Selasa, 10 Maret 2009

Hukum. Pers dan Intervensi Politik


Oleh : Ruslan H. Husen

“Ko. Nanpak gerah dan bingung sih Pak?”. Tanya Sara kepada suaminya.
Suami Sara adalah kepala Kejaksaan Tinggi di kota ini, yang cukup di kenal karena dahulu cukup idealis dalam memandang suatu persoalan dan telah banyak menulis buku berkaitan dengan hukum.


“Itulah Bu, saya agak bingung, menghadapi kasus Dullah ini”. Kata suami Sara.
Kasus Dullah ini, merupakan kasus yang kontroversial yang bukan hanya di konsumsi dunia nasional tetapi juga dunia internasional. Dullah yang beragama Katolik ini sebenarnya telah di vonis atas pembantaian yang telah di lakukannya terhadap satu keluarga muslim. Vonis atas kasus itu sudah final dari sisi hukum positif di negara ini. Pada pengadilan tingkat pertama Dullah di Vonis hukuman mati, pada tingkat banding di pengadilan Tinggi juga hukaman mati, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Dullah juga tetap di vonis dengan hukuman mati. Hingga permohonan pengampunannya kepada Presiden juga di tolak.

“Saya sebenarnya tidak mementingkan dari agama apa Dullah itu dan siapa yang menjadi korban perlakuannnya. Yang saya pentingkan itu, dapat berbuat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Tetapi mengapa saya di duga menunda-nunda eksekusi mati terhadap diri Dullah”. Kata suami Sara.

“Tenanglah Pak, tidak usah terlalu di pikirkan. Saya buatkan minuman dingin ya Pak”. Kata Sara mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Coba pikir Bu, kemarin kami di demo oleh ratusan warga minta Dullah di bebaskan, karena alasan kemanusiaan yang semua orang berhak untuk hidup dan negara tidak bisa membatasi hidup seseorang. Sementara tadi siang, kami juga di demo oleh ratusan orang yang menuntut Dullah segera di eksekusi sesuai dengan putusan hukum yang berlaku di negara ini. Jadi di sana ada pertentangan, dan kami ini harus berbuat apa?”. Kata suami Sara, sambil meraih minuman yang di hidangkan isterinya.

Semuanya diam bergelut dengan perasaan masing-masing. Kalau sudah begini persoalannya Sara tidak memiliki pandangan lagi dalam memecahkan persoalan yang di hadapi suaminya, karena dia memang hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus rumah dan anak-anak mereka. Yang mampu ia lakukan menenangkan dan membantu apa yang di minta dan di butuhkan oleh suaminya.

$ $ $ $
Kontroversi hukuman mati memang bukan ini yang pertama kali. Kontroversi ini sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu di berbagai negara. Indonesia termasuk negara yang masih mengadopsi hukuman mati, sehingga ada beberapa kelompok pihak yang meminta hukuman mati ini dihapuskan saja. Sementara ada juga meminta di pertahankan.

Kelompok yang menentang putusan mati menganggap jiwa seseorang itu tidak bisa di campuri apalagi di ambil alih oleh negara. Yang bisa mengambil alih jiwa manusia hanyalah Tuhan, kerana Ialah yang telah menciptakannya. Jiwa manusia adalah hak asasi setiap insan yang tidak bisa di hilangkan. Penghilangan itu pada hakikatnya mengambil alih fungsi Tuhan. Negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya Tuhan, negara hanya alat bagi kekuasaan tertantu. Siapa yang terkuat dalam negara dapat mengendalikan hukum itu.

Sementara kelompok yang mendukung hukuman mati, berlindung pada otoritas yang di miliki negara dalam mengatur warganya termasuk memberlakukan hukuman mati. Hukuman mati itu sebelumnya sudah harus ada sebelum perbuatan di lakukan. Begitu kompleksnya kehidupan sampai bervariasinya kejahatan yang ada, hingga hukuman yang ringan sampai hukuman terberat harus ada. Membunuh satu nyawa dalam negara ini akan dihukum 15 tahun, lalu kalau membunuh satu keluarga yang di dalamnya ada ayah, ibu, anak-anak, pembantu dan kakek, apakah pelakunya harus di biarkan hidup juga sementara ia juga sebelumnya telah melakukan pembantaian itu. Membunuh satu nyawa ibaratnya membunuh 100 orang, membunuh satu keluarga sama halnya dengan membunuh Tuhan. Tuhan maha adil, memberikan ketegasan kepada orang yang berbuat kezaliman dengan di hukum yang berat sampai hukuman mati.

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), yang setiap sengketa dan persoalan harus dilakukan melalui jalur hukum. Sehingga institusi hukum beserta sistem hukum lain di akui keberadaannya, yakni peraturan yang berlaku dan budaya masyarakat yang mendukung serta sarana dan prasarana yang memadai.

Dalam konteks itu sedemikian ideal, namun dalam kenyataannya politik lebih mendominasi penegakan hukum. Kekuatan politiklah yang lebih berkuasa mengarahkan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang berlaku telah mengarahkan suatu persoalan kepada tujuan yang ingin di capai hukum itu, namun intervensi politik mengalihkan tujuan itu karena adanya tekanan yang kuat terhadap institusi pelaksana hukum itu.

Yang bisa di harapkan dalam melakukan kontrol adalah media massa dan masyarakat secara umum dengan melakukan transparansi terhadap proses yang sedang berlangsung. Media di tuntut memberitakan secara independen berimbang dan bertanggunjawab, dengan tidak mengarahkan kepada opini tertentu. Penilain terhadap pemberitaan media itu di serahkan sepenuhnya pada masyarakat.

Persoalannya adalah ketika media tidak independen lagi dan pro pada kekuasaan negara seperti saat orde baru berkuasa, maka dominasi politik atas hukum akan semakin menjadi-jadi, tidak akan di temukan supremasi hukum apabila melibatkan elit politik. Semuanya keputusan hukum dapat di arahkan menuju kehendak penguasa, walaupun ada mekanisme sidang dalam menghasilkan kepututusan namun semuanya hanya merupakan sandiwara yang mengelabui publik.

Setelah kejatuhan orde baru, menjadikan peran pers menjadi pilar ke –empat pelaksana kekuasaan negara. Pers di beri kewenangan untuk mengawasi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengawasaan itu sebagai tanggung jawab sosial pada publik dengan tidak memberitakan yang baik-baik saja, tetapi kebusukan dan konspirasi jahat para pelaksana kekuasaan negara itu.

Sebagai contoh begitu pentingnya peran Pers dalam kasus orang elit seperti Soeharto dan Akbar Tanjung. Pers akan memberitakan segala aspek yang menyangkut proses peradilan tokoh itu dan itu akan di konsumsi dengan lahap oleh publik. Hakim, jaksa dan pengacara akan bertindak dengan hati-hati sebab pengawasan publik yang begitu melekat.

Tetapi ketika pers tidak berperan dalam kasus Stepanus yang mencuri ayam, maka peluang terjadinya pelanggaran yang di lakukan institusi pengadilan terbuka. Tidak akan ada yang memperhatikan pemukulan yang menimpa Stepanus, dan penyogokan yang dilakukan keluarganya. Sebab kasusnya kecil yang melibatkan orang kecil pula. Memang persoalan pemukulan dan penyuapan itu besar jika diketahui publik, tetapi akses dan gaung yang melibatkan orang kecil tidak menarik, dan itu sudah di anggap biasa saja.
Memang dalam penegakan hukum diutamakan idealisme dari pelaksana hukum itu, yang berusaha menemukan titik keadilan dan kebenaran. Institusi hukum harus membongkas mitos yang mengatakan, “Di dalam pengadilan tidak akan ditemukan keadilan, malah di sana ketidak adilan yang merajalela”. Mitos ini keluar, karena ketidak percayaan publik terhadap institusi pelaksana hukum yang korup, penuh rekayasa dan permainan. Makanya sering terjadi penghakiman secara massa.

Tetapi zaman terus berlalu, arah baru Indonesia terbuka lagi setelah tumbangnya rezim orde baru. Perbaikan sistem hukum dilakukan dengan melakukan terobosan walaupun belum maksimal pada produk perundang-undangan yang mengatur sisi kehidupan masyarakat. Perbaikan institusi penegak hukum dan pembenahan sarana dan prasarana hukum serta sosialisasi dan penggalian nilai-nilai kultural yang ada dalam masyarakat.

*******
Menjelang Sore
Tomoli (Ampibabo)
Kamis, 18 Mei 2006.

selengkapnya....

Mati Lampu


Oleh : Ruslan H. Husen

“Ah, mati lampu lagi.” Keluh Iwan yang sedang menonton. “Padahal lagi asyik-asyiknya menonton”.
Ardi keluar dari kamar, “Apa sudah mati lampu?. Padahal saya mau mengetik tugasku dan tugas itu besok akan dikumpul. Aduh bagaimana ini!!?.”
“Ya, sudah kalau sudah mati lampu, mau apa lagi. Paling besok baru nyala”. Kata Kartini, Ibu mereka.

“Tapi, Ibu tugasku itu sangat penting dan mau dikumpul.”
“Siapa suruh tidak ketik memang tadi, ketika lampunya masih menyala”.
“Iya saya kira matinya nanti sore, ini-kan masih pagi sudah mati.
Lampu yang di maksud di sini, aliran listrik dari PLN. Lampu yang sangat di butuhkan oleh masyarakat. Kejadian dalam kisah itu hanya merupakan gambaran cerita yang menimpa sebuah keluarga ketika mengalami mati lampu.

* * *
Listrik dalam era sekarang, sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Bukan saja di daerah perkotaan tetapi juga sampai pedesaan. Kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memudahkan pekerjaan banyak yang menggunakan tenaga listrik. Kini kebutuhan listrik telah melintasi batas strata sosial masyarakat.

Perkembangan tehknologi telah melahirkan alat-alat produksi yang membantu manusia dan menggunakan energi listrik. Realitas tersebut menuntut di penuhinya listrik dalam setiap waktu dan wilayah masyarakat. Mulai dari alat-alat rumah tangga, sampai alat-alat produksi di perusahaan semuanya membutuhkan energi listrik.

Pemadaman listrik pada hakikatnya mematikan potensi kreatifitas masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dari padamnya listrik, berbagai kegiatan menjadi terhambat bahkan tidak berfungsi. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan ketersediaan energi listrik adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda memiliki tugas agar mampu menyerap aspirasi masyarakat umum dengan mengeluarkan kebijakan yang mampu meningkatkan penghasilannya.

Pemadaman listrik di daerah ini hampir terjadi setiap saat, bahkan muncul istilah bergiliran dengan satu hari menyala dan satu hari padam. Yang masyarakat di minta untuk memahami kenyataan itu. Kenyataan itu bukan tidak memperoleh protes dari masyarakat, tetapi karena kejenuhan dan kesibukan mengurus pekerjaan lain, sehingga protes hanya berlangsung secara sporadis dan tidak sestematis. Dan hal itu jelas menguntungkan pihak pengambil kebijakan di daerah ini.

Kalau ingin melihat potensi daerah sungguh sangat luar biasa besarnya. Pendapatan daerah selalu mengalami peningkatan, dan celakanya alokasi hasil pendapatan itu hanya di gunakan untuk proyek-proyek yang tidak bersentuhan langsung pada masyarakat. Belum lagi masalah korupsi yang menjamur di birokrasi Pemda ini, semakin menambah suram upaya mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat selalu di tuntut untuk membayar pajak, baik pajak PBB, pajak kendaraan bermotor, dan pajak pertambahan nilai barang. Jumlah pendapatan dari pajak itu bukan tidak sedikit, lalu ditambah lagi dengan sumber-sumber pendapatan daerha yang lain. Maka semakin menambah tingginya jumlah pendapatan daerah. Katanya pajak dan pendapatan daerah yang lain itu akan di gunakan untuk kepentingan umum. Tetapi kenyataannya, kepentingan umum yang mana di maksud?. Apakah kepentingan para pejabat itu dengan keluarganya?.

Masyarakat ketika lambat membayar pajak harus rela menerima denda. Kedisiplinan rakyat selalu dituntut disatu sisi, namun disisi lain kebobrokan dan budaya korupsi meraja lela di kalangan birokrasi di perlihatkan. Semakin hari, semakin terlihat kesenjangan sosial antara pejabat dengan masyarakatnya. Pejabat tidak lagi menyatu, terjadi batas pemisah serta kecemburuan sosial yang bisa memancing perpecahan.
Hal ini bukannya tidak percaya lagi kepada elit politik di daerah, tetapi minimal ini bisa membudayakan sikap “malu” dengan mau memperhatikan nasib rakyat dengan mengupayakan kesejahteraan. Setidaknya tersedianya energi listrik yang memadai. Kalau alokasi dana untuk penyediaan energi listrik saja tidak bisa, lalu mengapa proyek-proyek besar lainnya itu bisa di lakukan.

Apakah Pemda menutup mata atas hal ini?. Atau pura-pura dan tidak mau tahu, asal buat program yang bisa menguntungkan dirinya?. Setidaknya ini menjadi kenyataan pahit di daerah ini, yang sudah lama berdiri dengan limpahan sumber daya alam berlimpah tetapi dalam menyiapkan energi listrik saja tidak mampu. Sungguh sangat ironis sekali. Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menjadi korban dan mendapat keuntungan adalah pejabat elit.
* * *

selengkapnya....

Kisah Sedih Yang Susah Terlupakan


Oleh : Ruslan H. Husen

Kisah ini menjadi bagian dalam hidupku, yang siapa saja dapat mengamatinya dalam realitas sosial sehari-hari atau terlibat sebagai objek didalamnya. Perjalanan hidup itu memuat berbagai nilai dan hikmah, sehingga pengalaman akan menjadi guru besar dalam hidup. Bukan untuk mengulangi kesalahan yang sama, tetapi merajuk bahtera menuju keadaan yang lebih baik, dengan berani bersikap dan bertindak demi kebaikan universal bagi manusia dan alam.

Peristiwa ini terjadi, ketika kewajiban akademik untuk turun ke daerah tertentu berdasarkan penentuan dari panitia pelaksana yang ada di kampus. Bagi mahasiswa, ada yang mendapat di daerah kelahirannya sendiri dan ada yang mendapat jauh dari kampung halaman serta ada yang mendapat di lingkungan kampus.

Saya pribadi mendapatkan daerah yang tidak terlalu jauh dengan kediaman orang tua, tepatnya suatu kecamatan tua dalam kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan yang memiliki banyak keunikan dan potensi ekonomi.

Berbicara tugas akademik yang di berikan yaitu sebagai kordinator kecamatan dalam kegiatan mahasiswa tersebut. Sebagai kordinator, salah satu tugasnya adalah kordinasi kegiatan dan memberikan informasi kemasing-masing posko yang ada di desa dalam kecamatan itu. Dari sanalah saya mengenal lebih dekat kehidupan sosial masyarakat dari satu desa kedesa yang lain. Kehidupan sosial yang menjadikannya memiliki ciri khas sendiri, jika di bandingkan dengan kehidupan masyarakat di kabupaten yang lain.

***
Kehidupan masyarakat di kecamatan tersebut sudah mulai maju, dengan banyaknya pertokoan/ruko yang dibangun, serta aktifitas perdagangan yang sudah menuju perdagangan, disamping aktifitas pemerintahan yang tidak pernah berhenti kecuali pada hari libur nasional. Namun di beberapa desanya masih mulai membangun dengan corak penghasilan masyarakatnya dari sisi agraris, serta belum masuknya aliran listrik kerumah penduduk. Tetapi desa yang bersangkutan tersebut sering mendapatkan bantuan pembangunan dari pemerintah, dan ini menjadi keuntungan masyarakatnya.

Yang paling menarik untuk disimak adalah sisi kehidupan sosial masyarakatnya. Bukan bermaksud untuk mengeneralkan, tetapi ini menjadi gambaran bahwa ada sebagaian masyarakat yang memiliki kecenderungan dan pola hidup demikian. Pola hidup yang menjadi ciri khas kehidupan sosialnya. Disana tergambar kebiasaan dari sisi bergaul, cara berpakaian, cara bicara dan kelompok yang dominan.

***
Kaum muda sebagai generasi penerus peradaban, yang diharapkan memiliki konsep gemilang dalam pembangunan. Menjadi sandaran dan harapan bagi ruang dan waktu. Olehnya kaum muda harus memiliki keinginan besar untuk mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimilikinya yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual. Potensi itu bisa diraih dengan rajin belajar sejak dini dalam berbagai kesempatan dan waktu.

Tetapi untuk golongan tertentu dalam kecamatan tersebut, kaum mudanya justru tidak memiliki visi dan cita-cita masa depan, yang dapat dilihat dari aktifitas sehariannya yang tidak memiliki orientasi kemajuan. Yang ada hanya hayalan dan angan-angan tanpa diimbangi dengan aktifitas positif dalam pencapaian harapan itu. Ditambah lagi faktor profesional dan sikap malas dalam berusaha.

Mereka ini pada umumnya hidup dalam komunitas tertentu, yang didalamnya ada semacam pimpinan yang memiliki kemampuan ekonomi, kekuatan fisik atau ilmu tertentu. Pimpinan itu akan menjadi orang yang dituakan dengan orientasi teman-temannya adalah pada dirinya. Hampir semua aktifitas akan memiliki dukungan dari teman-teman sekitarnya. Bahkan kesalahan darinya bisa mendapat legalitas dari teman dan lingkungannya.

Suasana pergaulan dalam komunitas ini bersifat bebas, tidak memiliki ikatan kuat terhadap norma susila, adat dan agama kecuali norma hukum. Persoalan susila, adat dan agama mereka langgar yang lama-kelamaan memperoleh legalitas dalam kelompok dan lingkungannya, bahkan merembet kepada masyarakat lain. Mereka terikat oleh norma hukum, sebab hukum memiliki institusi terhadap orang yang melanggarnya. Sementara norma lain, mereka langgar tetapi tidak memiliki sanksi yang konkrit.

Yang terbaik diantara mereka adalah yang mampu menyenangkan teman-teman, dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi misalnya dermawan dari sisi pembagian makanan dan rokok. Sehingga temannya itu akan merasa terpenuhi kebutuhan olehnya. Serta mampu berinteraksi dengan baik dengan masyarakat sekitar. Tidak menimbulkan keresahan dan menyusahkan orang lain, tidak menutup diri dan bergaul (bermasyarakat). Juga yang mampu memiliki pacar dengan segala pemenuhannya. Walhasil kegiatan berdua-duan ditempat gelap atau dalam kamar tertutup sudah menjadi hal yang biasa, bahkan perkara aborsi sudah menjadi resiko yang harus diselesaikan dengan menggugurkan kandungannya. Perkara kerja sama dan pengertian diantara mereka itu yang ditumbuhkan, demi kesenangan di antara mereka.

Perilaku seks bebas menjadi trend dan ciri khas yang menjadi rahasia umum, sementara orang tua seakan menutup mata akan hal itu, dengan memberikan kepercayaan untuk berbuat kepada anaknya.

Mereka ini juga memiliki pandangan bahwa model masyarakat seperti merekalah yang terbaik dengan meremehkan dan melecehkan masyarakat yang taat pada norma agama, adat dan susila. Sehingga semacam ada pemisah antara mereka dengan masyarakat kelompok religius lainnya.

Semua itu lahir akibat dari pengaruh media massa yang menembus batas ruang dan waktu. Dari media massa, generasi muda pada khususnya meniru gaya hidup para bintang (selebritis). Dari media massa mereka mendapat informasi tentang cara bergaul, bersikap, berpakaian samapai cara bicara.

Mereka ini pada dasarnya hanya mencari kesenangan, yang pada hakekatnya bersifat sementara dengan penyesalan panjang. Peradaban yang baik tidak dapat terlahir dari model pergaulan seperti itu, tetapi hanya akan menyeret kepada kehancuran diri, keluarga dan lingkungan.

***
Keterlibatan saya dalam komunitas seperti itu, sungguh sangat mengerikan. Mengerikan karena bisa menyeret kedalam kelompok mereka dan bergelut dengan segala kebiasaannya. Disanalah idealitas dan komitmen mendapat ujian. Kalau sebelumnya hanya mendapat teori dan bergelut dengan orang yang memiliki keyakinan dan pandangan yang sama, tetapi dalam wilayah ini tidaklah demikian, semua itu akan dipertaruhkan dengan memunculkan satu pemenang, apakah tetap pada idealisme dan komitmen sebelumnya atau malah terseret dalam pergaulan dan masuk dalam kelompok baru itu.

Tetapi saya bersyukur masa kerja akademik kami di wilayah semacam itu hanya berlangsung selama dua bulan, selanjutnya kembali lagi dalam komunitas sebelumnya. Tetapi yang terjadi, kemampuan yang saya miliki dahulu dari sisi kemampuan intelektual dan spiritual sangat berkurang, apalagi jika di bandingkan dengan teman-temanku yang lain.

Kalau dahulu saya suka menulis artikel dan cerpen, sekarang membaca saja susah. Belum lagi ritual agama yang jauh dari harapan. Perubahan sikap itu menimbulkan komentar teman-teman terdekatku dikota mengatakan, saya memiliki sifat yang baru dan lain dari sifat sebelum turun dalam melaksanakan kewajiban akademik di daerah tersebut. Apakah pembaca memiliki komentar yang demikian juga???, setelah melihat sikapku. Silahkan Anda menilainya sendiri. Tetapi dengan adanya tulisan ini sebagai awal untuk meraih kecerdasan intelektual dan spiritual yang sempat tercecer.

***
Di Kec. Tinombo
Sabtu, 04 Oktober 2006.

selengkapnya....

Mengurus Skripsi


Oleh : Ruslan H. Husen

"Saya yakin dalam waktu satu minggu ini, proposal skripsiku ini akan selesai." Kataku mantap pada Iwan, teman satu kosku.
"Iya, mudah-mudahan saja. Tetapi sepertinya agak susah, kerana saya sudah membuktikan dan mengalami sendiri. Disana amat susah, berbelit-belit dan di sibukkan dengan prosedur administrasi birokrasi yang lama dan memakan energi banyak." Kata Iwan.
"Semoga denganku, kenyataan di persulit dengan prosedur birokrasi tidak terjadi. Tetapi kalau memang harus begitu akan ku jadikan sebagai sejarah hidup." Kataku yakin.

Saat ini, kami sudah berada di semester akhir perkuliahan dan sudah mulai konsentrasi pada penyusunan proposal skripsi, dengan harapan dapat di wisuda dan memperoleh gelar sarjana akhir bulan di tahun ini.
Dengan persiapan administrasi yang lengkap, berhubungan dengan pengajuan judul proposal ke ketua bagian di fakultas, aku terus menyakinkan diri akan menyelesaikan proposal dalam minggu ini.

Memang aku itu di kenal super sibuk, kurang waktu untuk persoalan akademik. Namun dalam beberapa hari ini, kesibukan organisasi ektra kampus saya tinggalkan dan konsentrasi pada kegiatan dan kewajiban akademik sebagaimana harapan orang tuan untuk cepat selesai dan kerja.

* * *
Waktu mendekati saat sholat zuhur. Tetapi yang di tunggu yaitu ketua bagian fakultas tidak juga kunjung tiba. Untuk mengurangi kekecewaan dalam hati, ku-dekati teman dengan berbincang-bincang persoalan-persoalan yang menyenangkan, yang membuatku melupakan sesaat kekecewaan di hati.

"Sepertinya ketua bagian fakultas tidak naik hari ini." Tebak diriku dalam hati.
Setelah lama menunggu, aku berkeinginan untuk pulang, apalagi kondisi pengajaran itu, tempat para tenaga edukasi berkumpul sudah mulai sunyi, dari tadi beberapa pegawai dan dosen sudah pulang.
Akhirnya ku-putuskan untuk pulang, dengan besok datang lagu untuk keperrluan yang sama.

Keesokan harinya. Kenyataan itu terjadi lagi. Ketua bagian fakultas juga tidak kunjung datang, kali ini bukan hanya saya sendiri yang ingin bertemu dengan ketua bagian fakultas itu, tetapi beberapa orang teman juga mempunyai keperluan yang sama.
Kekecewaan kembali terjadi pada kami dengan tidak bertemu dengan ketua bagian fakultas. Tapi hanya ini yang bisa kami lakukan, tidak bisa mengadu dan memberontak kepada ketua bagian yang lain atau ke dosen-dosen yang lain. Hanya ketua bagian fakuktas itulah yang memiliki wewenang untuk mensahkan judul proposal yang kami usulkan ini.

Akhirnya kami putuskan untuk mendatangi rumah kediaman ketua bagian fakultas itu. Dengan harapan di sana dapat ketemu dan semua urusan ini dapat segara selesai. Namun kenyataan buruk kembali terulang kepada kami. Yang dicari juga tidak kunjung ada. Kata Isterinya, ia lagi berada di luar kota untuk urusan keluarga.

* * *
Kenyataan itu hanya gambaran kecil, dari proses prosedur yang melelahkan dan kurangnya komitmen para pelayan masyarakat (publik service) dalam menjalankan kewajibannya.

Para pelayan masyarakat, telah di gaji untuk bekerja dan melakukan pelayanan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara masyarakat telah di pungut pajak dan retribusi untuk di gunakan membiayai pembangunan.

Begitu pula dengan kesadaran tenaga edukasi di kampus ini, sudah di anggkat menjadi dosen dengan terima gaji perbulan di tuntut untuk mengajar mahasiswa sesuai dengan jadwal. Tetapi kesadaran itu juga tidak kunjung datang. Yang ada hanya menelantarkan mahasiswa, seakan tidak memiliki beban moral untuk melaksanakan kewajiban.
Padahal mahasiswa sudah membayar uang SPP dan biaya-biaya pungutan lainnya, dengan harapan dapat menjadi mahasiswa dan sarjana yang memiliki kualitas intelektual memadai.

Persoalan mahasiswa tidak masuk belajar karena tidak ada dosen, sudah menjadi hal yang lumrah di fakultas ini. Sehingga wajar saja kalau kebutuhan tenaga kerja dari kampus ini minim dengan melihat kualitas sumber daya manusia yang di keluarkan.

* * *
Ketegasan dari pimpinan fakultas mencermati keadaaan ini harus ada. Dengan berani mengeluarkan kebijakan yang menegur dan memecat para bawahannya yang tidak bekerja dan hanya memakan "Gaji Buta". Sebab hal itu sudah menjadi kewajiban sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku (UU kepegawaian).

Memang tidak mudah memberhentikan tenaga edukasi yang telah di angkat atas nama negara. Tetapi proses dan penegakan aturan harus tetap jalan dengan meninggalkan anasir-anasir subyektifitas atas pertimbangan kekeluargaan dan sahabat. Yang selanjutnya di isi oleh tenaga bantuan (honorer) yang memiliki komitmen tinggi mengabdi sesuai dengan kewajibannya.

Sebab untuk apa lagi di pertahankan tenaga edukasi yang tidak pernah naik kampus, apalagi mengajar di kelas. Sehingga perlu di ganti dengan tenaga baru yang lebih aktif dan inofatif. Dari situ nantinya dapat lahir para sarjana-sarjana mudah yang memiliki keprofesionalan di bidangnya. Agar kampus ini dapat keluar dari motos yang melingkupinya (mengeluarkan alumini tidak berkualitas).

Semoga ada kesadaran pada diri tenaga edukasi di fakultas ini untuk menjalankan kewajibannya. Dan mahasiswa harus memiliki semangat baru dalam mencari ilmu di mana-pun berada, baik di dalam kampus maupun kegiatan ekstra kampus. Semoga.

* * *
Suasana di Pengajaran
Fakultas Hukum Untad
Jumat, 16 Juni 2006

selengkapnya....

Menjadi Orang Pintar


Oleh : Ruslan H. Husen

“Sebaiknya antena TV ini distel, agar siarannya dapat lebih banyak lagi seperti dulu lagi, kan sekarang tinggal empat stasiun sedangkan dulu ada dua belas stasiun”. Kata Arman mengeluarkan ide.

“Memang Kakak, bisa menyetel entena itu??”. Kata Lisa adik arman.
“Ya, di coba-kan tidak ada salahnya. Siapa tahu malah beruntung dan bagus seperti dulu lagi, kana malah asyik nontonya”. Arman menumbuhkan harapan.
“Iya kalau beruntung, tapi kalau tidak berutung-kan malah menderita”. Timbal Lisa pesimis.

Arman memang di kenal anak yang pintar, banyak saja akalnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Keberanian dan semangat menjadi senjata utamanya. Termasuk dalam memperbaiki stasiun TV ini yang sudah rusak beberapa bulan ini. Arman juga memberanikan diri berdasarkan perintah dari orang tuanya, yang ingin Arman mengusakan agar TV diperbaiki.

“Man, ambil kunci-kunci dan kunci Tang di kotak, dan bawa kemari”. Kata Ayah Arman, memanggil.
“Iya, Ayah”. Jawab Arman, sambil bergegas mencari dan membawakan kunci kepada Ayahnya yang telah menunggu di dekat antena TV.

Keluarga ini-pun mulai melakukan penyetelan dengan di pimpin oleh Arman. Sesekali juga ayah Arman menjadi pimpinan, karena memang dia yang paling tua dan dalam bayangannya dia yang paling tahu ilmu dasarnya sesuatu.

Proses perbaikan terus berlanjut dengan di bantu Lisa. Lisa berperan sebagai pelihat gambar di TV, sementara Arman dan Ayahnya sebagai penyetel antena TV yang berada di luar rumah. Sesekali muncul gambar yang sebelumnya memang ada.

Prosesnya terus berjalan. Sesekali Lisa berteriak, “Belum ada gambar”. Ketika Arman atau Ayahnya menanyakan, apakah sudah ada gambarnya.

Hari semakin terik, entah sudah berapa lama mereka mengerjakan antena itu, memutar-mutarnya, menundukkan atau mengangkat, tapi tidak juga memperoleh hasil yang di harapkan. Keringat mengucur dari pelipis dan dahi Arman, yang juga membasahi lengan dan bajunya. Hingga Arman dan ayahnya sudah mulai lelah dan bosan, tetapi stasiun yang di inginkan gambarnya tidak juga kunjung datang. Malahan, gambar stasiun yang dulunya ada, kini juga ikut-ikutan hilang. Jadilah TV tanpa gambar, yang ada hanya hitam sinar listrik di dalamnya.

“Ah. Susah juga ya, menyetel TV ini”. Keluh Ayah Arman.
“Di usahakan lagi, biar hanya muncul empat stasiun sebelumnya”. Tambah Arman.
“Iya, dari pada begini, tidak ada yang bisa ditonton. Mendingan tidak distel tadi”. Timpal Lisa.

Akhirnya dengan susah payah mereka menyetel kembali antena TV itu. Stelannya cukup rumit, harus dilakukan dengan hati-hati dan perasaan tenang. Terdengar dering besi bergesek dengan besi dalam proses penyetelan.
Penyetelan terus berlangsung. “Ya sudah. Sudah ada muncul satu stasiun. Tahan”. Teriak Lisa dari dalam rumah.

Penyetelan terus berlangsung, dengan hati-hati, “Kembali, ayo kembali, gambar sebelumnya hilang lagi”. Kembali teriak Lisa.
Memang agak susah menyetel antena TV ini. Hingga Ayah Arman sudah menyerah dan pergi menjauh tidak mau terlibat lagi, sudah muncul rasa putua asa pada dirinya. Tinggal-lah kini Arman berjuang mengembalikan stasiun TV yang hilang. Dalam harapnya, biar hanya empat stasiun TV sebelumnya saja yang berhasil ditemukan sudah cukup senang.

Ini akibat keberaniannya juga meng-iyakan ajakan ayahnya melakukan penyetelan. Seandainya tadi ia tidak mau maka jelas hasilnya tidak seperti ini. Tapi semuanya sudah terlanjur, sekarang yang terpenting adalah mengembalikan stasiun yang telah hilang. Pikir Arman yang tidak menentu dalam memutar dan mengarahkan antena TV itu.
Walhasil mereka tidak juga berhasi menemukan stasiun TV yang di inginkan, kini tinggal satu saja yang berhasil, sisanya hilang. Semua-nya sudah pasrah dan tidak tau harus berbuat apalagi.

“Yah, sudah nanti kita panggil saja orang yang pintar untuk memperbaikinya lagi. Keluar uang sedikit sebagai tanda jasa tidak apa-apa”. Kata Arman menutup.
Sepanjang siang mereka hanya menonton satu stasiun TV saja, sisanya hanya gambar warna hitam tanpa gambar dan suara. Penyesalan dalam hati menyelimuti perasaan, tapi semuanya sudah terjadi, tinggal sekarang menghadapi masalah kedepan. Jadikan ini sebagai pelajaran saja untuk tidak merasa pintar atas suatu masalah. Berikan penyelesaian persoalan pada yang ahli.

& & & &
Manusia selalu berharap apa yang dilakukannya akan memperoleh hasil yang maksimal. Keberanian menjadi senjata dan modal utama guna menyelesaikan permasalahan. Potensi kemanusiaan hendaknya selalu di bina dan di asa dalam menyelesaikan problem kehidupan. Melalui berbagai medium yang menjanjikan ilmu pengetahuan.

Suatu persoalan, memang sepantasnya di berikan kepada orang yang menguasai ilmunya. Kerusakan dan kekacauan bisa terjadi bila persoalan di beri kepada yang bukan ahli. Itulah dinamika kehidupan, yang masing-masing individu selalu membutuhkan manusia lain. Tidak ada insan dapat hidup dengan normal tanpa bantuan manusia lain. Manusia akan terpenuhi kebutuhannya dengan bantuan dari lingkungan dan orang lain.

Olehnya, untuk bertahan dan mempunyai daya jual kedepan, orang-orang harus memiliki potensi yang dapat di manfaatkan. Artinya, ada keahlian yang ia miliki sementara hal itu langkah dan orang lain membutuhkannya. Insan seperti inilah yang dapat bertahan. Kenapa sebagian saja orang yang bekerja di parleman atau birokrasi pemeritah, karena memang dia memiliki kemampuan dan potensi bekerja di sana. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan akan tersisih dan harus menerima strata sosial yang di bawahnya.

Gambaran ini bukan bermaksud menimbulkan tingkatan stara sosial yang dapat mengarah pada kesenjangan sosial, tetapi minimal ini bisa menjadi tolak ukur dalam menumbuhkan potensi intelektual, emosional dan spiritual sebagai potensi yang dibutuhkan untuk manusia yang bertahan di masa depan. Ini akan menjadi spirit dalam mengasah potensi itu.

Pendayagunaan dan peningkatan profesionalisme lembaga pendidikan agar memiliki visi dan strategi pendidikan yang memanusiakan, yang jauh dari kesan premanisme dan mengekang kebebasan dan daya imajinasi potensi peserta didik. Serta reorientasi pemikiran dengan menempatkan lembaga pendidikan formal satu-satunya yang dapat menumbukan potensi itu, karena masih banyak lembaga non formal lainnya yang bisa di gunakan sebagai medium itu.

Proses pengekangan potensi kemanusiaan dalam menjawab dan memenuhi tantangan zaman, akan menjadikan manusia itu ketinggalan dan tergilas oleh zaman. Ideologi sebagai satu-satunya pengarah daya pikir dan hukum dasar manusia bersikap, hendaknya di maknai sebagai pendobrak kebekuan masyarakat yang stagnan dan jumud. Jadi ideologi di pahami secara total dan menjadikan sebagai rel perjalan hidup di setiap saat.

Pengarahan bahwa realitas keduniaan dapat menghilangkan tujuan dan makna hidup yang sebenarnya akibat pengaruh dari luar dirinya, merupakan bentuk kemunafikan. Lihatlah, katanya ia tidak membutuhkan dunia dengan segala aspeknya, sementara dia masih membutuhkan perumahan dan pakaian bahkan alat komunikasi dalam menghubungi rekan-rekannya. Sementara sarana itu bukan di peroleh dari dalam dirinya, melainkan pengaruh dari luar dan ia menggunakannya.

Memang manusia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan zaman, tetapi hendaknya perkembangan itu tetap di kontrol dan diarahkan kepada peradaban yang memanusiakan. Tidak ada sikap pasif pada diri, dan selalu terlibat aktif dan berperan sebagai pemain. Apabila tidak melakukan perlawanan dan menjauhkan diri seakan tidak mengakui realitas itu, maka kita sama halnya dengan keadaan yang jelek dalam hayalan dan angan-angan itu.

Pengerahan potensi dan sumber daya guna menjawab tuntunan zaman memang di butuhkan, selain itu juga penyadaran secara internal dalam diri dan kehidupan menjadi sesuatu yang tetap urgen. Penyiapan diri sejak dini dengan mempelajari tanda-tanda di alam dengan melakukan pengkajian dan pendalaman keilmuan adalah yang terbaik. Dengan tidak bangkit menjadi ummat yang merasa pintar dan serba tahu, tetapi sebenarnya tidak tahu sama sekali, hanya propaganda di tumbuhkan dalam menutupi kekurangan dan terbatasan diri. Maka bersiaplah menyambut zaman dengan berbekal potensi kemanusiaan yakni kekuatan intelektual, emosional dan spiritual agar tidak dipedaya dengan tipuan hidup.

*******

Di pertengahan siang
Tomoli (Ampibabo)
Pertengahan 18 Mei 2006.

selengkapnya....

Nonton Bola


Oleh : Ruslan H. Husen

Malam mulai larut, udaranya dingin menusuk tulang. Sesekali angin bertiup menambah dingin suasana. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumahnya, bergelut dengan sarung dan selimut ditubuh. Di tambah dengan minuman hangat, guna mengusir hawa dingin yang mulai menyerang.

Dinginnya malam tidak mematikan niat Riko, seorang remaja bersama teman-temannya mendatangi rumah Sukri, yang juga masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Kedatangan itu untuk menyaksikan pertandingan sepak bola piala dunia yang akan di siarkan langsung nanti di stasiun TV swasta di negeri ini.

Riko dan teman-temannya itu, bukannya tidak memiliki TV di rumahnya, tetapi untuk siaran sepak bola ini tidak bisa ditangkap, karena di acak alias tidak memiliki siaran penerimaan, namun untuk siaran lain kecuali bola penerimaannya sangat baik.

“Apa boleh buat, semuanya harus di jalani demi sebuh hobi.” Desah Riko dalam hati.
Siaran pertandingan sepak bola itu baru di mulai jam 9 malam, dan itu di teruskan dengan 2 pertandingan selanjutnya. Sehingga diikuti terus akan sampai jam 4 subuh hari.

Bagi Riko dan teman-temannya, begitu juga dengan Sukri, tidak ada masalah dalam begadang asal dapat menyaksiakan laga tim kesayangannya bertanding.
Demikianlah para penonton sepak bola itu, bukan Sukri dan teman-temannya saja. Tetapi kejadiaan semacam ini juga merambah hampir keseluruh orang di daerah ini. Dan juga menjamur ke seluruh negara. Menjadikan mereka demam bola (Maniak Bola).

* * *
Media massa itu terdiri dari media elektronik dan media cetak. Media massa ini utamanya TV, telah menjadi investasi menjanjikan dalam mempengaruhi opini publik untuk mempublikasikan suatu produk atau barang.

Pengaruh media massa kini merambah kesetiap penjuru daerah. Media massa kini bukan hanya di nikmati oleh orang kota saja tetapi juga di nikmati oleh orang di pedesaan. Bahkan pengaruh media massa itu juga merambah konsumennya tanpa mengenal batas usia. Kini yang menyimak acara-acara media massa utamanaya TV bukan hanya orang tua saja, tetapi juga anak-anak juga menjadi penonton utamanya.

Apa yang di tampilkan dalam berbagai media massa sesungguhnya tidak lepas dari kepentingan para pemilik modal dalam mempublikasikan suatu hasil produk. Media massa di jadikan sarana mempengaruhi publik dalam mensosialisasikan nilai barang.

Para penyimak sajian-sajian media massa bukan lagi berposisi sebagai penonton tetapi dituntut untuk menjadi pelaku. Media massa itu boleh dikata menghipnotis penyimaknya untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginnanya. Misalanya, mengirim sms untuk mendukung salah satu bintang yang ditampilkan dengan iming-iming hadiah.

Acara-acara yang di tampilkan-pun banyak tidak bernilai pendidikan, hampir semuanya bernilai bisnis demi keuntungan pada pemilik modal (kapitalis). Lihat saja acara-acara seperti KDI, AFI, Indonesia Idol, Audisi Pelawak dan acara-acara sejenis lainnya, semuanya menyuruh penonton untuk menyerahkan pulsa yang di milikinya untuk mendukung bintang yang di tampilkan.

Memang kelihatan seperti hiburan, tetapi hakikatnya adalah bisnis. Dari satu kali tayang acara favorit keutungan yang di peroleh media massa itu sangat berlimpah. Sehingga keberadaan acara-acara sejenis dari hari kehari tidak mengalami pengunduran, malahan akan terus di pelihara.

Selain itu, media massa sekarang ini telah di posisikan sebagai kiblat. Peran media massa yang demikian gencarnya telah mempengaruhi pola hidup sebagian besar masyarakat. Masyarakat secara umum telah menjadikan media massa utamanya TV sebagai kiblat atau orientasi cara berfikir yang nantinya akan mempengaruhi cara pandang dan tingkah lakunya sehari-hari.

Lihat saja, tayangan-tayangan model rambut, model baju yang di tampilkan dalam media itu, ternyata hari ini di saksikan juga dalam lingkungan kita. Kalau kenyataan itu dahulu asing dan tabu, sekarang menjadi hal yang lazim dan lumrah dilakukan. Berbagai macam gaya hidup yang di tampilkan dalam media massa, kini telah ditiru secara mentah oleh orang-orang di sekitar kita.

* * *
Kedepan penguasaan terhadap media massa memang mutlak untuk dilakukan, dalam rangka perbaikan tatanan kehidupan guna melahirkan peradaban yang berprikemanusiaan. Karena media itulah yang paling mudah berhubungan dengan seluruh masyarakat.

Media massa itu, paling tidak harus di kontrol agar tidak melakukan pelanggaran dan menyesatkan masyarakat pada suatu realitas yang merusak. Media harus memposisikan diri sebagai pembaharu masyarakat dalam meningkatkan mutu peradaban.
Kerusakan masyarakat hari ini, tidak-lah bisa di lupakan begitu saja tanpa peran media di dalamnya. Dalam artian media massa berpotensi memperbaiki masyarakat dan berpotensi merusak masyarakat.

Sikap yang dapat dilakukan adalah melarang untuk jangka pendek agar pengaruh negatif dari tayangan media massa yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dapat di minimalisir. Dan pada saat yang sama, untuk jangka panjang harus bersikap produktif melakukan pewarnaan dan penguasaan terhadap media massa itu.

Usaha ini tidak-lah mudah, perlu dukungan semua pihak dengan tetap kontinyu melakukan sosialisasi tentang pentingnya media massa dalam perbaikan peradaban manusia.

* * *
Di Tengah Malam,
Antara Keinginan Menonton Bola
Rabu, 14 Juli 2006

selengkapnya....

Kendaraan Politik


Oleh : Ruslan H. Husen

Hari mulai siang meninggalkan pagi. Udara sudah tidak lagi dingin seperti tadi subuh. Cahaya matahari terus menerangi bumi, tanpa terhalang oleh awan-awan kelabu. Sesekali angin bertiup menerbangkan debu-debu, yang banyak timbul jika musim kemarau seperti ini.

Dalam ruangan sebuah hotel di kota ini. Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan, sementara panitia dengan pakaian biru seragam sejak tadi, terus bersibuk-sibuk menyiapkan acara pembukaan konferensi partai. Nampak pengurus partai dengan pakaian biru, bercengkrama dengan beberapa undangan. Sesekali tersungging senyum di ikuti tawa menghiasi wajah mereka.

"Assalamu 'alaikum War. Wab. Saudara-saudara sekalian ......". Suara protokoler membuka acara pembukaan konferensi partai itu. Dia nampak begitu rapi di iringi dengan suara lantang yang khas. Suara salam menggema menjawab sapaan salam sang protokoler. Protokoler mulai membacakan susunan acara yang akan di lalui pada kesempatan ini. Yang menarik di sana sambutan-sambutan yang nanti akan di bawakan oleh pengurus partai lama dan sambutan dari gubernur sekaligus membuka acara.

Lantunan acara terus berjalan dengan lancar. Para undangan terus menyimak acara dengan hikmah. Memang acara ini, merupakan acara besar yang di lakukan oleh partai besar dengan pendukung yang telah mendapat simpati dari masyarakat luas. Simpati itu lahir selain, kemampuan pengurus dan simpatisan partai yang memikat hati masyarakat, juga isu-isu yang dikemas dan memikat publik.

Kini giliran pengurus partai lama yang memberikan sambutan dalam konferensi ini, di wakili oleh ketua umumnya. Badannya besar dan tegap, di hiasi kumis tipis tajam. Langkahnya begutu pasti mendekati podium, meraih mic dan memandang ke undangan. Terasa juga dalam hatinya demam panggung, yang selalu hadir pada siapa-pun. Namun ia sudah pengalaman, maka demam panggung itu tidak berlangsung lama dan penguasaan forum telah di lakukan.

"...... saya berharap partai ini jangan di jadikan sebagai kendaraan politik. Untuk mencapai jabatan eksekutif atau legislatif. Yang lebih di utamakan adalah kepentingan rakyat. Kemiskinan yang meraja-lela, pengangguran yang terus bertambah. Sehingga potensi partai digunakan untuk mengatasi penyakit sosial itu". Kata ketua umum lama.

* * * * *
Dari namanya saja, "partai politik", sudah menggambarkan sebagai medium politik. Dari sanalah sarana untuk mencari perhatian dan simpati publik, guna meloncat pada jabatan legislatif atau eksekutif. Partai politik ini bermakna kendaraan politik, dalam mencapai jabatan politik. Jika partai tidak ingin atau keluar dari perpolitikan maka ia tidak ubahnya dengan yayasan.

Yayasan hanya berorientasi pada pencapaian cita-cita internal dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang di miliki. Yayasan tidak melakukan propaganda dan mempengaruhi opini publik dalam mencari simpatinya. Di utamakan peningkatan potensi anggota dalam mencapai keuntungan.

Mengatakan partai politik bukan sebagai batu loncatan untuk mencapai jabatan eksekutif dan legislatif, merupakan kata yang tidak mengerti substansi politik. Di

selengkapnya....

Pembebasan Ust. Abu Bakar Ba’asyir


Oleh : Ruslan H. Husen

Selesai makan malam, kami biasanya menonton TV secara bersama. Namun, saat ini hanya ada Ibu yang menemaniku menonton. Sementara Ayah istirahat di depan rumah, dan adik-ku sedang asyik main game di komputer.

“Kelihatan keluargaku ini agak resah, mungkin dengan kepergian-ku nanti esok ke kota.” Demikian pikirku.

Memang esok siang, saya berniat pergi ke kota untuk meneruskan studi. Waktu libur ini di gunakan untuk berkunjung ke kampung halaman, sambil melepas rindu ke keluarga.
“Apakah betul, kepergianku esok yang membuat mereka itu gelisah?.” Tanyaku dalam hati.

Hal ini memang jarang terjadi, sebab biasanya habis makan malam kami semua menyempatkan diri menonton secara bersama. Tetapi saat ini, semuanya sibuk dengan keinginannya masing-masing, bergelut dengan kesibukannya. Padahal acara TV cukup bagus saat itu.

Belum lagi keadaan Ibu ketika ku-sadari, serasa mengalami kegelisahaan. Sesekali terdengar mendenguskan napas panjang, sambil menggeliatkan tubuhnya.
“Pasti Ibu ada yang di pikirkan.” Tebak-ku dalam hati, karena melihat kegelisahaan itu.

Tetapi ketika ku-tanya, tentang kenapa Ibu gelisah, jawabnya hanya diam, seolah bergelut dengan sejuta perasaan. Sesekali ia memandangiku yang sedang duduk di sampingnya.

“Ibu, apa yang dipikirkan?. Apakah dengan menonton berita ini lantas berfikir lagi tentang keselamtan diri-ku?.” Tanyaku berusaha menebak.
“Iya!.” Jawab Ibu singkat.
“Tidak, Ibu saya tidak akan berbuat yang membahayakan diriku. Percayalah.” Kataku meyakinkan.
Yang ku nonton bersama Ibu saat itu adalah berita dari salah satu stasiun TV Nasional tentang pembebasan Ust. Abu Bakar Ba’asyir.

* * *
Sebelum pembebasan Ust Abu Bakar Ba’asyir, telah datang ratusan santrinya yang menginap di depan pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, dengan tujuan untuk menjemputnya. Mereka semua kelihatan siap-siaga dengan segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi.

Dalam perjalanan untuk menjemput itu, terjadi kecelakaan lalu lintas dengan menewaskan 3 orang santri penjemput dan melukai 5 lainnya. Tapi perjalanan terus berlanjut, sementara korban di pulangkan ke sekretariat Majelis Mujahidin Indonesia dan yang luka-luka di rawat di rumah sakit.

Ketika Sang Ust Keluar, pekikan “Allahu Akbar” terus menggema. Gema itu terus terdengar hingga mewarnakan suasan menjadi ladang jihad, seperti dalam arena perang, demi menyelamatkan seorang pimpinan yang di nanti.

Pengamanan demikian ketat terus dilakukan oleh santri, takut akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan akan terjadi pada diri Sang Ust. Kelihatan para santri Ust Abu Bakar ini memang terlatih dengan medan-medan pengamanan seperti saat itu.

Dalam perjalanan pulang, pengamanan terus saja di perketat. Keadaan ini, mungkin juga meringankan tugas Polisi. Kerja Polisi kini hanya di perempatan jalan yang akan di lalui oleh rombongan ini. Dengan cara menghentikan kendaraan lain dan memberikan kesempatan rombongan Ust Abu Bakar lewat.

Jarak jalan, antara Lembaga Pemasyarakatan Cipinang tempat Ust. Abu di tahan dengan Pondok Pesantren Ngruki Sukoharjo Solo sebagai tempat kediaman dan mengabdi Ust Abu Bakar memang agak jauh. Harus menempuh lebih dari setengah hari perjalan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Sementara itu Ust Abu Bakar ketika di tanya di sela-sela istirahat perjalanan pulang itu tentang apa yang akan di lakukannya setelah kembali nanti, dengan tegas ia mengatakan akan kembali berdakwah dan mengajar mengaji seperti kegiatannya dahulu.

* * *
Ust. Abu Bakar Ba’asyir di tahan di LP Cipinang selama 2 tahun 6 bulan dengan memperoleh remisi 4 ½ bulan, karena di vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terlibat serangkaian kegiatan terorisme yang terjadi di Kuta Bali yang menewaskan ratusan warga asing utamanya dari Australia dan Amerika Serikat.

Keterlibatan itu sebagai persetujuannya setelah Imam Samudera meminta restunya untuk melakukan tindakan pengeboman di Bali. Dengan persetujuan itulah yang menjadi dasar Ust Abu Bakar dikatakan terlibat, dengan mengetahui perbuatan jahat, tanpa maksud untuk mencegah.

Namun semua dakwaan itu di bantah habis-habisan oleh Ust Abu Bakar dengan mengatakan bahwa, ia telah di fitnah dan yang memiliki kepentingan di sini adalah musuh-musuh Islam yaitu Amerika Serikat dan Australia. Pihak-pihak itulah yang menginginkan dirinya di tahan demi kepentingan aset-aset dan niat busuknya di negara ini.

* * *
Lepas dari polemik itu, bahwa setiap orang yang bersalah di negeri ini harus di hukum setelah ada putusan tetap dari pengadilan yang berwenang memutusnya, seseorang tidak dapat di katakan bersalah jika belum ada putusan pengadilan yang sah (asas praduga tak bersalah). Serta tidak ada orang yang dapat di hukum ketika perbuatannya itu tidak di atur dalam hukum positif (asas legalitas).

Asas-asas hukum itu terus berlaku di negara ini. Asas itulah yang menjadi dasar bergeraknya hukum dan berjalannya proses pengadilan. Menuntut setiap pihak yang tidak puas atas suatu kenyataan hukum dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Intervensi pihak-pihak asing dalam proses peradilan memang tidak di benarkan. Apalagi demi tujuan tertentu dalam menyelamatkan kepentingannya. Setidaknya setiap proses peradilan di sesuaikan dengan hukum positif yang berlaku, dengan meninggalkan anasir subyektifitas. Sebab yang di cari dalam hal itu adalah kebenaran materil yang obyektif sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Hubungan hukum dan politik di negeri ini memang begitu kental. Sebab hukum belum menjadi panglima atas suatu peristiwa hukum. Kenyataannya kekuatan politik lebih mendominasi segala bidang. Contohnya keputusan hukum masih bisa di intervensi oleh kekuatan-kekuatan politik.

Kalau kenyataannya demikian, maka hilanglah wibawa hukum. Tidak akan di peroleh keadilan, yang ada hanya ketelenjangan hukum yang di bungkus dengan sandiwara yang memperdayakan dan menipu. Proses pengadilan itu hanya menjadi sandiwara yang telah di setting dan di ketahui alur cerita serta putusan akhirnya.

Dalam memperoleh keadilan yang sebenarnya, institusi penegak hukum dan perangkat pendukung hukum lainnya sebagai salah satu instrumen sistem hukum, harus bersifat independen. Dengan berani menegakkan hukum, dengan berbagai resiko yang dapat di tanggung.

Komitmen itu juga harus di ikuti dengan peraturan perundang-undangan yang mendukung tindakan para penegak hukum, agar tidak terjadi kekosongan hukum atas suatu peristiwa. Undang-undang yang di buat itu, hendaknya tetap mencerminkan nilai-nilai luhur budaya masyarakat pada akar rumput. Artinya tidak ada pertentangan antara undang-undang yang di buat dengan tata nilai kehidupan masyarakat.

Olehnya kesadaran hukum masyarakat yang lebih utama, untuk menentukan efektiif dan tidak berlakunya suatu perundang-undangan. Dengan kesadaran masyarakat atas suasana tertib dan aman, maka hukum telah memenuhi tingkatan ideal dalam mengatur dan mengontrol masyarakat. Tetapi, sebaliknya jika hukum tidak di taati masyarakat, maka akan terjadi kekacauan dan kerusakan dengan pelanggaran hak-hak yang seenaknya saja.
Dengan semakin meningkatnya perkembangan zaman, menjadikan kejahatan juga di lakukan dengan menggunakan berbagai alat tekhnologi. olehnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dalam upaya penegakan hukum harus tetap tersedia, dalam mengimbangi penyebarluasan kejahatan sekaligus upaya pencegahannya.

Dari faktor pendukung upaya penegakan hukum itu, harus di lakukan secara seimbang dan bersama, sebab kesemuanya merupakan sistem hukum yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Yang apabila salah satu instrumen tidak terpenuhi maka tujuan hukum untuk keadilan dan ketertiban tidak akan terpenuhi secara maksimal.

* * *
Dalam Semangat
Di Tomoli (Ampibabo)
Rabu, 14 Juli 2006

selengkapnya....

Tidak Percaya


Oleh : Ruslan H. Husen

“Aku benar-benar jengkel dengan sikap orang tua yang selalu mengatur, tidak memberikan kepercayaan dan selalu meragukan kami”. Kata Irma kepada Aisyah, teman satu kampusnya.
“Ya, mungkin saja sikap itu ada hikmahnya!!”. Tangkis Aisyah.

Dua sahabat ini memang akrab. Mereka sering curhat dan menceritakan segala persoalan yang dihadapinya mulai dari masalah pribadi sampai masalah bersama.

“Apa ada hikmahnya, segala sesuatu mau di atur?, tidak boleh itu, tidak boleh ini, padahal saya bisa menentukan pilihan saya sendiri”. Kembali Irma kesal. “Saya tidak betah kalau begini terus, terasa seperti dalam penjara”. Sambung Irma.

Itulah di antara sikap orang tua selalu mengatur dan tidak mempercayai sepenuhnya apa yang dilakukan oleh anaknya. Selalu memikirkan keselamatan dan meragukan kemampuannya, walaupun nyatanya anak yang bersangkutan bisa melakukannya sendiri.

Sikap ketidak-percayaan itu nantinya menimbulkan sikap kurang percaya diri pada anak. Segala sesuatunya bisa bergantung pada orang tua. Lantas di mana letak kemandirian yang bisa mengembangkan potensi diri anak. Bagaimana ia bisa belajar dan merasa percaya terhadap yang ia lakukan.

Hal itu bukan hanya terjadi pada lingkungan itu, tetapi juga terjadi di lingkungan organisasi. Orang yang merasa senior selalu meragukan kepercayaan yuniornya, selalu merasa paling pintar dan pantas memberikan nasihat. Tidak ada kemandirian pengurus dalam menjalankan organisasi, semuanya ingin di campuri oleh senior. Entah itu ada kepentingan, yang jelas keterlibatan itu hanya pada konsep saja.

Dalam keberhasilan, nama-nama senior itu juga mencuat keatas, seolah-olah mereka sendiri yang berusaha, lantas para yunior yang menjadi tulang punggung kerja praktis tidak terekspos dengan seadanya, padahal tanpa yunior itu tidak akan di peroleh kesuksesan kerja.

Sebaliknya jika terjadi kerusakan atau terjadi masalah yang menimpa organisasi dari pihak tertentu, para senior itu entah lari kemana. Tidak jelas ide mereka yang dulu sering dikemukakan pada saat normal. Mereka telah pergi meninggalkan organisasi dengan mencari selamat diri sendiri dan kepentingannya. Atau mengatakan, ini terjadi akibat kesalahan para diri yunior, yang tidak memiliki hubungan dengan senior.

Sungguh sangat menyebalkan memikirkan itu semua, saat senang banyak yang mengaku ide adalah prestasinya, tapi saat susah semuanya pergi dan tidak mau membantu. Demikian pikir Irma.

% % % %
Kepercayaan kepada peserta didik, akan menimbulkan sikap optimis dan semangat dalam berusaha bagi peseta didik. Kesuksesan yang di raih akan menjadi barometer dalam melakukan prestasi selanjutnya. Tidak ada yang meragukan manusia mandiri dalam berfikir dan bertindak adalah ideal.

Tekanan dan ketidak percayaan akan melahirkan sikap pesimis pada yang bersangkutan. Semua perbuatan dilakukan dengan kaku dan selalu ragu akan hasil yang diperoleh. Selain itu jarang timbul kebanggaan pada hasil yang diperoleh, karena nantinya ada yang mengklaim sebagai keberhasilannya juga.

Dinamika hidup dahulu berbeda dengan sekarang. Sikap kepercayaan yang bertanggung jawab di berikan kepada anak atau orang tertentu agar ada kemandirian dan keleluasaan dalam bertindak. Pengekangan dan ketidak percayaan akan menimbulkan sikap ragu dan menghambat pemaksimalan potensi kemanusiaan.

Hendaknya anak atau peserta didik diberi keleluasaan dalam bertindak asal ada tanggungjawab. Biarkan ia berekspresi dan bergelut di alam. Nantinya akan banyak pengetahuan yang di ketemukan dalam kehidupannya itu. Pengetahuan ia dapat sendiri dari pengembangan diri.

Kemelut pendidikan hari ini, menganggap guru atau dosen adalah segala-galanya sumber ilmu. Sementara peserta didik hanya di posisikan kedalam orang yang mesti mengikuti kemauan guru, tentang apa yang ia katakan dan tugaskan. Pengkritisan dalam proses belajar itu, akan di anggap peserta didik yang tidak sopan dan sombong, dan tentu akan memperoleh cap tidak baik oleh guru. Peserta didik hanya di posisikan seperti botol kosong yang selalu harus di isi dan terus di isi. Peroblematika ini perlu dicermati. Kalau hanya berpatokan utama pada guru, maka otomotis kemampuan peserta didik tidak akan menyamai atau melebihi gurunya. Seperti kertas foto kopi tidak akan lebih baik kualitasnya dari yang asli.

Seharusnya peserta didik dan pendidik saling bekerja sama dalam pendalaman ilmu masing-masing. Pendidik hanya berposisi sebagai mitra dan pengarah bagi peserta didik. Kesulitan atau masalah dalam proses itu di selesaikan secara bersama. Jadi masing-masing berusaha dalam memecahkannya.

*******
Pagi Hari
Di Tomoli (Ampibabo)
Jumat, 19 Mei 2006.

selengkapnya....

Gemerlap Dunia


Oleh : Ruslan H. Husen

Susi, demikian biasnya orang memanggilnya. Dia adalah gadis cantik yang ada di desa. Pendidikan Susi adalah tamat SMA. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi seperti teman-temannya yang lain, harus dipendam dalam hati karena faktor ekonomi yang tidak mencukupi.

Susi menjadi kakak dari dua orang bersaudara, adiknya bernama Wati, sekarang masing duduk di kelas dua SMP. Sementara ayah mereka sudah dua tahun meninggal dunia, sementara Ibunya sehari-hari hanya menjaga barang dagangan di kios depan rumah mereka.

Keluarga ini hidup di suatu desa kecil, yang mayoritas penduduknya berpenghasilan sebagai petani dan peternak. Profesi itu sudah mendarah daging dari nenek moyang mereka. keadaan kehidupan penduduk di desa ini sudah mulai baik, dengan banyaknya bantuan pemerintah untuk pembangunan fisik desa, mulai dari sarana umum seperti puskesmas pembantu, sekolah-sekolah, tempat ibadah dan jalan umum.

***
Seperti biasa Susi menemani Ibunya untuk menjaga barang dagangan yang ada di toko kecil mereka. Pembeli di toko itu tidaklah terlalu ramai, hanya datang satu per-satu orang berbelanja yang membutuhkan barang kebutuhan pokok sehari-hari yang bermodal kecil.

Hari itu tampak mendung, bertanda akan turun hujan, sebab di daerah ini memang lagi musim penghujan. Angin mulai bertiup kencang dengan rasa dingin menerbangkan daun-daun kering yang ada di depan rumah Susi. Dari kejauhan nampak seorang wanita berjalan buru-buru mendekati toko Susi.

”Ada jual minyak angin?.” tanya wanita itu.
”Ada, yang kecil atau yang besar?.” tanya balik Susi.
”Yang kecil aja!.”
Transaksi jual-beli antara mereka berjalan lancar. Nampak wanita itu memperhatikan Susi dengan sangat teliti, kemudian dia berseru, ”Maaf ini Susi ya??, lulusan SMA Kartika??.”
”Hai, ini Dewi Kumala ya!!.” Sambil muka Susi tersenyum menebak.

Wanita itu tersenyum menganggukkan kepala. Suasana antara mereka-pun mencair, dihiasi tanya keadaan sekarang dan keinginan hidup kedepan. Tidak lupa terlukis kisah-kisah bersama saat masa SMA dahulu. Sesekali canda tawa menghiasi pembicaraan mereka, membayangkan persitiwa remaja dahulu.

Sekarang keadaannya telah berubah. Dewi telah menjadi wanita karier yang sukses di kota. Itu terlahir berkat keberanian mencari kerja, dan sekarang ia telah berhasil memiliki mobil mewah dan sebuah rumah tinggal yang ada dikota.

Dewi menceritakan, mencari kerja di kota itu susah tetapi jika ada semangat yang tinggi suatu saat akan mendapatkan kerja yang sesuai. Sehingga dari hasil kerja itu dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari.
”Ngomong-ngomong, ini sempat mampir kemari ini dalam rangka apa?, sebab bukankah tempat tinggalmu lalu-kan berada di desa sebelah!!.” Tanya Susi kemudian.

”Betul, saya kemari karena menghadiri undangan acara pernikahan adikku dengan orang yang ada dikampung ini.” Jawab Dewi.
Bila ukuran kesuksesan adalah jumlah materi yang dimiliki serta kemampuan untuk menikmatinya, maka antara Dewi dan Susi yang merupakan teman lama. Adalah Dewi yang memperoleh kesuksesan hidup itu. Dengan itu Dewi menjadi orang yang cantik dengan gaya hidup serba baru dan gaul, yang mungkin semua mata akan memperhatikan dan berdecap kagum atas kesuksesan yang didapatkan.

Tersirat dalam hati Susi untuk bisa sukses seperti kehidupan Dewi ini. Yang dengan kecukupan materi yang di miliki itu dapat membahagiakan orang tua, menyekolahkan adik serta membantu keluarga dan tetangga yang mengalami kesusahan ekonomi.

”Kalau kamu mau Susi. Kamu bisa ikut ke kota besok pagi, nanti disana kamu kerja sama-sama ditempatku bekerja. Pasti kamu diterima. Dan saya sukses hidup seperti ini berkat kerja ditempat itu.” Jelas Dewi.
”Memangnya kerja apa-sih disana?.” Tanya Susi penasaran.
”Ah, nanti disana aja kamu tahu. Pokoknya kerjanya ini menyengkan”.
Hari mulai terang kembali, setelah hujan sudah tidak turun lagi. Kini tinggal selokan dipinggir-pinggir jalan yang penuh sesak oleh air hujan itu.
”Baiklah, nanti saya bicarakan dulu dengan Ibuku, semoga dia mengizinkan.” Kata Susi mengantar Dewi didepan pintu rumahnya.

***
Bagi Susi, merantau ke daerah-daerah bukan hal baru baginya, sebab dari kecil ia sudah terbiasa ikut bersama orang tuanya yang selalu berpindah-pindah dalam mencari penghidupan yang lebih baik. Tetapi di dalam kehidupan kota besar seperti kota Balikpapan seperti ini, adalah hal baru dalam hidupnya.

Susi merasakan atmosfir pergaulan dan gaya hidup yang berbeda dengan kehidupan di kampung. Di kota ini, kebutuhan akan barang begitu tinggi, persaingan orang untuk mendapatkan materi begitu kental, sehingga nuansa persaudaraan dan gotong royong akan susah ditemukan dalam kehidupan masyarakat secara umum. Kalau-pun ada hanya sebagian anggota kelompok masyarakat saja, yang memiliki berdasarkan kesamaan dan ikatan suku dan kekeluargaan.

”Sekarang kamu istirahat dulu, biar segar. Nanti malam baru kita keluar sama-sama.” Pinta Dewi kepada Susi setelah tadi pagi mereka sampai di kota Balikpapan ini.
Malam mulai menjamu kota Balikpapan, gemerlap lampu jalan menambah elok nuansa kota ini. Masing-masing penduduk disibukkan oleh aktifitasnya, tanpa terlihat ada yang menganggur. Semua memburu materi demi kebutuhan hidupnya.

Malam itu Susi memakai rok sebatas lutut dengan warna hitam, ditambah dengan baju ketat warna coklat bergambar. Di kakinya yang mulus mengenakan sepatu sendal dengan tumit/hak tinggi sekitar 3 cm. Rambutnya dibiarkan lurus terurai. Susi malam ini begitu cantik, pakaian yang dikenakan begitu serasi membuat siapa saja yang memandang akan berdecap kagum akan kecantikan dan keelokan anak manusia ini. Semua itu hasil pilihan dan pemberian Dewi kepada Susi.

Bersama Dewi mereka menuju suatu tempat khusus yang lokasinya berdekatan dengan pantai. Tempat itu adalah sebuah kafe dengan pengunjung yang semakin ramai. Didalam ruangan itu telah banyak kenalan Dewi yang menunggu, semuanya nampak dengan suasa ceria tanpa ada beban kehidupan. Mereka semua sedang asyik menikmati hiburan malam di dalam cafe itu.

Ternyata, cafe itu adalah miliki Dewi yang telah mempekerjakan beberapa orang untuk mengelolanya. Ditempat itu nampak Dewi berbincang-bincang dengan laki-laki yang tubuhnya agak gemuk.

”Mana janjimu, Dewi?.” Tanya lelaki itu setelah beberapa saat mereka berbincang-bincang.
”Tenang Om, yang ini pasti Om akan puas. Ini barang baru Om, baru datang dari kampung.” Sambil Dewi tersenyum genit.
”Yang mana orangnya?, yang pakai baju ketat warna coklat itu.” Sambil menoleh kearah Susi.

Susi begitu canggung berada dalam tempat gemerlap seperti ini. Kalau di kampung dia hanya banyak saksikan di layar televisi, tetapi sekarang dia sudah berada di dalamnya, merasakannya langsung.

”Asyik juga kehidupan disini, nuansa hiburan begitu banyak.” Pikir Susi dalam hati. Tetapi lamunannya mendadak buyar karena Dewi bersama seorang lelaki agak gemuk telah berada di sampingnya.
Dewi memegang bahu Susi sambil berkata, ”Susi tolong kamu temani dulu Om Feri yah, saya mau mengurus yang lain dulu.”
”Hai Susi, saya Om Feri.” Sambil lelaki itu mengulurkan tangan berjabat tangan dengan Susi.

Senyum Susi pada orang yang mengaku Feri itu.
Dewi telah lama beranjak dari tempat itu, tinggal Susi dengan Feri yang berbincang-bincang sambil menikmati musik dan lampu warna-warni yang terus mengalun dan bersinar.

”Susi, ayo kita kesana.” Kata Feri sambil menunjuk suatu tempat, ”Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.”
”Kemana Om?.” Tanya Susi tidak tahu.
”Mari saja, nanti kamu tahu juga. Tentang Dewi nanti kita ketemu lagi dengan dia.” Kata Feri sambil memegang tangan Susi menuntunnya menuju pintu kamar yang ada di sudut ruangan.

Susi tidak menolak. Dia biarkan saja Feri memegang tanggannya dan menuntun memasuki kamar, kemudian mengunci kamar itu. Kini tinggal mereka berdua dalam kamar itu. Kamar itu cukup unik dan bersih dari sudut ruangan berdiri lampu tidur dengan cahaya redup, bersinar kearah spring bed dengan warna ungu berbunga-bunga.

Awalnya Susi menolak ketika Feri mulai menjamah tubuhnya, tetapi ketika dijelaskan, bahwa dia diberi tugas oleh Dewi untuk melayaninya malam ini dan nanti akan di berikan imbalan atas kesediaan dan pengorbanannya itu, kemudian Susi membiarkan saja semuanya terjadi. Walau dalam hati kecil menjerit ingin bebas dari perlakuan Feri ini.

* * *
Susi menangis terisak-isak diruang tamu rumah Dewi. Menangisi kejadian yang telah menimpanya semalam. Ia merasa telah ditipu oleh Dewi. Tidak ada lagi rasanya harga dirinya, terasa begitu mudahnya ia tertipu oleh bujuk rayu Dewi yang menjerumuskannya kedalam dunia malam dengan profesi sebagai pelacur.

”Susi, kau tidak perlu menangis, ini bagianmu atas kerja suksesmu semalam.” Sambil Dewi menyodorkan amplop putih yang berisi uang ratusan rupiah.

Susi agak menolak menerima amplop itu, ia masih trauma atas kejadian yang menimpanya semalam. Namun, Dewi yang mendesak untuk menerimanya, akhirnya Susi membuka isi dari amplop itu, dan terkejut melihat uang yang begitu banyak.

”Itu hanya upah kerja pertamamu. Kau bisa mengambil semuanya, karena saya sudah ambil bagian juga. Di kota besar seperti ini tidak susah cari uang, dan di malam-malam selanjutnya, kau bisa mendapatkan lebih banyak uang lagi sebab masih banyak laki-laki hidung belang yang membutuhkan jasamu. Setelah uangmu banyak kamu bisa pulang kekampung untuk membangun perekonomian keluargamu.” Kata Dewi.

Berkecamuk perasaan dalam hati Susi, antara senang menerima uang ratus ribu itu dengan dirinya yang mulai masuk kedalam dunia malam dengan profesi penjajah seks.

”Diriku ini sudah tidak perawan lagi, sudah tidak suci lagi, biarkan saya menjalani profesi ini, toh dengan ini saya bisa dapatkan uang banyak. Dengan uang yang saya dapatkan bisa memenuhi segala kebutuhanku dan juga bisa membahagiakan orang tua di kampung.” Bisiknya dalam hati.

Disamping itu juga berkecamuk jiwa idealismenya tentang profesi yang dijalani. ”Bukankah kerja seperti ini terlarang oleh agama dan merusak diri dan masyarakat. Tidak ada keberkahan dari kerja sebagai pelacur yang ada kehancuran yang menanti. Dosa-dosa menanti atas kerja seperti ini.” Kata hati Susi dilain sisi.

Susi dihadapkan pada dua pilihan, yang salah satunya harus dijalani. Pilihan itu harus merupakan pilihan sadar, yang dapat diterima nampak positifnya dalam kehidupan masa depan. Bukan pilihan yang hanya mengutamakan kesenangan sementara dengan penderitaan yang panjang.

Sesuai keinginan manusia, ingin mencari keutungan besar tanpa bersusah payah dan banyak pengorbanan. Hasil maksimal dengan sedikit kerja, selalu menjadi idaman dan ukuran sukses kerja.

Tetapi sebagai makhluk sosial, manusia harus tetap memperhatikan profesinya tidak merugikan orang lain dan harus dapat bermanfaat banyak bagi kelangsungan hajat hidup orang banyak kalau bisa. Disamping itu, selain baik atau harmonisnya hubungan antar sesama manusia, juga harus ada hubungan yang baik dengan Sang- Pencipta (Tuhan).

Keseimbangan hubungan dengan sesama manusia dengan hubungan dengan Sang Pencipta (Tuhan), akan melahirkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. Norma-norma agama yang di pahami secara utuh akan memberikan konsep-konsep dalam menjalani dan mengatasi masalah kehidupan.

* * *
Memori Saat Nonton Bersama
Di Ahmad Yani
Akhir Oktober 2006

selengkapnya....

Ketegasan, Oh, Beraniku


Oleh : Ruslan H. Husen

“Dingin juga mandi waktu pagi begini”, bisikku dalam hati saat berada dikamar mandi. Untung kehangatan air kran, mengurangi dinginnya kondisi tubuh.
Memang mandi pagi adalah hal yang amat susah bagi yang tidak biasa, seperti melakukan pekerjaan berat saja. Apalagi diikuti dengan sikap malas.

Dengan kata “malas”, saya teringat dengan Eman, dia pernah berkata, “malas itu adalah perilaku setan, jadi kalau malas mengendap dalam jiwa maka yakin itu adalah bisikan setan yang manusia tidak bisa berkembang dengan keadaan itu”.

Selesai mandi, bergegas menuju kekamar hendak berpakaian dan menuju ketempat aktifitas. Tetapi ternyata konsentrasiku dibuyarkan oleh dering HP-ku bertanda ada SMS yang masuk. Celana yang hendak kupakai kulepaskan dan meraih HP yang tergeletak dan membaca isi SMS itu.

Pesan singkat berkisar, “Ass.... maaf Akhi, hanya mau pastikan, apa betul Akhi punya niat baik?.... saya hanya ingin pastikan kebenarannya. Sebab tidak baik penyimpan hal seperti ini, apalagi kita adalah pengurus. Maafkan kelancanganku.Bls”. pesan itu berasal dari teman dekat kami dalam organisasi yang selama ini menghabiskan waktu luangku.

Dadaku berdesir, antara bingung dan sejuta rasa memuncak dalam dada, ada perasaan senang bercampur was-was, ditambah lagi dengan keinginan untuk balas SMS tertunda karena tidak adanya pulsa yang tersisa di Hpku. Kuputar pikiran, lantas SMS ke nomor teman untuk dikirimkan pulsa.

Pagi ini saya berencana menghadap walikota untuk men-cek proposal yang dijanji akan dicairkan pada bulan ini. Memang kami adalah aktivis yang keseharian banyak dihabiskan dalam kerja-kerja sosial, kendati-pun harus korban tidak aktif dalam perkuliahan dan kegiatan akademik serta berpisah dengan orang tua. Memang beginilah perjalanan seorang aktivis, tetapi saya yakin ini adalah proses pematangan diri membentuk pribadi utuh yang memiliki potensi kemanusiaan yakni potensi intelektual, spiritual dan emosional.

Demikian pula dengan masa depan yang cerah, semua orang pasti mengimpikan dan ingin meraihnya dengan segera. Bagi kami untuk mencapai masa depan seperti itu, terlebih dahulu ada pengasahan potensi kemanusiaan melalui kerja-kerja kelembagaan dan perluasan jaringan.

Lamunanku berhenti tentang tujuan aktifitasku selama ini, ketika Hpku kembali berdering bertanda ada pesan yang diterima. Ternyata informasi, bahwa Hpku telah terisi pulsa.

Aku kembali membaca SMS sebelumnya untuk memperjelas maksudnya agar membalas nyambung dan tidak salah maksud. Tetapi kembali HP bergetar bertanda ada pesan baru diterima. Seperti orang sibuk saja, belum selesai satu pesan dibalas sudah masuk pesan baru, kataku dalam hati.

Ternyata pesan yang baru masuk itu, berisi dari sumber yang sama berisi, “tolong segera dibalas, saya ingin masalah ini segera selesai dan ada jalan keluarnya”.
Inilah yang saya takutkan, dengan ini tertuduh lambat balas SMS. Tetapi saya itu orangnya, cepat merespon dengan persoalan balas-membalas, saya tidak ingin karena saya orang lalu menunggu dan terganggu. Yang saya inginkan adalah orang menjadi tenang dan senang karena kebiasanku.

Dengan segera kubalas pesan itu, “Wasl... Alhamdulillah, benar saya memilki niat baik itu, makanya dengan ini saya niat ta’aruf untuk saling mengenal, siapa saya dan siapa Ukhti”.

@@@
Cerita itu adalah hasil dari niat baikku selama ini untuk segera menikah. Menikah agar mencapai kesucian jiwa dan terhindar dari fitnah. Agar lebih konsetrasi beribadah, sebagai suatu syariat dalam agama ini.

Mungkin niatan ini salah untuk sebagian orang. Pernikahan dini adalah momok yang tidak wajar dalam masyarakat, sebab belum matang untuk menjalani aktifitas rumah tangga itu, termasuk mencari nafkah. Apalagi masih dalam suasana kuliah, masalahnya bisa semakin banyak.
Tetapi dengan keyakinan, masalah itu telah selesai dalam diriku, telah ada jawaban yang bisa mematahkan logika-logika masyarakat tentang dampak pernikahan dini, menikah dalam usia kuliah dan belum punya pekerjaan.

Memang menikah butuh persiapan matang, siap dari sisi fisik dan psikis. Kesiapan itu terbingkai dalam niatan suci untuk beribadah kepada Tuhan. Kesiapan itu menyangkut masalah kematangan intelektual, sosial-ekonomi, dan keluarga.

