venus memuji diri.
Beberapa murid nampak tidak puas dengan jawaban Pak Venus itu. Lalu kembali murid yang lain bertanya.

“Pak, melanjutkan sekolahnya di negara mana sih ? ko... ! dari tadi yang diceritain hanya seputar mendapatkan bea-siswa dari pemerintah daerah itu saja ?”
Pak Venus, menjadi kaget dan agak bingung mendengar pertanyaan muridnya yang lancang memotong ceritanya itu.

Dengan agak gemetar ia menjawab : “Saya melanjutkan sekolah di negara Balikpapan”. Suara Pak Venus terhenti karena tiba-tiba kelas menjadi ricuh dan ribut karena muridnya tertawa dengan sangat lucu.

Pak Venus menjadi bingung menyaksikan tingkah laku muridnya yang demikian itu.
Lalu seorang murid bersuara dengan sangat berani : “Pak, Balikpapan itu bukan luar negeri, ia masih bagian dari negara Indonesia dan masuk dalam propinsi Kalimantan Timur !” suaranya disambung dengan suara tertawa lucu mengejek.

Kembali suasana kelas makin ribut di mana murid-murid dengan semangatnya tertawa sambil memukul-mukulkan telapak tangannya di meja.
Tiba-tiba Pak Venus berteriak : “Diam !!, diam !!, diam semuanya” dengan nada keras dan marah. Nampak mukanya yang merah dan suara nafasnya yang berhembus kencang.
Serta merta kelas menjadi sunyi kembali tanpa ada lagi yang berani bersuara. Hanya terasa denyut jantung masing-masing yang tidak bisa di tahan. Berdenyut dengan kencangnya. Di sertai rasa ketakutan akan kemarahan Pak Venus.

Dengan marahnya Pak Venus memaki-maki muridnya, dan hampir saja ia menampar muridnya satu persatu. Kemarahan Pak Venus begitu menjadi terlihat mukanya yang memerah dan suaranya yang lantang dan serak.

Tidak ada yang berani menatap wajah Pak Venus yang begitu sangat marahnya, yang terasa begitu mengerikan, ingin menelan hidup-hidup manusia yang ada di depannya.
Kemudian Pak Venus keluar dari ruang kelas dengan terlebih dahulu meludah dan mengancam akan mengeluarkan murid dari sekolah itu yang berani menertawakannya.

* * *
Orang yang agak tua menjelaskan kepada anak kecil itu bahwa, dari kisah Pak Venus tersebut banyak hikmah yang dapat di ambil dan mengarungi kehidupan untuk saling berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.

Keadaan Pak Venus dalam cerita itu, ketika melihat realitas sekarang ini sungguh telah banyak lahir generasi-generasi Pak Venus zaman baru.
Lihat saja bagaimana seorang pengajar di kelas hanya menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya saja yang tidak mempunyai hubungan dengan substansi materi yang di bawakannya. Baik cerita tentang keadaan ketika melanjutkan sekolah di luar kota maupun cerita konyol yang hanya patut dikeluarkan pada saat ngobrol di warung kopi. Yang sekali lagi tidak mendidik peserta didik untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.

Belum lagi para pengajar yang tidak memiliki pengalaman dan modal dasar pengetahuan termasuk metode guna transfer ilmu. Yang menyalurkan ketidak mampuannya itu kedalam keadaan yang tegang atau marah. Dimana peserta didik dipaksa secara tidak sadar atau sadar untuk menjawab pertanyaan yang sulit dan tidak masuk akal. Yah, pengalihan dari ketidak mampuan menghadapi psikologi kelas dan peserta didik ke dalam keadaan yang menekan psikologi peserta didiknya. Sehingga peserta didik tidak dapat belajar dengan tenang dan akhirnya tidak bisa mengembangkan potensi kemanusiaannya.

Yang juga kadang diserta dengan ancaman fisik atau adu jotos. Yang sekali lagi sebetulnya keadaan itu merupakan luapan-luapan dari ketidak mampuannya dalam menghadapi psikologi peserta didiknya.

Pokoknya itu hanya merupakan sebagian kecil ciri dari Pak Venus yang hidup di jaman sekarang ini. Si orang tua itu menutup penjelasanya kepada anak kecil yang berada di depannya.

* * *

Di luar nampak hujan mulai reda dan tidak deras lagi. Pengendara motor di warung makan depan rumah tadi, itu pun sudah tidak ada lagi.
Air hujan yang bercampur dengan lumpur kini mengalir mencari tempat yang rendah untuk di tempatinya. Tanah-tanah menjadi becek terkena injakan kaki-kaki manusia dan binatang.

Ayam kampung sudah mulai keluar mencari makan penyambung hidupnya, bersama anak-anaknya. Terdengar bunyi suara katak yang gembira mendapatkan air berlimpah. Seakan bernyanyi menanti kehadiran kekasih hatinya yang tidak jelas siapa.

Angin malam di Tondo
September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar