
Oleh : Ruslan H. Husen
“Ko. Nanpak gerah dan bingung sih Pak?”. Tanya Sara kepada suaminya.
Suami Sara adalah kepala Kejaksaan Tinggi di kota ini, yang cukup di kenal karena dahulu cukup idealis dalam memandang suatu persoalan dan telah banyak menulis buku berkaitan dengan hukum.
“Itulah Bu, saya agak bingung, menghadapi kasus Dullah ini”. Kata suami Sara.
Kasus Dullah ini, merupakan kasus yang kontroversial yang bukan hanya di konsumsi dunia nasional tetapi juga dunia internasional. Dullah yang beragama Katolik ini sebenarnya telah di vonis atas pembantaian yang telah di lakukannya terhadap satu keluarga muslim. Vonis atas kasus itu sudah final dari sisi hukum positif di negara ini. Pada pengadilan tingkat pertama Dullah di Vonis hukuman mati, pada tingkat banding di pengadilan Tinggi juga hukaman mati, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Dullah juga tetap di vonis dengan hukuman mati. Hingga permohonan pengampunannya kepada Presiden juga di tolak.
“Saya sebenarnya tidak mementingkan dari agama apa Dullah itu dan siapa yang menjadi korban perlakuannnya. Yang saya pentingkan itu, dapat berbuat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Tetapi mengapa saya di duga menunda-nunda eksekusi mati terhadap diri Dullah”. Kata suami Sara.
“Tenanglah Pak, tidak usah terlalu di pikirkan. Saya buatkan minuman dingin ya Pak”. Kata Sara mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Coba pikir Bu, kemarin kami di demo oleh ratusan warga minta Dullah di bebaskan, karena alasan kemanusiaan yang semua orang berhak untuk hidup dan negara tidak bisa membatasi hidup seseorang. Sementara tadi siang, kami juga di demo oleh ratusan orang yang menuntut Dullah segera di eksekusi sesuai dengan putusan hukum yang berlaku di negara ini. Jadi di sana ada pertentangan, dan kami ini harus berbuat apa?”. Kata suami Sara, sambil meraih minuman yang di hidangkan isterinya.
Semuanya diam bergelut dengan perasaan masing-masing. Kalau sudah begini persoalannya Sara tidak memiliki pandangan lagi dalam memecahkan persoalan yang di hadapi suaminya, karena dia memang hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus rumah dan anak-anak mereka. Yang mampu ia lakukan menenangkan dan membantu apa yang di minta dan di butuhkan oleh suaminya.
$ $ $ $
Kontroversi hukuman mati memang bukan ini yang pertama kali. Kontroversi ini sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu di berbagai negara. Indonesia termasuk negara yang masih mengadopsi hukuman mati, sehingga ada beberapa kelompok pihak yang meminta hukuman mati ini dihapuskan saja. Sementara ada juga meminta di pertahankan.
Kelompok yang menentang putusan mati menganggap jiwa seseorang itu tidak bisa di campuri apalagi di ambil alih oleh negara. Yang bisa mengambil alih jiwa manusia hanyalah Tuhan, kerana Ialah yang telah menciptakannya. Jiwa manusia adalah hak asasi setiap insan yang tidak bisa di hilangkan. Penghilangan itu pada hakikatnya mengambil alih fungsi Tuhan. Negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya Tuhan, negara hanya alat bagi kekuasaan tertantu. Siapa yang terkuat dalam negara dapat mengendalikan hukum itu.
Sementara kelompok yang mendukung hukuman mati, berlindung pada otoritas yang di miliki negara dalam mengatur warganya termasuk memberlakukan hukuman mati. Hukuman mati itu sebelumnya sudah harus ada sebelum perbuatan di lakukan. Begitu kompleksnya kehidupan sampai bervariasinya kejahatan yang ada, hingga hukuman yang ringan sampai hukuman terberat harus ada. Membunuh satu nyawa dalam negara ini akan dihukum 15 tahun, lalu kalau membunuh satu keluarga yang di dalamnya ada ayah, ibu, anak-anak, pembantu dan kakek, apakah pelakunya harus di biarkan hidup juga sementara ia juga sebelumnya telah melakukan pembantaian itu. Membunuh satu nyawa ibaratnya membunuh 100 orang, membunuh satu keluarga sama halnya dengan membunuh Tuhan. Tuhan maha adil, memberikan ketegasan kepada orang yang berbuat kezaliman dengan di hukum yang berat sampai hukuman mati.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), yang setiap sengketa dan persoalan harus dilakukan melalui jalur hukum. Sehingga institusi hukum beserta sistem hukum lain di akui keberadaannya, yakni peraturan yang berlaku dan budaya masyarakat yang mendukung serta sarana dan prasarana yang memadai.
