Selasa, 10 Maret 2009

Hukum. Pers dan Intervensi Politik


Oleh : Ruslan H. Husen

“Ko. Nanpak gerah dan bingung sih Pak?”. Tanya Sara kepada suaminya.
Suami Sara adalah kepala Kejaksaan Tinggi di kota ini, yang cukup di kenal karena dahulu cukup idealis dalam memandang suatu persoalan dan telah banyak menulis buku berkaitan dengan hukum.


“Itulah Bu, saya agak bingung, menghadapi kasus Dullah ini”. Kata suami Sara.
Kasus Dullah ini, merupakan kasus yang kontroversial yang bukan hanya di konsumsi dunia nasional tetapi juga dunia internasional. Dullah yang beragama Katolik ini sebenarnya telah di vonis atas pembantaian yang telah di lakukannya terhadap satu keluarga muslim. Vonis atas kasus itu sudah final dari sisi hukum positif di negara ini. Pada pengadilan tingkat pertama Dullah di Vonis hukuman mati, pada tingkat banding di pengadilan Tinggi juga hukaman mati, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Dullah juga tetap di vonis dengan hukuman mati. Hingga permohonan pengampunannya kepada Presiden juga di tolak.

“Saya sebenarnya tidak mementingkan dari agama apa Dullah itu dan siapa yang menjadi korban perlakuannnya. Yang saya pentingkan itu, dapat berbuat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Tetapi mengapa saya di duga menunda-nunda eksekusi mati terhadap diri Dullah”. Kata suami Sara.

“Tenanglah Pak, tidak usah terlalu di pikirkan. Saya buatkan minuman dingin ya Pak”. Kata Sara mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Coba pikir Bu, kemarin kami di demo oleh ratusan warga minta Dullah di bebaskan, karena alasan kemanusiaan yang semua orang berhak untuk hidup dan negara tidak bisa membatasi hidup seseorang. Sementara tadi siang, kami juga di demo oleh ratusan orang yang menuntut Dullah segera di eksekusi sesuai dengan putusan hukum yang berlaku di negara ini. Jadi di sana ada pertentangan, dan kami ini harus berbuat apa?”. Kata suami Sara, sambil meraih minuman yang di hidangkan isterinya.

Semuanya diam bergelut dengan perasaan masing-masing. Kalau sudah begini persoalannya Sara tidak memiliki pandangan lagi dalam memecahkan persoalan yang di hadapi suaminya, karena dia memang hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus rumah dan anak-anak mereka. Yang mampu ia lakukan menenangkan dan membantu apa yang di minta dan di butuhkan oleh suaminya.

$ $ $ $
Kontroversi hukuman mati memang bukan ini yang pertama kali. Kontroversi ini sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu di berbagai negara. Indonesia termasuk negara yang masih mengadopsi hukuman mati, sehingga ada beberapa kelompok pihak yang meminta hukuman mati ini dihapuskan saja. Sementara ada juga meminta di pertahankan.

Kelompok yang menentang putusan mati menganggap jiwa seseorang itu tidak bisa di campuri apalagi di ambil alih oleh negara. Yang bisa mengambil alih jiwa manusia hanyalah Tuhan, kerana Ialah yang telah menciptakannya. Jiwa manusia adalah hak asasi setiap insan yang tidak bisa di hilangkan. Penghilangan itu pada hakikatnya mengambil alih fungsi Tuhan. Negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya Tuhan, negara hanya alat bagi kekuasaan tertantu. Siapa yang terkuat dalam negara dapat mengendalikan hukum itu.

Sementara kelompok yang mendukung hukuman mati, berlindung pada otoritas yang di miliki negara dalam mengatur warganya termasuk memberlakukan hukuman mati. Hukuman mati itu sebelumnya sudah harus ada sebelum perbuatan di lakukan. Begitu kompleksnya kehidupan sampai bervariasinya kejahatan yang ada, hingga hukuman yang ringan sampai hukuman terberat harus ada. Membunuh satu nyawa dalam negara ini akan dihukum 15 tahun, lalu kalau membunuh satu keluarga yang di dalamnya ada ayah, ibu, anak-anak, pembantu dan kakek, apakah pelakunya harus di biarkan hidup juga sementara ia juga sebelumnya telah melakukan pembantaian itu. Membunuh satu nyawa ibaratnya membunuh 100 orang, membunuh satu keluarga sama halnya dengan membunuh Tuhan. Tuhan maha adil, memberikan ketegasan kepada orang yang berbuat kezaliman dengan di hukum yang berat sampai hukuman mati.

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), yang setiap sengketa dan persoalan harus dilakukan melalui jalur hukum. Sehingga institusi hukum beserta sistem hukum lain di akui keberadaannya, yakni peraturan yang berlaku dan budaya masyarakat yang mendukung serta sarana dan prasarana yang memadai.

Dalam konteks itu sedemikian ideal, namun dalam kenyataannya politik lebih mendominasi penegakan hukum. Kekuatan politiklah yang lebih berkuasa mengarahkan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang berlaku telah mengarahkan suatu persoalan kepada tujuan yang ingin di capai hukum itu, namun intervensi politik mengalihkan tujuan itu karena adanya tekanan yang kuat terhadap institusi pelaksana hukum itu.

Yang bisa di harapkan dalam melakukan kontrol adalah media massa dan masyarakat secara umum dengan melakukan transparansi terhadap proses yang sedang berlangsung. Media di tuntut memberitakan secara independen berimbang dan bertanggunjawab, dengan tidak mengarahkan kepada opini tertentu. Penilain terhadap pemberitaan media itu di serahkan sepenuhnya pada masyarakat.

Persoalannya adalah ketika media tidak independen lagi dan pro pada kekuasaan negara seperti saat orde baru berkuasa, maka dominasi politik atas hukum akan semakin menjadi-jadi, tidak akan di temukan supremasi hukum apabila melibatkan elit politik. Semuanya keputusan hukum dapat di arahkan menuju kehendak penguasa, walaupun ada mekanisme sidang dalam menghasilkan kepututusan namun semuanya hanya merupakan sandiwara yang mengelabui publik.

Setelah kejatuhan orde baru, menjadikan peran pers menjadi pilar ke –empat pelaksana kekuasaan negara. Pers di beri kewenangan untuk mengawasi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengawasaan itu sebagai tanggung jawab sosial pada publik dengan tidak memberitakan yang baik-baik saja, tetapi kebusukan dan konspirasi jahat para pelaksana kekuasaan negara itu.

Sebagai contoh begitu pentingnya peran Pers dalam kasus orang elit seperti Soeharto dan Akbar Tanjung. Pers akan memberitakan segala aspek yang menyangkut proses peradilan tokoh itu dan itu akan di konsumsi dengan lahap oleh publik. Hakim, jaksa dan pengacara akan bertindak dengan hati-hati sebab pengawasan publik yang begitu melekat.

Tetapi ketika pers tidak berperan dalam kasus Stepanus yang mencuri ayam, maka peluang terjadinya pelanggaran yang di lakukan institusi pengadilan terbuka. Tidak akan ada yang memperhatikan pemukulan yang menimpa Stepanus, dan penyogokan yang dilakukan keluarganya. Sebab kasusnya kecil yang melibatkan orang kecil pula. Memang persoalan pemukulan dan penyuapan itu besar jika diketahui publik, tetapi akses dan gaung yang melibatkan orang kecil tidak menarik, dan itu sudah di anggap biasa saja.
Memang dalam penegakan hukum diutamakan idealisme dari pelaksana hukum itu, yang berusaha menemukan titik keadilan dan kebenaran. Institusi hukum harus membongkas mitos yang mengatakan, “Di dalam pengadilan tidak akan ditemukan keadilan, malah di sana ketidak adilan yang merajalela”. Mitos ini keluar, karena ketidak percayaan publik terhadap institusi pelaksana hukum yang korup, penuh rekayasa dan permainan. Makanya sering terjadi penghakiman secara massa.

Tetapi zaman terus berlalu, arah baru Indonesia terbuka lagi setelah tumbangnya rezim orde baru. Perbaikan sistem hukum dilakukan dengan melakukan terobosan walaupun belum maksimal pada produk perundang-undangan yang mengatur sisi kehidupan masyarakat. Perbaikan institusi penegak hukum dan pembenahan sarana dan prasarana hukum serta sosialisasi dan penggalian nilai-nilai kultural yang ada dalam masyarakat.

*******
Menjelang Sore
Tomoli (Ampibabo)
Kamis, 18 Mei 2006.

selengkapnya....

Mati Lampu


Oleh : Ruslan H. Husen

“Ah, mati lampu lagi.” Keluh Iwan yang sedang menonton. “Padahal lagi asyik-asyiknya menonton”.
Ardi keluar dari kamar, “Apa sudah mati lampu?. Padahal saya mau mengetik tugasku dan tugas itu besok akan dikumpul. Aduh bagaimana ini!!?.”
“Ya, sudah kalau sudah mati lampu, mau apa lagi. Paling besok baru nyala”. Kata Kartini, Ibu mereka.

“Tapi, Ibu tugasku itu sangat penting dan mau dikumpul.”
“Siapa suruh tidak ketik memang tadi, ketika lampunya masih menyala”.
“Iya saya kira matinya nanti sore, ini-kan masih pagi sudah mati.
Lampu yang di maksud di sini, aliran listrik dari PLN. Lampu yang sangat di butuhkan oleh masyarakat. Kejadian dalam kisah itu hanya merupakan gambaran cerita yang menimpa sebuah keluarga ketika mengalami mati lampu.

* * *
Listrik dalam era sekarang, sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Bukan saja di daerah perkotaan tetapi juga sampai pedesaan. Kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memudahkan pekerjaan banyak yang menggunakan tenaga listrik. Kini kebutuhan listrik telah melintasi batas strata sosial masyarakat.

Perkembangan tehknologi telah melahirkan alat-alat produksi yang membantu manusia dan menggunakan energi listrik. Realitas tersebut menuntut di penuhinya listrik dalam setiap waktu dan wilayah masyarakat. Mulai dari alat-alat rumah tangga, sampai alat-alat produksi di perusahaan semuanya membutuhkan energi listrik.

Pemadaman listrik pada hakikatnya mematikan potensi kreatifitas masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dari padamnya listrik, berbagai kegiatan menjadi terhambat bahkan tidak berfungsi. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan ketersediaan energi listrik adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda memiliki tugas agar mampu menyerap aspirasi masyarakat umum dengan mengeluarkan kebijakan yang mampu meningkatkan penghasilannya.

Pemadaman listrik di daerah ini hampir terjadi setiap saat, bahkan muncul istilah bergiliran dengan satu hari menyala dan satu hari padam. Yang masyarakat di minta untuk memahami kenyataan itu. Kenyataan itu bukan tidak memperoleh protes dari masyarakat, tetapi karena kejenuhan dan kesibukan mengurus pekerjaan lain, sehingga protes hanya berlangsung secara sporadis dan tidak sestematis. Dan hal itu jelas menguntungkan pihak pengambil kebijakan di daerah ini.

Kalau ingin melihat potensi daerah sungguh sangat luar biasa besarnya. Pendapatan daerah selalu mengalami peningkatan, dan celakanya alokasi hasil pendapatan itu hanya di gunakan untuk proyek-proyek yang tidak bersentuhan langsung pada masyarakat. Belum lagi masalah korupsi yang menjamur di birokrasi Pemda ini, semakin menambah suram upaya mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat selalu di tuntut untuk membayar pajak, baik pajak PBB, pajak kendaraan bermotor, dan pajak pertambahan nilai barang. Jumlah pendapatan dari pajak itu bukan tidak sedikit, lalu ditambah lagi dengan sumber-sumber pendapatan daerha yang lain. Maka semakin menambah tingginya jumlah pendapatan daerah. Katanya pajak dan pendapatan daerah yang lain itu akan di gunakan untuk kepentingan umum. Tetapi kenyataannya, kepentingan umum yang mana di maksud?. Apakah kepentingan para pejabat itu dengan keluarganya?.

Masyarakat ketika lambat membayar pajak harus rela menerima denda. Kedisiplinan rakyat selalu dituntut disatu sisi, namun disisi lain kebobrokan dan budaya korupsi meraja lela di kalangan birokrasi di perlihatkan. Semakin hari, semakin terlihat kesenjangan sosial antara pejabat dengan masyarakatnya. Pejabat tidak lagi menyatu, terjadi batas pemisah serta kecemburuan sosial yang bisa memancing perpecahan.
Hal ini bukannya tidak percaya lagi kepada elit politik di daerah, tetapi minimal ini bisa membudayakan sikap “malu” dengan mau memperhatikan nasib rakyat dengan mengupayakan kesejahteraan. Setidaknya tersedianya energi listrik yang memadai. Kalau alokasi dana untuk penyediaan energi listrik saja tidak bisa, lalu mengapa proyek-proyek besar lainnya itu bisa di lakukan.

Apakah Pemda menutup mata atas hal ini?. Atau pura-pura dan tidak mau tahu, asal buat program yang bisa menguntungkan dirinya?. Setidaknya ini menjadi kenyataan pahit di daerah ini, yang sudah lama berdiri dengan limpahan sumber daya alam berlimpah tetapi dalam menyiapkan energi listrik saja tidak mampu. Sungguh sangat ironis sekali. Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menjadi korban dan mendapat keuntungan adalah pejabat elit.
* * *

selengkapnya....

Kisah Sedih Yang Susah Terlupakan


Oleh : Ruslan H. Husen

Kisah ini menjadi bagian dalam hidupku, yang siapa saja dapat mengamatinya dalam realitas sosial sehari-hari atau terlibat sebagai objek didalamnya. Perjalanan hidup itu memuat berbagai nilai dan hikmah, sehingga pengalaman akan menjadi guru besar dalam hidup. Bukan untuk mengulangi kesalahan yang sama, tetapi merajuk bahtera menuju keadaan yang lebih baik, dengan berani bersikap dan bertindak demi kebaikan universal bagi manusia dan alam.

Peristiwa ini terjadi, ketika kewajiban akademik untuk turun ke daerah tertentu berdasarkan penentuan dari panitia pelaksana yang ada di kampus. Bagi mahasiswa, ada yang mendapat di daerah kelahirannya sendiri dan ada yang mendapat jauh dari kampung halaman serta ada yang mendapat di lingkungan kampus.

Saya pribadi mendapatkan daerah yang tidak terlalu jauh dengan kediaman orang tua, tepatnya suatu kecamatan tua dalam kabupaten Parigi Moutong. Kecamatan yang memiliki banyak keunikan dan potensi ekonomi.

Berbicara tugas akademik yang di berikan yaitu sebagai kordinator kecamatan dalam kegiatan mahasiswa tersebut. Sebagai kordinator, salah satu tugasnya adalah kordinasi kegiatan dan memberikan informasi kemasing-masing posko yang ada di desa dalam kecamatan itu. Dari sanalah saya mengenal lebih dekat kehidupan sosial masyarakat dari satu desa kedesa yang lain. Kehidupan sosial yang menjadikannya memiliki ciri khas sendiri, jika di bandingkan dengan kehidupan masyarakat di kabupaten yang lain.

***
Kehidupan masyarakat di kecamatan tersebut sudah mulai maju, dengan banyaknya pertokoan/ruko yang dibangun, serta aktifitas perdagangan yang sudah menuju perdagangan, disamping aktifitas pemerintahan yang tidak pernah berhenti kecuali pada hari libur nasional. Namun di beberapa desanya masih mulai membangun dengan corak penghasilan masyarakatnya dari sisi agraris, serta belum masuknya aliran listrik kerumah penduduk. Tetapi desa yang bersangkutan tersebut sering mendapatkan bantuan pembangunan dari pemerintah, dan ini menjadi keuntungan masyarakatnya.

Yang paling menarik untuk disimak adalah sisi kehidupan sosial masyarakatnya. Bukan bermaksud untuk mengeneralkan, tetapi ini menjadi gambaran bahwa ada sebagaian masyarakat yang memiliki kecenderungan dan pola hidup demikian. Pola hidup yang menjadi ciri khas kehidupan sosialnya. Disana tergambar kebiasaan dari sisi bergaul, cara berpakaian, cara bicara dan kelompok yang dominan.

***
Kaum muda sebagai generasi penerus peradaban, yang diharapkan memiliki konsep gemilang dalam pembangunan. Menjadi sandaran dan harapan bagi ruang dan waktu. Olehnya kaum muda harus memiliki keinginan besar untuk mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimilikinya yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual. Potensi itu bisa diraih dengan rajin belajar sejak dini dalam berbagai kesempatan dan waktu.

Tetapi untuk golongan tertentu dalam kecamatan tersebut, kaum mudanya justru tidak memiliki visi dan cita-cita masa depan, yang dapat dilihat dari aktifitas sehariannya yang tidak memiliki orientasi kemajuan. Yang ada hanya hayalan dan angan-angan tanpa diimbangi dengan aktifitas positif dalam pencapaian harapan itu. Ditambah lagi faktor profesional dan sikap malas dalam berusaha.

Mereka ini pada umumnya hidup dalam komunitas tertentu, yang didalamnya ada semacam pimpinan yang memiliki kemampuan ekonomi, kekuatan fisik atau ilmu tertentu. Pimpinan itu akan menjadi orang yang dituakan dengan orientasi teman-temannya adalah pada dirinya. Hampir semua aktifitas akan memiliki dukungan dari teman-teman sekitarnya. Bahkan kesalahan darinya bisa mendapat legalitas dari teman dan lingkungannya.

Suasana pergaulan dalam komunitas ini bersifat bebas, tidak memiliki ikatan kuat terhadap norma susila, adat dan agama kecuali norma hukum. Persoalan susila, adat dan agama mereka langgar yang lama-kelamaan memperoleh legalitas dalam kelompok dan lingkungannya, bahkan merembet kepada masyarakat lain. Mereka terikat oleh norma hukum, sebab hukum memiliki institusi terhadap orang yang melanggarnya. Sementara norma lain, mereka langgar tetapi tidak memiliki sanksi yang konkrit.

Yang terbaik diantara mereka adalah yang mampu menyenangkan teman-teman, dari sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi misalnya dermawan dari sisi pembagian makanan dan rokok. Sehingga temannya itu akan merasa terpenuhi kebutuhan olehnya. Serta mampu berinteraksi dengan baik dengan masyarakat sekitar. Tidak menimbulkan keresahan dan menyusahkan orang lain, tidak menutup diri dan bergaul (bermasyarakat). Juga yang mampu memiliki pacar dengan segala pemenuhannya. Walhasil kegiatan berdua-duan ditempat gelap atau dalam kamar tertutup sudah menjadi hal yang biasa, bahkan perkara aborsi sudah menjadi resiko yang harus diselesaikan dengan menggugurkan kandungannya. Perkara kerja sama dan pengertian diantara mereka itu yang ditumbuhkan, demi kesenangan di antara mereka.

Perilaku seks bebas menjadi trend dan ciri khas yang menjadi rahasia umum, sementara orang tua seakan menutup mata akan hal itu, dengan memberikan kepercayaan untuk berbuat kepada anaknya.

Mereka ini juga memiliki pandangan bahwa model masyarakat seperti merekalah yang terbaik dengan meremehkan dan melecehkan masyarakat yang taat pada norma agama, adat dan susila. Sehingga semacam ada pemisah antara mereka dengan masyarakat kelompok religius lainnya.

Semua itu lahir akibat dari pengaruh media massa yang menembus batas ruang dan waktu. Dari media massa, generasi muda pada khususnya meniru gaya hidup para bintang (selebritis). Dari media massa mereka mendapat informasi tentang cara bergaul, bersikap, berpakaian samapai cara bicara.

Mereka ini pada dasarnya hanya mencari kesenangan, yang pada hakekatnya bersifat sementara dengan penyesalan panjang. Peradaban yang baik tidak dapat terlahir dari model pergaulan seperti itu, tetapi hanya akan menyeret kepada kehancuran diri, keluarga dan lingkungan.

***
Keterlibatan saya dalam komunitas seperti itu, sungguh sangat mengerikan. Mengerikan karena bisa menyeret kedalam kelompok mereka dan bergelut dengan segala kebiasaannya. Disanalah idealitas dan komitmen mendapat ujian. Kalau sebelumnya hanya mendapat teori dan bergelut dengan orang yang memiliki keyakinan dan pandangan yang sama, tetapi dalam wilayah ini tidaklah demikian, semua itu akan dipertaruhkan dengan memunculkan satu pemenang, apakah tetap pada idealisme dan komitmen sebelumnya atau malah terseret dalam pergaulan dan masuk dalam kelompok baru itu.

Tetapi saya bersyukur masa kerja akademik kami di wilayah semacam itu hanya berlangsung selama dua bulan, selanjutnya kembali lagi dalam komunitas sebelumnya. Tetapi yang terjadi, kemampuan yang saya miliki dahulu dari sisi kemampuan intelektual dan spiritual sangat berkurang, apalagi jika di bandingkan dengan teman-temanku yang lain.

Kalau dahulu saya suka menulis artikel dan cerpen, sekarang membaca saja susah. Belum lagi ritual agama yang jauh dari harapan. Perubahan sikap itu menimbulkan komentar teman-teman terdekatku dikota mengatakan, saya memiliki sifat yang baru dan lain dari sifat sebelum turun dalam melaksanakan kewajiban akademik di daerah tersebut. Apakah pembaca memiliki komentar yang demikian juga???, setelah melihat sikapku. Silahkan Anda menilainya sendiri. Tetapi dengan adanya tulisan ini sebagai awal untuk meraih kecerdasan intelektual dan spiritual yang sempat tercecer.

***
Di Kec. Tinombo
Sabtu, 04 Oktober 2006.

selengkapnya....

Mengurus Skripsi


Oleh : Ruslan H. Husen

"Saya yakin dalam waktu satu minggu ini, proposal skripsiku ini akan selesai." Kataku mantap pada Iwan, teman satu kosku.
"Iya, mudah-mudahan saja. Tetapi sepertinya agak susah, kerana saya sudah membuktikan dan mengalami sendiri. Disana amat susah, berbelit-belit dan di sibukkan dengan prosedur administrasi birokrasi yang lama dan memakan energi banyak." Kata Iwan.
"Semoga denganku, kenyataan di persulit dengan prosedur birokrasi tidak terjadi. Tetapi kalau memang harus begitu akan ku jadikan sebagai sejarah hidup." Kataku yakin.

Saat ini, kami sudah berada di semester akhir perkuliahan dan sudah mulai konsentrasi pada penyusunan proposal skripsi, dengan harapan dapat di wisuda dan memperoleh gelar sarjana akhir bulan di tahun ini.
Dengan persiapan administrasi yang lengkap, berhubungan dengan pengajuan judul proposal ke ketua bagian di fakultas, aku terus menyakinkan diri akan menyelesaikan proposal dalam minggu ini.

Memang aku itu di kenal super sibuk, kurang waktu untuk persoalan akademik. Namun dalam beberapa hari ini, kesibukan organisasi ektra kampus saya tinggalkan dan konsentrasi pada kegiatan dan kewajiban akademik sebagaimana harapan orang tuan untuk cepat selesai dan kerja.

* * *
Waktu mendekati saat sholat zuhur. Tetapi yang di tunggu yaitu ketua bagian fakultas tidak juga kunjung tiba. Untuk mengurangi kekecewaan dalam hati, ku-dekati teman dengan berbincang-bincang persoalan-persoalan yang menyenangkan, yang membuatku melupakan sesaat kekecewaan di hati.

"Sepertinya ketua bagian fakultas tidak naik hari ini." Tebak diriku dalam hati.
Setelah lama menunggu, aku berkeinginan untuk pulang, apalagi kondisi pengajaran itu, tempat para tenaga edukasi berkumpul sudah mulai sunyi, dari tadi beberapa pegawai dan dosen sudah pulang.
Akhirnya ku-putuskan untuk pulang, dengan besok datang lagu untuk keperrluan yang sama.

Keesokan harinya. Kenyataan itu terjadi lagi. Ketua bagian fakultas juga tidak kunjung datang, kali ini bukan hanya saya sendiri yang ingin bertemu dengan ketua bagian fakultas itu, tetapi beberapa orang teman juga mempunyai keperluan yang sama.
Kekecewaan kembali terjadi pada kami dengan tidak bertemu dengan ketua bagian fakultas. Tapi hanya ini yang bisa kami lakukan, tidak bisa mengadu dan memberontak kepada ketua bagian yang lain atau ke dosen-dosen yang lain. Hanya ketua bagian fakuktas itulah yang memiliki wewenang untuk mensahkan judul proposal yang kami usulkan ini.

Akhirnya kami putuskan untuk mendatangi rumah kediaman ketua bagian fakultas itu. Dengan harapan di sana dapat ketemu dan semua urusan ini dapat segara selesai. Namun kenyataan buruk kembali terulang kepada kami. Yang dicari juga tidak kunjung ada. Kata Isterinya, ia lagi berada di luar kota untuk urusan keluarga.

* * *
Kenyataan itu hanya gambaran kecil, dari proses prosedur yang melelahkan dan kurangnya komitmen para pelayan masyarakat (publik service) dalam menjalankan kewajibannya.

Para pelayan masyarakat, telah di gaji untuk bekerja dan melakukan pelayanan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara masyarakat telah di pungut pajak dan retribusi untuk di gunakan membiayai pembangunan.

Begitu pula dengan kesadaran tenaga edukasi di kampus ini, sudah di anggkat menjadi dosen dengan terima gaji perbulan di tuntut untuk mengajar mahasiswa sesuai dengan jadwal. Tetapi kesadaran itu juga tidak kunjung datang. Yang ada hanya menelantarkan mahasiswa, seakan tidak memiliki beban moral untuk melaksanakan kewajiban.
Padahal mahasiswa sudah membayar uang SPP dan biaya-biaya pungutan lainnya, dengan harapan dapat menjadi mahasiswa dan sarjana yang memiliki kualitas intelektual memadai.

Persoalan mahasiswa tidak masuk belajar karena tidak ada dosen, sudah menjadi hal yang lumrah di fakultas ini. Sehingga wajar saja kalau kebutuhan tenaga kerja dari kampus ini minim dengan melihat kualitas sumber daya manusia yang di keluarkan.

* * *
Ketegasan dari pimpinan fakultas mencermati keadaaan ini harus ada. Dengan berani mengeluarkan kebijakan yang menegur dan memecat para bawahannya yang tidak bekerja dan hanya memakan "Gaji Buta". Sebab hal itu sudah menjadi kewajiban sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku (UU kepegawaian).

Memang tidak mudah memberhentikan tenaga edukasi yang telah di angkat atas nama negara. Tetapi proses dan penegakan aturan harus tetap jalan dengan meninggalkan anasir-anasir subyektifitas atas pertimbangan kekeluargaan dan sahabat. Yang selanjutnya di isi oleh tenaga bantuan (honorer) yang memiliki komitmen tinggi mengabdi sesuai dengan kewajibannya.

Sebab untuk apa lagi di pertahankan tenaga edukasi yang tidak pernah naik kampus, apalagi mengajar di kelas. Sehingga perlu di ganti dengan tenaga baru yang lebih aktif dan inofatif. Dari situ nantinya dapat lahir para sarjana-sarjana mudah yang memiliki keprofesionalan di bidangnya. Agar kampus ini dapat keluar dari motos yang melingkupinya (mengeluarkan alumini tidak berkualitas).

Semoga ada kesadaran pada diri tenaga edukasi di fakultas ini untuk menjalankan kewajibannya. Dan mahasiswa harus memiliki semangat baru dalam mencari ilmu di mana-pun berada, baik di dalam kampus maupun kegiatan ekstra kampus. Semoga.

* * *
Suasana di Pengajaran
Fakultas Hukum Untad
Jumat, 16 Juni 2006

selengkapnya....

Menjadi Orang Pintar


Oleh : Ruslan H. Husen

“Sebaiknya antena TV ini distel, agar siarannya dapat lebih banyak lagi seperti dulu lagi, kan sekarang tinggal empat stasiun sedangkan dulu ada dua belas stasiun”. Kata Arman mengeluarkan ide.

“Memang Kakak, bisa menyetel entena itu??”. Kata Lisa adik arman.
“Ya, di coba-kan tidak ada salahnya. Siapa tahu malah beruntung dan bagus seperti dulu lagi, kana malah asyik nontonya”. Arman menumbuhkan harapan.
“Iya kalau beruntung, tapi kalau tidak berutung-kan malah menderita”. Timbal Lisa pesimis.

Arman memang di kenal anak yang pintar, banyak saja akalnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Keberanian dan semangat menjadi senjata utamanya. Termasuk dalam memperbaiki stasiun TV ini yang sudah rusak beberapa bulan ini. Arman juga memberanikan diri berdasarkan perintah dari orang tuanya, yang ingin Arman mengusakan agar TV diperbaiki.

“Man, ambil kunci-kunci dan kunci Tang di kotak, dan bawa kemari”. Kata Ayah Arman, memanggil.
“Iya, Ayah”. Jawab Arman, sambil bergegas mencari dan membawakan kunci kepada Ayahnya yang telah menunggu di dekat antena TV.

Keluarga ini-pun mulai melakukan penyetelan dengan di pimpin oleh Arman. Sesekali juga ayah Arman menjadi pimpinan, karena memang dia yang paling tua dan dalam bayangannya dia yang paling tahu ilmu dasarnya sesuatu.

Proses perbaikan terus berlanjut dengan di bantu Lisa. Lisa berperan sebagai pelihat gambar di TV, sementara Arman dan Ayahnya sebagai penyetel antena TV yang berada di luar rumah. Sesekali muncul gambar yang sebelumnya memang ada.

Prosesnya terus berjalan. Sesekali Lisa berteriak, “Belum ada gambar”. Ketika Arman atau Ayahnya menanyakan, apakah sudah ada gambarnya.

Hari semakin terik, entah sudah berapa lama mereka mengerjakan antena itu, memutar-mutarnya, menundukkan atau mengangkat, tapi tidak juga memperoleh hasil yang di harapkan. Keringat mengucur dari pelipis dan dahi Arman, yang juga membasahi lengan dan bajunya. Hingga Arman dan ayahnya sudah mulai lelah dan bosan, tetapi stasiun yang di inginkan gambarnya tidak juga kunjung datang. Malahan, gambar stasiun yang dulunya ada, kini juga ikut-ikutan hilang. Jadilah TV tanpa gambar, yang ada hanya hitam sinar listrik di dalamnya.

“Ah. Susah juga ya, menyetel TV ini”. Keluh Ayah Arman.
“Di usahakan lagi, biar hanya muncul empat stasiun sebelumnya”. Tambah Arman.
“Iya, dari pada begini, tidak ada yang bisa ditonton. Mendingan tidak distel tadi”. Timpal Lisa.

Akhirnya dengan susah payah mereka menyetel kembali antena TV itu. Stelannya cukup rumit, harus dilakukan dengan hati-hati dan perasaan tenang. Terdengar dering besi bergesek dengan besi dalam proses penyetelan.
Penyetelan terus berlangsung. “Ya sudah. Sudah ada muncul satu stasiun. Tahan”. Teriak Lisa dari dalam rumah.

Penyetelan terus berlangsung, dengan hati-hati, “Kembali, ayo kembali, gambar sebelumnya hilang lagi”. Kembali teriak Lisa.
Memang agak susah menyetel antena TV ini. Hingga Ayah Arman sudah menyerah dan pergi menjauh tidak mau terlibat lagi, sudah muncul rasa putua asa pada dirinya. Tinggal-lah kini Arman berjuang mengembalikan stasiun TV yang hilang. Dalam harapnya, biar hanya empat stasiun TV sebelumnya saja yang berhasil ditemukan sudah cukup senang.

Ini akibat keberaniannya juga meng-iyakan ajakan ayahnya melakukan penyetelan. Seandainya tadi ia tidak mau maka jelas hasilnya tidak seperti ini. Tapi semuanya sudah terlanjur, sekarang yang terpenting adalah mengembalikan stasiun yang telah hilang. Pikir Arman yang tidak menentu dalam memutar dan mengarahkan antena TV itu.
Walhasil mereka tidak juga berhasi menemukan stasiun TV yang di inginkan, kini tinggal satu saja yang berhasil, sisanya hilang. Semua-nya sudah pasrah dan tidak tau harus berbuat apalagi.

“Yah, sudah nanti kita panggil saja orang yang pintar untuk memperbaikinya lagi. Keluar uang sedikit sebagai tanda jasa tidak apa-apa”. Kata Arman menutup.
Sepanjang siang mereka hanya menonton satu stasiun TV saja, sisanya hanya gambar warna hitam tanpa gambar dan suara. Penyesalan dalam hati menyelimuti perasaan, tapi semuanya sudah terjadi, tinggal sekarang menghadapi masalah kedepan. Jadikan ini sebagai pelajaran saja untuk tidak merasa pintar atas suatu masalah. Berikan penyelesaian persoalan pada yang ahli.

& & & &
Manusia selalu berharap apa yang dilakukannya akan memperoleh hasil yang maksimal. Keberanian menjadi senjata dan modal utama guna menyelesaikan permasalahan. Potensi kemanusiaan hendaknya selalu di bina dan di asa dalam menyelesaikan problem kehidupan. Melalui berbagai medium yang menjanjikan ilmu pengetahuan.

Suatu persoalan, memang sepantasnya di berikan kepada orang yang menguasai ilmunya. Kerusakan dan kekacauan bisa terjadi bila persoalan di beri kepada yang bukan ahli. Itulah dinamika kehidupan, yang masing-masing individu selalu membutuhkan manusia lain. Tidak ada insan dapat hidup dengan normal tanpa bantuan manusia lain. Manusia akan terpenuhi kebutuhannya dengan bantuan dari lingkungan dan orang lain.

Olehnya, untuk bertahan dan mempunyai daya jual kedepan, orang-orang harus memiliki potensi yang dapat di manfaatkan. Artinya, ada keahlian yang ia miliki sementara hal itu langkah dan orang lain membutuhkannya. Insan seperti inilah yang dapat bertahan. Kenapa sebagian saja orang yang bekerja di parleman atau birokrasi pemeritah, karena memang dia memiliki kemampuan dan potensi bekerja di sana. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan akan tersisih dan harus menerima strata sosial yang di bawahnya.

Gambaran ini bukan bermaksud menimbulkan tingkatan stara sosial yang dapat mengarah pada kesenjangan sosial, tetapi minimal ini bisa menjadi tolak ukur dalam menumbuhkan potensi intelektual, emosional dan spiritual sebagai potensi yang dibutuhkan untuk manusia yang bertahan di masa depan. Ini akan menjadi spirit dalam mengasah potensi itu.

Pendayagunaan dan peningkatan profesionalisme lembaga pendidikan agar memiliki visi dan strategi pendidikan yang memanusiakan, yang jauh dari kesan premanisme dan mengekang kebebasan dan daya imajinasi potensi peserta didik. Serta reorientasi pemikiran dengan menempatkan lembaga pendidikan formal satu-satunya yang dapat menumbukan potensi itu, karena masih banyak lembaga non formal lainnya yang bisa di gunakan sebagai medium itu.

Proses pengekangan potensi kemanusiaan dalam menjawab dan memenuhi tantangan zaman, akan menjadikan manusia itu ketinggalan dan tergilas oleh zaman. Ideologi sebagai satu-satunya pengarah daya pikir dan hukum dasar manusia bersikap, hendaknya di maknai sebagai pendobrak kebekuan masyarakat yang stagnan dan jumud. Jadi ideologi di pahami secara total dan menjadikan sebagai rel perjalan hidup di setiap saat.

Pengarahan bahwa realitas keduniaan dapat menghilangkan tujuan dan makna hidup yang sebenarnya akibat pengaruh dari luar dirinya, merupakan bentuk kemunafikan. Lihatlah, katanya ia tidak membutuhkan dunia dengan segala aspeknya, sementara dia masih membutuhkan perumahan dan pakaian bahkan alat komunikasi dalam menghubungi rekan-rekannya. Sementara sarana itu bukan di peroleh dari dalam dirinya, melainkan pengaruh dari luar dan ia menggunakannya.

Memang manusia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan zaman, tetapi hendaknya perkembangan itu tetap di kontrol dan diarahkan kepada peradaban yang memanusiakan. Tidak ada sikap pasif pada diri, dan selalu terlibat aktif dan berperan sebagai pemain. Apabila tidak melakukan perlawanan dan menjauhkan diri seakan tidak mengakui realitas itu, maka kita sama halnya dengan keadaan yang jelek dalam hayalan dan angan-angan itu.

Pengerahan potensi dan sumber daya guna menjawab tuntunan zaman memang di butuhkan, selain itu juga penyadaran secara internal dalam diri dan kehidupan menjadi sesuatu yang tetap urgen. Penyiapan diri sejak dini dengan mempelajari tanda-tanda di alam dengan melakukan pengkajian dan pendalaman keilmuan adalah yang terbaik. Dengan tidak bangkit menjadi ummat yang merasa pintar dan serba tahu, tetapi sebenarnya tidak tahu sama sekali, hanya propaganda di tumbuhkan dalam menutupi kekurangan dan terbatasan diri. Maka bersiaplah menyambut zaman dengan berbekal potensi kemanusiaan yakni kekuatan intelektual, emosional dan spiritual agar tidak dipedaya dengan tipuan hidup.

*******

Di pertengahan siang
Tomoli (Ampibabo)
Pertengahan 18 Mei 2006.

selengkapnya....

Nonton Bola


Oleh : Ruslan H. Husen

Malam mulai larut, udaranya dingin menusuk tulang. Sesekali angin bertiup menambah dingin suasana. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumahnya, bergelut dengan sarung dan selimut ditubuh. Di tambah dengan minuman hangat, guna mengusir hawa dingin yang mulai menyerang.

Dinginnya malam tidak mematikan niat Riko, seorang remaja bersama teman-temannya mendatangi rumah Sukri, yang juga masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Kedatangan itu untuk menyaksikan pertandingan sepak bola piala dunia yang akan di siarkan langsung nanti di stasiun TV swasta di negeri ini.

Riko dan teman-temannya itu, bukannya tidak memiliki TV di rumahnya, tetapi untuk siaran sepak bola ini tidak bisa ditangkap, karena di acak alias tidak memiliki siaran penerimaan, namun untuk siaran lain kecuali bola penerimaannya sangat baik.

“Apa boleh buat, semuanya harus di jalani demi sebuh hobi.” Desah Riko dalam hati.
Siaran pertandingan sepak bola itu baru di mulai jam 9 malam, dan itu di teruskan dengan 2 pertandingan selanjutnya. Sehingga diikuti terus akan sampai jam 4 subuh hari.

Bagi Riko dan teman-temannya, begitu juga dengan Sukri, tidak ada masalah dalam begadang asal dapat menyaksiakan laga tim kesayangannya bertanding.
Demikianlah para penonton sepak bola itu, bukan Sukri dan teman-temannya saja. Tetapi kejadiaan semacam ini juga merambah hampir keseluruh orang di daerah ini. Dan juga menjamur ke seluruh negara. Menjadikan mereka demam bola (Maniak Bola).

* * *
Media massa itu terdiri dari media elektronik dan media cetak. Media massa ini utamanya TV, telah menjadi investasi menjanjikan dalam mempengaruhi opini publik untuk mempublikasikan suatu produk atau barang.

Pengaruh media massa kini merambah kesetiap penjuru daerah. Media massa kini bukan hanya di nikmati oleh orang kota saja tetapi juga di nikmati oleh orang di pedesaan. Bahkan pengaruh media massa itu juga merambah konsumennya tanpa mengenal batas usia. Kini yang menyimak acara-acara media massa utamanaya TV bukan hanya orang tua saja, tetapi juga anak-anak juga menjadi penonton utamanya.

Apa yang di tampilkan dalam berbagai media massa sesungguhnya tidak lepas dari kepentingan para pemilik modal dalam mempublikasikan suatu hasil produk. Media massa di jadikan sarana mempengaruhi publik dalam mensosialisasikan nilai barang.

Para penyimak sajian-sajian media massa bukan lagi berposisi sebagai penonton tetapi dituntut untuk menjadi pelaku. Media massa itu boleh dikata menghipnotis penyimaknya untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginnanya. Misalanya, mengirim sms untuk mendukung salah satu bintang yang ditampilkan dengan iming-iming hadiah.

Acara-acara yang di tampilkan-pun banyak tidak bernilai pendidikan, hampir semuanya bernilai bisnis demi keuntungan pada pemilik modal (kapitalis). Lihat saja acara-acara seperti KDI, AFI, Indonesia Idol, Audisi Pelawak dan acara-acara sejenis lainnya, semuanya menyuruh penonton untuk menyerahkan pulsa yang di milikinya untuk mendukung bintang yang di tampilkan.

Memang kelihatan seperti hiburan, tetapi hakikatnya adalah bisnis. Dari satu kali tayang acara favorit keutungan yang di peroleh media massa itu sangat berlimpah. Sehingga keberadaan acara-acara sejenis dari hari kehari tidak mengalami pengunduran, malahan akan terus di pelihara.

Selain itu, media massa sekarang ini telah di posisikan sebagai kiblat. Peran media massa yang demikian gencarnya telah mempengaruhi pola hidup sebagian besar masyarakat. Masyarakat secara umum telah menjadikan media massa utamanya TV sebagai kiblat atau orientasi cara berfikir yang nantinya akan mempengaruhi cara pandang dan tingkah lakunya sehari-hari.

Lihat saja, tayangan-tayangan model rambut, model baju yang di tampilkan dalam media itu, ternyata hari ini di saksikan juga dalam lingkungan kita. Kalau kenyataan itu dahulu asing dan tabu, sekarang menjadi hal yang lazim dan lumrah dilakukan. Berbagai macam gaya hidup yang di tampilkan dalam media massa, kini telah ditiru secara mentah oleh orang-orang di sekitar kita.

* * *
Kedepan penguasaan terhadap media massa memang mutlak untuk dilakukan, dalam rangka perbaikan tatanan kehidupan guna melahirkan peradaban yang berprikemanusiaan. Karena media itulah yang paling mudah berhubungan dengan seluruh masyarakat.

Media massa itu, paling tidak harus di kontrol agar tidak melakukan pelanggaran dan menyesatkan masyarakat pada suatu realitas yang merusak. Media harus memposisikan diri sebagai pembaharu masyarakat dalam meningkatkan mutu peradaban.
Kerusakan masyarakat hari ini, tidak-lah bisa di lupakan begitu saja tanpa peran media di dalamnya. Dalam artian media massa berpotensi memperbaiki masyarakat dan berpotensi merusak masyarakat.

Sikap yang dapat dilakukan adalah melarang untuk jangka pendek agar pengaruh negatif dari tayangan media massa yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dapat di minimalisir. Dan pada saat yang sama, untuk jangka panjang harus bersikap produktif melakukan pewarnaan dan penguasaan terhadap media massa itu.

Usaha ini tidak-lah mudah, perlu dukungan semua pihak dengan tetap kontinyu melakukan sosialisasi tentang pentingnya media massa dalam perbaikan peradaban manusia.

* * *
Di Tengah Malam,
Antara Keinginan Menonton Bola
Rabu, 14 Juli 2006

selengkapnya....

Kendaraan Politik


Oleh : Ruslan H. Husen

Hari mulai siang meninggalkan pagi. Udara sudah tidak lagi dingin seperti tadi subuh. Cahaya matahari terus menerangi bumi, tanpa terhalang oleh awan-awan kelabu. Sesekali angin bertiup menerbangkan debu-debu, yang banyak timbul jika musim kemarau seperti ini.

Dalam ruangan sebuah hotel di kota ini. Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan, sementara panitia dengan pakaian biru seragam sejak tadi, terus bersibuk-sibuk menyiapkan acara pembukaan konferensi partai. Nampak pengurus partai dengan pakaian biru, bercengkrama dengan beberapa undangan. Sesekali tersungging senyum di ikuti tawa menghiasi wajah mereka.

"Assalamu 'alaikum War. Wab. Saudara-saudara sekalian ......". Suara protokoler membuka acara pembukaan konferensi partai itu. Dia nampak begitu rapi di iringi dengan suara lantang yang khas. Suara salam menggema menjawab sapaan salam sang protokoler. Protokoler mulai membacakan susunan acara yang akan di lalui pada kesempatan ini. Yang menarik di sana sambutan-sambutan yang nanti akan di bawakan oleh pengurus partai lama dan sambutan dari gubernur sekaligus membuka acara.

Lantunan acara terus berjalan dengan lancar. Para undangan terus menyimak acara dengan hikmah. Memang acara ini, merupakan acara besar yang di lakukan oleh partai besar dengan pendukung yang telah mendapat simpati dari masyarakat luas. Simpati itu lahir selain, kemampuan pengurus dan simpatisan partai yang memikat hati masyarakat, juga isu-isu yang dikemas dan memikat publik.

Kini giliran pengurus partai lama yang memberikan sambutan dalam konferensi ini, di wakili oleh ketua umumnya. Badannya besar dan tegap, di hiasi kumis tipis tajam. Langkahnya begutu pasti mendekati podium, meraih mic dan memandang ke undangan. Terasa juga dalam hatinya demam panggung, yang selalu hadir pada siapa-pun. Namun ia sudah pengalaman, maka demam panggung itu tidak berlangsung lama dan penguasaan forum telah di lakukan.

"...... saya berharap partai ini jangan di jadikan sebagai kendaraan politik. Untuk mencapai jabatan eksekutif atau legislatif. Yang lebih di utamakan adalah kepentingan rakyat. Kemiskinan yang meraja-lela, pengangguran yang terus bertambah. Sehingga potensi partai digunakan untuk mengatasi penyakit sosial itu". Kata ketua umum lama.

* * * * *
Dari namanya saja, "partai politik", sudah menggambarkan sebagai medium politik. Dari sanalah sarana untuk mencari perhatian dan simpati publik, guna meloncat pada jabatan legislatif atau eksekutif. Partai politik ini bermakna kendaraan politik, dalam mencapai jabatan politik. Jika partai tidak ingin atau keluar dari perpolitikan maka ia tidak ubahnya dengan yayasan.

Yayasan hanya berorientasi pada pencapaian cita-cita internal dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang di miliki. Yayasan tidak melakukan propaganda dan mempengaruhi opini publik dalam mencari simpatinya. Di utamakan peningkatan potensi anggota dalam mencapai keuntungan.

Mengatakan partai politik bukan sebagai batu loncatan untuk mencapai jabatan eksekutif dan legislatif, merupakan kata yang tidak mengerti substansi politik. Di

selengkapnya....