Pertama, kematangan intelektual. Menikah adalah prosesi suci kemanusiaan, dari sana rekayasa masa depan dapat diraih. Dengan potensi intelektual akan melahirkan manajemen untuk menyelesaikan masalah dan membangun proyeksi sukses masa depan. Masalah dalam rumah tangga pasti ada, tetapi masalah itu bukan untuk ditakuti tetapi untuk dihadapi, dengannya menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Dengan kematangan intelektual menikah akan memiliki arah jalan yang jelas yang tentunya tetap terbingkai dalam ranah ideologi.

Kedua, kematangan sosial-ekonomi. Menikah adalah dunia baru yang langsung bersinggungan dengan tatanan masyarakat, dari sana atmosfir masyarakat terbangun. Timbul interaksi antara individu satu dengan lainnya dalam masyarakat.

Disamping itu, biaya menghidupi pernikahan adalah bagian dari kematangan itu. Memang sisi ekonomi ini bukan satu-satunya kesuksesan menikah, tetapi bagian ekonomi ini juga akan menentukan kecepatan mencapai masa depan. Bukankah dengan kematangan ekonomi prosesi pernikahan akan lebih lancar, begitu pula dengan aktivitas setelahnya?. Disinilah dituntut kreativitas dalam menumbuhkan semangat kewirausahaan.
Ketika, kematangan keluarga. Dalam suasana pernikahan dini, apalagi belum punya pekerjaan dan masih kuliah, keluarga yang biasanya yang terlebih dahulu menentang. Kejadian ini karena tidak adanya pemahaman yang merata tentang orientasi masa depan yang ada.

selengkapnya....

Ingkar Janji


Oleh : Ruslan H. Husen

Entah sudah berapa kali buku yang ada di tanganku ini ku bolak-balik dan kubaca, tetapi tidak ada konsentrasi untuk memahami isinya. Telah ku coba untuk memahaminya, tetapi juga tidak bisa. Dahulu tidak pernah aku alami hal seperti ini, hampir semua buku yang dibaca dapat ku pahami dengan baik, apalagi sampai terbaca berulang-ulang.

Aku menyadari sepenuhnya, tidak ada kebutuhan akan membaca. Tidak ada maksud untuk memahami isi buku yang ada di depan. semua itu menjadi pelarian atas perasaan hati. Yang lebih di butuhkan adalah jawaban atas kepastian masa depan untuk hidup bersama dengan seseorang, yang dahulu telah memberikan janji. Janji yang diberikan dengan sangat yakin, untuk membangun rumah tangga.

“Betul. Kepastian akan janji yang telah di berikan kepadaku.” Tebakku dalam hati.
Sebut saja nama orang itu adalah Wati. Wati sudah mulai tidak menepati janjinya lagi, dengan indikasi tidak mau lagi berkomunikasi denganku, seakan cuek dengan keberadaanku dan tidak mengganggap aku ini ada lagi.

Memang aku ini banyak kekurangan, utamanya dengan kondisi fisikku yang sering sakit. “Tetapi apakah itu yang menjadi permasalahan utama sehingga ingin ingkar janji?.” Tanyaku dalam hati. “Bukankah isi perjanjian tidak ada menyebutkan, perjanjian akan batal jika kondisi kesehatanku menurun. Apalagi persoalan sakit bisa menyerang siapa saja, termasuk Wati sendiri tanpa terkecuali.”

“Kemana kini harus ku mencurahkan semua beban perasaan ini?.” keluhku. “Adakah orang yang akan mendengar beben derita hatiku dan mau memberikan oase saat dahaga seperti ini?.”

Memang salah satu isi perjanjian hati kami adalah hubungan ini bersifat rahasia, tidak bisa di ketahui oleh orang lain termasuk teman terdekat. Aku telah berusaha untuk menepati isi perjanjian itu dengan harapan hubungan dapat lancar terus.
“Tetapi mengapa ia terus menjauh dariku, apa salahku”. Kembali keluhku dalam hati. “Kapan Wati mau menepati janjinya terdahulu”.

Isi perjanjian itu adalah, saya akan datang melamar untuk membangun rumah tangga, setelah ia selesai kuliah dan memperoleh gelar sarjana. Keinginan itu bukan otoritas semata-mata keinginanku sebagai seorang laki-laki, tetapi kesepakatan kami berdua dahulu. Kesepakatan yang terbangun dengan sadar yang tidak ada intervensi pihak lain.

* * *
Mulanya aku kenal dia saat awal-awal perkuliahan di suatu Universitas yang ada di kota ini. saat itu tidak ada perasaan yang istimewa di antara kami, semuanya biasa saja dan datar saja seperti tripleks.

Dalam perjalanan waktu. Karena keseringan berhubungan atau berkomunikasi dalam berbagai macam kegiatan kampus dan kegiatan organisasi, diam-diam aku mulai mengagumi dirinya (Wati). Kekagumanku ini mungkin dirasakan juga oleh teman-teman laki-laki yang lain. Karena dia selain pintar juga memiliki wajah yang cantik. Tetapi dalam kamus kami “pacaran” adalah hal yang dilarang. Olehnya itu saya tetap yakin dia belum memiliki tunangan hidup berumah tangga.

Hal itulah yang membuat aku terus bersemangat berhubungan dengannya. Karena sepengetahuanku ia belum memiliki pasangan atau tunangan untuk menikah nanti. Logikanya ketika belum ada tunangan atau calon yang sah dalam berumah tangga, maka siapa saja boleh mengajukan keinginannya dan menyatakan kesiapan dalam berumah tangga.

Dalam pertemuan sesekali aku mencoba meliriknya dan Wati juga melirikku. Mata kami beradu, tersimpan sejuta perasaan yang membutuhkan jawaban. Hal itulah yang selalu ku ingat dan membuat aku terus bersemangat dalam berhubungan dengannya. Apalagi tersiar kabar burung (berita yang belum tentu benar) bahwa, Wati juga menginginkan diriku untuk mendapinginya kelak. Tetapi paling tidak, itu sebagai simbol awal yang menguntungkan.

Dalam hatiku telah tumbuh benih cinta yang bersemi. Semerbak kesetiap sikap dan tingkah laku-ku kepadanya. Aku begitu menjaga sikap dan tingkah laku kepadanya. Aku begitu berharap banyak kepadanya, akan kehadirannya dalam kehidupanku. Siang malam aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar kami di pertemukan dalam suatu naungan rumah tangga yang bahagia nanti.

Selain berdoa setiap saat, aku juga terus berusaha agar selalu dekat dengannya lewat berbagai macam kegaitan organisasi. Organisasi itulah yang menjadikan komunikasiku dengan Wati tetap lancar.

Perlu di tekankan, organisasi di sini bukan menjadi alat untuk mencari jodoh atau teman saja, tetapi ini juga menjadi bagian dari cita-cita organisasi disamping tujuan-tujuan besar lainnya yang lebih berorientasi kepada masyarakat umum.
Wati sudah sering menelponku, sering kirim sms kepadaku. Sementara aku tidak menyianyiakan kesempatan itu dan melakukan tindakan agar ia senang dan terbantu dengan diriku.

Tetapi tidak semua yang ingin di minta tolong oleh Wati aku penuhi, hal-hal yang sanggup aku perbuat saja yang dikerja. Yang jelas komunikasiku dengan Wati tetap lancar dan mulus demi cita-cita ke depan.

Sebenarnya aku sudah bosan terus berhubungan dengan Wati sebatas masalah teman saja. Dalam hatiku ingin meningkat lagi menjadi teman spesial yang di khususkan dan berniat akan berumah tangga.

Berbagai macam cara ku lakukan agar kesempatan yang baik itu datang untuk mengungkapkan perasaan. Yang dia juga memiliki keleluasaan untuk bisa mengungkapkan isi hatinya. Karena aku merasa Wati juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tinggal sekarang waktu yang tepat untuk menjembatani perasaan ini.

Kesempatan yang ditunggu ternyata hadir juga. Lewat jasa komunikasi, perasaan kami terjembatani, dalam niat membangun rumah tangga bersama. Sungguh sangat bahagia perasaan hati ini. Hanya air mata yang mampu keluar sebagai gambaran kebahagiaan yang melingkupi hati. Desah haru melingkupi rasa hati akan gambaran dan cita-cita membangun rumah tangga bersama orang yang di nanti dan di cinta ialah Wati.

* * *
Tetapi di tempat ini, cerita dan sejarah itu tinggal kenangan, tidak ada realisasi untuk mewujudkan cita-cita terdahulu.
“Apakah semua janji dahulu itu adalah bohong semata?.” Tanyaku dalam hati, atas sikap Wati selama ini yang selalu menjauh dariku. “Ataukah aku telah melakukan kesalahan, sehingga perjanjian kami itu sudah tidak berlaku lagi?. Tapi salahku apa?”

Entah sudah berapa banyak Sms yang ku-kirim kepada Wati, untuk mengingatkan janji dan kesepakatan kami terdahulu tetapi dia juga tidak kunjung membalasnya. Awalnya aku berfikir, “Mungkin pulsanya habis?.”

Lalu ku telp, tetapi jawabannya sungguh menyakitkan hati. Ia berbicara seolah tidak mengenal diriku lagi, sudah lupa dengan janji dan kesepakaan kami lalu. Tidak ada respon yang menyenangkan darinya.

Mungkin aku kembali harus pasrah. Serta menyatakan ini sebagai cobaan kepadaku pribadi. “Tetapi, tidak ada lagi-kah harapan bagiku?, dan dia mau mengingat janjinya terdahulu?.” Tanyaku terus dalam hati.

Kini aku berharap, kejadiaan ini cukup aku saja yang mengalaminya. Cukup aku saja yang merasakannya. Cukup aku saja yang menderita batin atas janji seseorang. Tidak usah di alami oleh pembaca cerpen ini, siapa-pun dia. Semoga!.

* * *
Arena Di Nanti
Perasaan di Jl. Mawar Palu
Rabu, 14 Juli 2006

selengkapnya....

Kelahiran Adik Kecilku


Oleh : Ruslan H. Husen

Waktu shalat shubuh telah tiba. Suara azan menggema dari masjid dan surau sekitar rumah tinggalku. Membangunkan setiap insan beriman untuk menunaikan kewajiban sebagai makhluk Tuhan. Yang di dalamnya menjanjikan segala kebaikan dari sisi keduniaan maupun hidup sesudah mati.

Ku-tersungkur sujud kehadirat Ilahi Rabby, merengkuh pilu dengan senandung hati yang cinta dan haru. Larut dalam pelukan Ilahi, melupakan segala dinamika kehidupan, termasuk kantuk dan letih di tubuh. Tidak ada beban dunia menggelora dalam dada, yang ada kerinduan untuk bertemu dengan-Nya. Menjadikan zikir dan doa-ku diiringi dengan air mata yang jatuh tanpa sadar-ku.

"Tuhan. Sesungguhnya aku ini hina, penuh lumpur noda dan dosa yang telah kulakukan selama ini. Tetapi aku tetap memberanikan diri untuk tengadah menghadap kehadirat-Mu." Keluh-ku dalam hati. "Ya. Tuhan-ku Ampunilah dosaku, walaupun aku merasa malu memohonnya, karena besarnya kemaksiatan yang telah kulakukan."

Deraian harap terus tersenandung, melambai menuju Tuhan. Mengharapkan pengampunan sebagai hamba yang penuh kehinaan. Dengan mencoba bangkit dari keterpurukan hidup. Demikianlah, tempat bersandar dan berharap hanya kepada Tuhan pemilik segala-Nya. Sebagai kebutuhan primer didalam diri akan kehadiran-Nya.

* * *
Ku-raih Hp yang tergelat di meja belajar, untuk mengetahui apakah semalam ada yang mencoba menghubungiku atau mempunyai keperluan denganku.
Ternyata betul. Di dalamnya tertulis Sms dari adikku yang berada di kampung halaman. Isi Sms itu memberikan kabar, tentang kelahiran adik kecilku dengan jenis kelamin perempuan.

Ku baca berulang-ulang Sms itu, untuk menyakinkan diriku tentang apa yang sedang ku-baca. Ternyata benar. Sms itu memberikan kabar tentang kelahiran adikku.
Sungguh bahagia terasa hidup-ku ini. Terasa olehku melayang-layang dalam alam kebahagiaan. Hanya ucap syukur dan zikir yang terucap dalam hati dan mulut kepada Ilahi Rabby atas anugerah yang di berikan kepada kami.

Ingin rasanya saat itu, ku melihat adik kecilku. Menggendongnya, memeluknya dan menciumnya dengan rasa cinta kasih. Tetapi adik kecilku itu jauh di kampung halaman. Sementara saya berada di kota untuk tujuan akademik (studi).
Seandainya ada kemampuanku melintasi ruang/ wilayah, jelas saya sudah tidak berada di ruangan ini. Saya telah berada di kampung halaman itu, berkumpul dengan semua keluargaku, dengan di temani adik kecilku.

"Oh. bagahia rasanya jika ku berhasil pulang saat ini." Bisik dalam hatiku.

* * *
Keinginan untuk berkumpul dengan keluarga dan adik kecilku itu harus kutahan, sampai kewajiban akademik yang sedang ku jalani ini selesai. Memang saat ini saya berada di kota untuk keperluan menyelesaikan tugas akhir dari perkuliahan untuk mencapai gelar sarjana.

Sudah berbulan-bulan saya meninggalkan kampung halaman, beserta keluarga di sana. Kabar Ibu-ku hamil saya dapat melalui telp dan Sms dari adikku yang satunya. Memang sangat membantu peran telekomunikasi Hp ini disatu sisi, sementara di sisi lain menguras kantong untuk membeli pulsa dan "mempengaruhi pergaulan" (bahasan ini tanya langsung kepada penulis).

Dilema kebutuhan akan keluarga dan tuntutan akademik hadir dalam diri seorang mahasiswa seperti diriku. Tetapi kedewasaan dan berfikir kedepan harus di utamakan. Olehnya tujuan ke kota adalah akademik dan itu adalah utama, di samping kebutuhan dan tanggung jawab sosial lainnya yang bersifat idealis.

Keadaan paragmatis tidak ada salahnya, asal konsisten. Begitu pula dengan kenyataan seorang idealis, sangat bagus, asal di dalamnya selalu konsisten dan tetap berada di jalur yang lurus. Sebab keduanya tidak ada maksud untuk menghancurkan peradaban dan manusianya.

* * *
Hari meninggalkan pagi menjalang siang. Kabar kelahiran adik kecilku, telah saya beritahukan kepada orang-orang terdekat. Sebab memang, kabar baik dan keberuntungan harus di bahagi dengan orang sekitar, sementara kabar dan nasib ketidak beruntungan cukup di tahan dan tidak di beritahukan kepada orang lain.

Nampak mereka juga merasa senang dan bahagia serta mengusulkan saya segera pulang kampung menemui keluarga dan adik kecil-ku itu. Tetapi lagi-lagi, terbentur dengan tuntutan akademik.

Memang dalam hati, besar keinginan untuk pulang kampung. Sebab kewajiban akademik sudah tidak terlalu penting. Lagi pula akademik itu tujuan pribadi, sementara tujuan sosial lainnya tetap hadir di pundak dan menuntut insan untuk mengemban dan merekayasa peradaban kearah yang lebih baik.

* * *
Siang itu Rika, teman terdekat-ku memberikan hadiah sebuah buku tebal, yang memang buku itu adalah kebutuhan utamaku. Saya cukup senang menerima hadiah itu.

Kebanyakan orang memberi hadiah, dengan barang-barang tertentu, tetapi jarang sekali yang memberikan hadiah buku. Padahal dengan memberikan buku, akan mendorong kepada penerima untuk mengetahui isinya. Maka dengan demikian, ilmunya dapat bertambah.

Sementara si pemberi hadiah akan di beri kepuasaan dengan berani memberi hadiah buku yang lain dari biasa pemberian kebanyakan orang. Hendaknya memang memberikan hadiah, adalah yang bermanfaat besar bagi si penerima dan orang sekitar serta bermanfaat kepada pemberi.

Buku yang telah di berikan tersebut, disatu sisi dalam waktu yang akan datang, dapat juga di pinjam kembali oleh si-pemberi hadiah. Keuntungan hadiah buku, menurutku sangat berguna bukan hanya orang tertentu saja tetapi kebanyakan orang secara umum.
Hadiah pemberian itu, ku coba untuk membacanya, mencermati isinya. Tetapi yang terjadi dalam diriku, sungguh tidak ada yang berhasil tercerna oleh otakku. Sudah ku ulang-ulang bacaan dari buku itu, tetapi tidak juga terpahami olehku.

Memang dalam diriku sekarang ini, terjadi kerinduan berat kepada adik kecil-ku, ingin bertemu segera dengannya. Inilah yang menyebabkan tidak adanya konsentrasi dalam diri. Yang terpikirkan secara terus adalah kelucuan, kehalusan kulit dan tangis dari adik kecil-ku.

"Ternyata saat ini, aku tidak terlalu membutuhkan buku ini, yang ku butuhkan adalah bertemu dengan adik kecil-ku". Kataku dalam hati.
Begitu pula dengan suguhan ayam goreng spesial yang di berikan oleh Iwan, hanya ku pandangi tanpa selera untuk menikmatinya. Padahal waktu kemarin, makanan sejenis itu tidak pernah tersisa dan bertahan lama di depan-ku.

Aku benar-benar tidak membutuhkan segala yang di berikan kepadaku. Yang ku-butuhkan adalah bertemu dengan keluarga dan adik kecil-ku. Itulah kebutuhan sadar yang ada dalam diri, yang menuntut untuk di penuhi.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apalagi. Di satu sisi keinginan untuk bertemu dengan adik kecil-ku begitu besar, sehingga membuat tidak adanya konsentrasi dalam setiap kegiatan. Sementara di sisi lain tuntutan akademik selalu membebani dan menuntut untuk di laksanakan dengan mengenyampingkan keluarga.
Aku bingung saat ini, mana yang harus ku-lakukan. Kepada pembaca cerpen ini, saya bertanya, "Apa yang Anda akan lakukan ketika mengalami keadaan seperti yang ku-alami sekarang ini????."

* * *
Suasana Shubuh Di Tinombala
Minggu, 18 Juni 2006
Pkl. 04;20;03

selengkapnya....

Ketika Harus Memilih


Oleh : Ruslan H. Husen

“Aku benar-benar bingung apa yang terjadi dalam diriku. Tidak ada konsentrasi dalam diriku utamanya dari sisi akademik”. Keluhku di kala senja menjelang di kampung halaman.

Aku pulang kekampung ini, karena kejenuhanku di kota. Bergelut dengan permasalahan pribadi yang lebih mendominasi di samping masalah akademik. Masalah pribadi itu, hanya menyangkut perasaan hati yang susah hilang dalam diri, selalu hadir dan menghantui setiap aktifitas. Sehingga kegiatan akademik menjadi terbengkalai atau ternomor dua-kan.

Hal ini tidak bisa di pisahkan dengan seorang teman wanitaku satu organisasi yang selalu menggoda hatiku, dengan segala kemanjaan dan keceriaannya sebut saja namanya Dewi. Sikap Dewi yang menyenangkan, membuat aku hanyut terbuai dalam hayal dan harap. Teman wanitaku itu yang telah menghilangkan konsetrasiku dalam persoalan akademik. Padahal kini aku berada dalam semester akhir perkuliahan dan konsetrasi penyusunan proposal-skripsi.

Memang aku mengakui aku suka kepadanya, bukan suka sebatas sahabat tetapi lebih dari itu. Aku mau-mau saja suruh olehnya. Kesanalah, kesitulah. Yang menjadikan diriku tidak berdaya di hadapannya. Padahal awalnya aku itu orang yang susah menurut pada orang. Kata orang juga aku keras kepala dan susah di atur. Mempunyai prinsip yang teguh, dengan berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan dengan tidak mengorbankan orang lain dan diperalat orang.

Terkadang muncul penyesalan dalam hati, kenapa harus terjadi seperti ini, seharusnya keinginan itu bisa di tekan dengan konsentasi pada tujuan utama ke kota yaitu menyelesaikan kuliah sebagaimana harapan orang tua. Tapi lagi-lagi dia datang dengan segala godaannya membuatku hanyut dan melupakan studi.

Apakah ini pelajaran hidup?, seperti selalu kukatakan padanya dalam setiap pertemuan kami. Menjadikan ini sejarah bersama, sebagai kebutuhan yang harus disalurkan atas dasar kesepakatan bersama dengan tidak melawan naluri kemanusiaan. Ataukah ini cobaan bagiku, dengan terlibat langsung di arena lapangan nyata. Terlibat dengan realitas, menguji idealisme yang selalu di agungkan.

Memang orang ketika masih berada pada wilayah idealisme dan konsep yang jauh dari realitas dan terlibat langsung dengan kenyataan, masih bisa di banggakan dan diidolakan. Namun ketika lepas dari wilayah itu dan masuk kealam nyata secara langsung, bergelut dengan segala godaan, maka besar kemungkinan ia tidak ideal lagi. Ia telah terwarnai oleh lingkungan dan orang sekitarnya. Gagasan dan cita-citanya dahulu tidak mampu di aktualkan dalam kehidupannya. Kalaupun ia berusaha untuk ideal, maka ia akan tersingkir. Sungguh sangat menyedihkan.

“Kejadian itu jugakah yang telah terjadi padaku?.” Tanyaku dalam hati.
Dahulu aku ini di kenal sebagai seorang aktivis kampus yang mempunyai potensi menentang kezaliman dan penyimpangan kehidupan dalam lingkunganku. Bukan itu saja kebijakan pemerintah nasional dan daerah yang di anggap tidak berpihak selalu kami tentang. Persoalan demonstrasi sudah menjadi barang yang akrab dalam kehidupanku. Susah senangnya lapangan perjuangan dan advokasi telah akrab selalu denganku.

Bukan itu saja, aku-pun sempat aktif dalam lembaga dakwah kampus, yang salah satu pesannya adalah larangan pacaran atau berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Pesan-pesan itu selalu saya sampaikan dalam setiap kesempatan dan pertanyaan yang mengarah kepada lawan jenis. Sehingga saya di kenal sebagai salah satu tokoh atau simbol yang menentang kerusakan moral akibat pergaulan bebas dan free seks.
Realitas kini yang ada pada diriku sungguh sangat berbeda dengan kenyataan terdahulu. Telah terjadi pergeseran pemikiran, yang teraktualkan dalam sikap dan tingkah laku. Sebagai hasil pengalaman hidup dan pergulatan pemikiran yang berkembang.

* * *
Pikiranku kini semakin bertambah lagi, dengan hadirnya seorang akhwat dalam kehidupanku, namanya Susan. Akhwat ini, jika di nilai begitu ideal, memiliki kelebihan yang mencolok yang di butuhkan oleh setiap orang. Dia memiliki sikap keibuan, dia memiliki sikap penyayang, cantik dan pintar.

“Apa masih kurang?.” Ungkapku. Belum lagi jika dilihat dari sisi agama, keturunan dan kekayaan. Semuanya kriteria itu ada padanya. Walaupun masih belum cukup maksimal, dan terpenuhi secara sempurna. Tetapi paling tidak, akhwat itu telah memiliki sebagaian besar potensi yang di butuhkan orang, apalagi yang ingin berumah tangga.

Lagi-lagi aku tertarik kepadanya. Tertarik bukan sebagai seorang sahabat tetapi lebih dari itu. Selalu ingin bersamanya, bercanda ria dengan mencurahkan segala perasaan dan kepenatan jiwa. Bahkan bercita-cita ingin membangun rumah tangga dengannya.

“Kenapa aku ini begitu mudah suka sama orang?.” Tanyaku dalam diri. “Apakah aku ini memiliki daya tarik sehingga di butuhkan orang atau karena kemampuan diplomasiku?.”
Ini bukan kisah sinetron yang memunculkan aktor dengan di dampingi banyak wanita cantik dan berebut perhatian kepadanya. Tetapi inilah kehidupanku, yang membuat aku harus memilihnya di antara teman-teman perempuanku yang lain. Bukan aku yang memulai dan menjembatani perasaan ini, tetapi mereka sendiri yang tidak tahan sehingga menyatakan keinginannya kepadaku atas sikapku.

“Apakah ini salah jika kulakukan?.” Kembali pertanyaan itu menggantui diriku.
Kembali aku dihadapkan pada pilihan, tentang konsentrasi kuliah sebagai tujuan utama kekota dan tuntutan orang tua. Atau konsentasi pada Dewi yang telah memberikan keceriaan. Konsentasi pada Susan ataukah melakukannya secara sekaligus.
“Sungguh merupakan pilihan yang sulit!.” Pikirku.

Memang kalau asal memilih jelas gampang, tetapi yang di maksud di sini adalah pilihan yang di lanjutkan dengan sikap, pilihan yang di ikuti dengan perbuatan, sehingga memudahkan pencapaian cita-cita dari pilihan itu.

* * *
Awal aku kenal dengan Dewi, ketika ada pertemuan di organisasi kami. Lalu diam-diam aku menyukai dirinya, lalu kurumuskan cara untuk bisa dekat dengannya. Walhasil aku berhasil dan kami sekarang sangat akrab sekali, seakan perasaan kami telah menyatu. Dia sering menelpon aku, dan sering pula membantu setiap kebutuhanku. Aku juga sering membantu dia, bahkan aku mau disuruh-suruh olehnya.

Kalau dengan Susan, aku kenal sudah dari dulu ketika masih SMA. Namun perasaan suka itu hadir ketika aku kenal dan dekat dengan Dewi. Entah mengapa aku semakin membutuhkan Susan, dalam setiap sisi kehidupanku.

* * *
“Mana yang harus ku pilih?.” Pertanyaan itu selalu hadir dalam setiap kehidupanku.
Kini diriku mulai bingung tentang apa yang harus ku lakukan, lagi pula aku tidak berani menceritakan persoalan ku ini kepada teman terdekat sekalipun, apalagi kepada orang tua.

Kini yang ku harapkan tinggal kepada pembaca cerpen ini untuk memberikan solusi terbaiknya tentang persoalanku itu. Ku tunggu solusinya. Dengan menghubungiku langsung atau menghubungi lewat HP pribadi dengan nomor 085241038240.

* * *
Desing Waktu
Di Wilayah sul-Teng
Pada 13 Juli 2006

selengkapnya....