Dalam konteks itu sedemikian ideal, namun dalam kenyataannya politik lebih mendominasi penegakan hukum. Kekuatan politiklah yang lebih berkuasa mengarahkan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang berlaku telah mengarahkan suatu persoalan kepada tujuan yang ingin di capai hukum itu, namun intervensi politik mengalihkan tujuan itu karena adanya tekanan yang kuat terhadap institusi pelaksana hukum itu.
Yang bisa di harapkan dalam melakukan kontrol adalah media massa dan masyarakat secara umum dengan melakukan transparansi terhadap proses yang sedang berlangsung. Media di tuntut memberitakan secara independen berimbang dan bertanggunjawab, dengan tidak mengarahkan kepada opini tertentu. Penilain terhadap pemberitaan media itu di serahkan sepenuhnya pada masyarakat.
Persoalannya adalah ketika media tidak independen lagi dan pro pada kekuasaan negara seperti saat orde baru berkuasa, maka dominasi politik atas hukum akan semakin menjadi-jadi, tidak akan di temukan supremasi hukum apabila melibatkan elit politik. Semuanya keputusan hukum dapat di arahkan menuju kehendak penguasa, walaupun ada mekanisme sidang dalam menghasilkan kepututusan namun semuanya hanya merupakan sandiwara yang mengelabui publik.
Setelah kejatuhan orde baru, menjadikan peran pers menjadi pilar ke –empat pelaksana kekuasaan negara. Pers di beri kewenangan untuk mengawasi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengawasaan itu sebagai tanggung jawab sosial pada publik dengan tidak memberitakan yang baik-baik saja, tetapi kebusukan dan konspirasi jahat para pelaksana kekuasaan negara itu.
Sebagai contoh begitu pentingnya peran Pers dalam kasus orang elit seperti Soeharto dan Akbar Tanjung. Pers akan memberitakan segala aspek yang menyangkut proses peradilan tokoh itu dan itu akan di konsumsi dengan lahap oleh publik. Hakim, jaksa dan pengacara akan bertindak dengan hati-hati sebab pengawasan publik yang begitu melekat.
Tetapi ketika pers tidak berperan dalam kasus Stepanus yang mencuri ayam, maka peluang terjadinya pelanggaran yang di lakukan institusi pengadilan terbuka. Tidak akan ada yang memperhatikan pemukulan yang menimpa Stepanus, dan penyogokan yang dilakukan keluarganya. Sebab kasusnya kecil yang melibatkan orang kecil pula. Memang persoalan pemukulan dan penyuapan itu besar jika diketahui publik, tetapi akses dan gaung yang melibatkan orang kecil tidak menarik, dan itu sudah di anggap biasa saja.
Memang dalam penegakan hukum diutamakan idealisme dari pelaksana hukum itu, yang berusaha menemukan titik keadilan dan kebenaran. Institusi hukum harus membongkas mitos yang mengatakan, “Di dalam pengadilan tidak akan ditemukan keadilan, malah di sana ketidak adilan yang merajalela”. Mitos ini keluar, karena ketidak percayaan publik terhadap institusi pelaksana hukum yang korup, penuh rekayasa dan permainan. Makanya sering terjadi penghakiman secara massa.
Tetapi zaman terus berlalu, arah baru Indonesia terbuka lagi setelah tumbangnya rezim orde baru. Perbaikan sistem hukum dilakukan dengan melakukan terobosan walaupun belum maksimal pada produk perundang-undangan yang mengatur sisi kehidupan masyarakat. Perbaikan institusi penegak hukum dan pembenahan sarana dan prasarana hukum serta sosialisasi dan penggalian nilai-nilai kultural yang ada dalam masyarakat.
*******
Menjelang Sore
Tomoli (Ampibabo)
Kamis, 18 Mei 2006.
Selasa, 10 Maret 2009
Hukum. Pers dan Intervensi Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar